TEUNGKU DAUD BEUREUEH DALAM KENANGAN

TEUNGKU DAUD BEUREUEH DALAM KENANGAN

Jakarta, Suara Pembaruan

DENGAN pemakaman jenazah ulama besar Teungku Mohammad Daud Beureueh di bawah pohon mangga yang rindang di kompleks Mesjid Baitul A’la di Beureuneun, 124 kilometer sebelah timur Banda Aceh, maka terkuburlah pula sepenggal sejarah Aceh dan sejarah Indonesia.

Teungku Daud Beureu eh lahir di Beureuneun sekitar pergantian abad ke-19 ke abad ke-20. Sebagai tahun kelahirannya diperkirakan tahun 1899. Itu berarti bahwa Teungku Daud Beureueh sebaya dengan Bung Karno dan Bung Hatta.

Waktu Teungku Daud Beureueh lahir maka Perang Aceh masih berkecamuk. Sedangkan di Minangkabau Perang Bonjol telah berakhir pada tahun 1838 dan di Pulau Jawa Perang Diponegoro telah berakhir pada tahun 1830.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada Kebangkitan Nasional pada tahun 1908 pemuda-pemuda dari Pulau Jawa dan dari Minangkabau yang telah mengikuti pendidikan Barat, khususnya di Sekolah Dokter di Jakarta, dapat memainkan peranan.

Sedangkan pada waktu itu pemuda-pemuda di Aceh, seperti Teungku Daud Beureueh yang pada waktu itu berusia 9 tahun, masih hidup dalam suasana perang.

Itu juga berlaku bagi pemuda-pemuda di Tanah Batak di mana Perang Batak baru berakhir pada tahun 1907 dengan gugurnya Si Singamangaraja XII dan pemuda­ pemuda Bali di mana Puputan terakhir terjadi pada tahun 1908 di bawah pimpinan Dewa Agung Klungkung.

Proses sejarah yang dimulai pada tahun 1908 dengan Kebangkitan Nasional telah melahirkan pergerakan kemerdekaan dan pada gilirannya pergerakan kemerdekaan itu telah melahirkan Republik Indonesia. Aceh, Tanah Batak dan Bali termasuk “late comers” dalam proses sejarah itu.

Oleh berbagai sebab maka integrasi