Terpilih Lagi Sebagai Presiden (1978-1983)[1]
Sidang Umum MPR 1973 memutuskan bahwa pemilu berikutnya harus dilaksanakan selambat-lambatnya akhir 1977. Suhu politik naik bersamaan dengan persiapan pemilu. Hal yang lumrah.
Menjelang pemilu 1977 sudah terdapat konsensus, yakni antara lain ketetapan mengenai “4 tidak boleh” dalam pelaksanaan pemilu itu, yakni tak boleh melakukan intimidasi, memecah persatuan, memfitnah, dan meremehkan pemerintah dalam menghadapi dan melaksanakan pemilu itu.
Mendekati dilangsungkannya pemilu 1977 itu terjadi percikan di sana-sini. Dan pada waktu dilangsungkannya pesta demokrasi pada tanggal 2 Mei 1977 itu, masih saja ada yang melakukan hal-hal yang tidak kit a inginkan.
Saya anggap usaha-usaha mereka itu, apalagi yang melakukannya secara sadar dan sistematis, bukan saja dapat diartikan tak menghendaki suksesnya pemilu, tetapi juga menghalang-halangi kelancaran pembangunan. Dalam pada itu, sikap saya seperti itu tidak berarti bahwa pemerintah ingin menutup-nutupi kekurangan atau kesalahan-kesalahan yang ada, juga tidak menutup hak mengeluarkan pendapat dan mengemukakan kenyataan.
Dua hari setelah pemilu itu DPP-PPP menemui saya, meminta agar saya tidak menganggap mereka mempunyai niatan macam-macam. Maka saya pun mengajak semua pihak untuk tidak membesar-besarkan kekurangan. Maka saya, sebagai Mandataris MPR, menilai Pemilu 1977 itu sah dan saya pun bicara di depan TVRI dan RRI mengenai pandangan saya itu.
Hasil Pemilu 1977 itu menunjukkan Golkar meraih 232 kursi, PPP mendapat 99, PDI memperoleh 29 kursi dari 360 kursi di DPR itu. Golkar menang lagi sekalipun mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan basil Pemiiu 1971.
Lalu suara-suara terdengar lagi bahwa partai-partai dan Golkar menginginkan supaya saya bersedia untuk dicalonkan kembali sebagai Presiden. Saya tegaskan, jika rakyat menghendakinya, saya tidak akan mundur. Ada riak terjadi menjelang 1978. Tetapi ini menandakan jalannya demokrasi.
Kepada saya sudah banyak yang mendesak untuk memangku kembali jabatan Presiden. Kalau rakyat yang meminta, saya tidak pantas untuk mundur. Ketua DPR-MPR Adam Malik waktu itu berkata bahwa “menurut perhitungan matematik, Pak Harto sudah dapat dipastikan akan terpilih kembali”.
Memang Golkar memegang suara mayoritas waktu itu. Dan pimpinan Golkar sudah meminta saya supaya saya sudi diangkat kembali menjadi Presiden. Suara ABRI pun sudah dikemukakan “Presiden Soeharto didukung penuh oleh ABRI.”
Benar, waktu itu ada kelompok tertentu yang tidak menghendaki dicalonkannya kembali saya sebagai Presiden. Tetapi saya mengikuti saja apa yang diinginkan oleh rakyat.
Mahasiswa di Bandung ribut-ribut yang menyebabkan kemudian beberapa harian terpaksa dilarang terbit. Kas Kopkamtib, Laksamana Sudomo, waktu itu menilai, apa yang dinamakan “Ikrar Mahasiswa” yang dikeluarkan di Bandung di akhir November 1977 itu (yang mendakwa Presiden telah menyeleweng dari UUD ’45 dan Pancasila) telah melampaui batas. Menetapkan ada atau tidak adanya penyelewengan terhadap UUD ’45 dan Pancasila itu adalah wewenang konstitusional MPR dan bukan wewenang sekelompok kecil orang atau lembaga mana pun di negara ini.
Tepat rasanya ucapan Menhankam/Pangab Jenderal Maraden Panggabean di Yogyakarta waktu itu bahwa ABRI menghargai sikap kritis generasi muda dan sikap yang peka terhadap masalah masalah kemasyarakatan. Tetapi semua itu hendaknya didasari dengan bobot sebagai calon sarjana yang cendekiawan. Dari kampus, mahasiswa dapat menjadi kekuatan moral untuk menggerakkan pembaharuan. Tetapi jika kegiatan mahasiswa melangkah ke luar kampus, apabila golongan-golongan lain menyelinap ke dalam kampus, maka mahasiswa kehilangan pamornya sebagai kekuatan moral, karena telah berubah menjadi kekuatan politik. Dan sekali kampus dipolitikkan, maka bobot ilmiahnya akan hilang karena yang tampil adalah warna politik. Begitu penilaian Jenderal Panggabean yang rasanya tepat.
Dan ABRI tidak akan membiarkan sekelompok kecil orang yang secara tidak bertanggungjawab menyalakan percikan-percikan api yang akhirnya dapat membakar hangus seluruh tubuh bangsa. Menteri P & K Syarif Thayeb menyelesaikan soal kampus itu dengan para rektor.
Kemudian, setelah Pemilihan Umum yang ketiga di tahun 1977, MPR basil Pemilu menentukan GBHN dan memilih lagi saya sebagai Presiden/Mandataris.
Waktu menyangkut soal Wakil Presiden waktu itu, mendadak Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan tidak sanggup menjadi Wakil Presiden Iagi.
Saya tanyakan, apa sebabnya. Apa ada masalah pertentangan? “Tidak”, jawabnya. Menurut penilaian beliau, Iebih baik beliau berada di luar Lembaga Tinggi Negara, untuk turut mempersatukan bangsa. Dengan demikian, menurut beliau, akan lebih baik, akan lebih fleksibel.
Kejadian itu saya rasakan sebagai sesuatu yang mendadak. Maka saya sampaikan masalah itu kepada partai-partai dan golongangolongan, kepada tokoh-tokoh yang saya anggap bisa memberikan pandangan dalam hal ini.
Siapa sekarang yang pantas jadi Wakil Presiden? Maka saya sebut beberapa tokoh. Dan saya anjurkan untuk dinilai, siapa kiranya di antara mereka yang bisa diterima oleh MPR.
Bagi saya, mereka yang nama-namanya saya ajukan itu rasanya bisa bekerjasama. Tidak ada masalah. Tetapi siapa yang bisa diterima oleh partai-partai politik dan Golkar, oleh MPR?. Setelah kesibukan itu terjadi, maka jatuhnya pilihan ternyata kepada Bung Adam Malik. Maka setelah saya dilantik sebagai Presiden, Adam Malik dilantik menjadi Wakil Presiden.
Sebelum itu Sri Sultan sempat membagikan keterangan tertulisnya. Tetapi yang penting bagi saya, dan ini jadi pegangan saya bahwa ia menyatakan sedia untuk membantu dalam kelanjutan usaha pembangunan nasional kita.
Ternyata kerjasama dengan Adam Malik selama masa jabatan saya, juga bisa, sekalipun tempo-tempo Bung Adam Malik, sebagai seorang politikus, membuat statement yang kurang serasi. Tidak ada maksud padanya untuk menyulitkan keadaan, tetapi statement-nya itu menyulitkan, artinya, tidak serasi dengan kebijaksanaan pemerintah. Padahal ia berada di dalamnya. Namun, itu tidak sampai menimbulkan kesulitan.
Yang sedikit merepotkan di antara pernyataan-pernyataan Bung Adam waktu itu adalah mengenai pembukaan kembali hubungan diplomatik dengan RRC. Waktu itu kita masih membatasi. Tetapi pernyataan Bung Adam Malik seolah-olah hal itu akan kita lakukan tahun depan. Pernyataan Bung Adam itu merupakan jawaban yang menyulitkan. Jiwa wartawan rupanya sudah jadi darah daging Bung Adam. Jadinya, agak susah.
Saya mendengarkan dengan tekun segala pembicaraan sebelum dan sesudah SU MPR 1978, memasukkan baik-baik dalam hati dan menyaring dalam pikiran apa yang disuarakan dengan keras dan lantang, apa yang disampaikan dengan lemah lembut dan halus. Juga apa yang tidak terucapkan. Semuanya itu membantu saya memahami segala pikiran dan keinginan rakyat yang berkembang di Majelis itu.
Semua yang diucapkan dengan tanggungjawab itu masih membuat tumbuh dan mekar semakin indah taman sari demokrasi dan konstitusi yang kita semua sepakati agar makin kuat berakar dalam jiwa bangsa kita.
Saya ucapkan sumpah jabatan dalam sidang yang dihadiri oleh 846 anggota MPR itu. Berjuta-juta rakyat mendengarkan sumpah jabatan saya itu. Hati saya sendiri mendengarkan dan mengiakannya. Lebih dari semuanya itu Tuhan Yang Maha Mengetahui menyaksikan sumpah saya itu. Saya berjanji akan melaksanakan GBHN dan semua TAP MPR dengan sekuat tenaga, dengan segala kemampuan lahir dan batin saya, dengan segala kesungguhan dan keikhlasan.
Saya nyatakan harapan saya, agar seluruh rakyat membantu saya dengan dukungan, dorongan dan keikutsertaan dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan dengan semangat persatuan dan kegotongroyongan. Pada 27 Maret 1968 saya dilantik jadi Presiden RI kedua; 23 Maret 1973 saya dilantik lagi untuk kedua kalinya, 22 Maret 1978 dilantik Iagi untuk ketiga kalinya.
Sewaktu saya dipercaya lagi oleh MPR untuk menjabat lagi jabatan sebagai Presiden/ Mandataris MPR untuk masa jabatan lima tahun lamanya, dari 1978 sampai dengan 1983 itu, ketetapan MPR waktu itu menegaskan, menugaskan kepada Presiden untuk melanjutkan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun dan menyusun serta melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) berikutnya dalam rangka GBHN, meneruskan menertibkan dan mendayagunakan aparatur negara di segala bidang dan tingkatan; meneruskan menata dan membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan Demokrasi Pancasila, dan melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan orientasi pada kepentingan nasional. Di samping itu, ketetapan-ketetapan MPR yang lainnya, tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, tentang GBHN dan tentang Pemilu, memberikan penugasan secara khusus kepada saya untuk melaksanakan ketetapan-ketetapan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Pelaksanaan Repelita III tetap berlandaskan Trilogi Pembangunan, yakni pemerataan pembangunan yang mengarah kepada terwujudnya keadilan sosial, pertumbuhan ekonoini yang cukup tinggi dan terbinanya stabilitas nasional.
Setelah saya renungkan Ketetapan-Ketetapan MPR ’78 dan apa yang dipikirkan serta yang diharapkan oleh rakyat, maka saya dapatkan tujuh sasaran yang saya namakan Sapta Krida sebagai tugas Kabinet Pembangunan III.
Saya menyadari bahwa pembangunan politik adalah bagian yang sangat penting dalam tiap pembangunan yang sukses. Saya pun menyadari bahwa pembangunan politik itu merupakan bagian yang paling tidak mudah dari pembangunan bangsa kita. Karena itu pula, selama waktu lima tahun yang saya alami sebagai Presiden di masa jabatan ’78-’83, saya telah memberikan perhatian yang sebesarbesarnya kepada pembangunan politik dan pendidikan politik seperti yang digariskan dalam GBHN.
Saya menyadari, berdasarkan pengalaman kita sendiri, bahwa sistem politik dan sistem banyak partai di masa lampau telah gagal mengantarkan bangsa kita meraih kemajuan melalui pembangunan. Dalam membangun kehidupan politik, kita tidak akan berjalan kembali ke belakang. Kita tidak akan kembali ke Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Terpimpin yang gagal mendukung pembangunan nasional. Sebaliknya kita memandang ke depan untuk meningkatkan penerapan Demokrasi Pancasila sejalan dengan tercapainya tahap yang lebih maju dari pembangunan kita pada umumya.
Semasa jabatan kepresidenan saya itu saya melihat MPR, Presiden, DPR, Mahkamah Agung, DPA, dan Badan Pemeriksa Keuangan telah menjalankan fungsi dan wewenang konstitusionalnya masing-masing dan saling berhubungan satu dengan yang lain berdasar wewenang konstitusionalnya itu. Dengan pengalaman-pengalaman di tahun 1973- 1978 itu, hilang pula khayalan yang bukan-bukan, terutama khayalan bahwa pembangunan bukan perjuangan.
Dalam melaksanakan pembangunan kita diikat dan dibimbing oleh cita-cita yang tinggi dan menggairahkan. Tetapi dalam pembangunan kita juga dihadapkan pada tantangan-tantangan yang keras dan kadang-kadang menggelisahkan.
Kita sering sekali dihadapkan pada kenyataan-kenyataan baru yang belum kita lihat sebelumnya. Kita makin sadar bahwa dalam melaksanakan pembangunan itu kita kadang-kadang dihadapkan pada pilihan-pilihan: jalan mana yang harus kita tempuh agar kita selamat sampai kepada tujuan. Pilihan itu kadang-kadang bukan antara yang baik atau buruk, melainkan hanya yang kurang buruk di antara yang lebih buruk. Itu adalah suka dukanya perjuangan. Itu adalah asam garamnya pembangunan.
Yang penting adalah bahwa kita tahu dengan jelas dan sadar ke arah mana sesungguhnya kita telah bergerak. Kita tahu apa yang pantas kita harapkan dalam pembangunan ini. Dan kita tahu juga apa yang belum mungkin kita harapkan sekarang.
Saya merasa bahwa selama ini banyak kemajuan yang telah kita capai. Tetapi saya juga sadar bahwa masalah-masalah yang harus kita garap memang masih banyak.!
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 330-329.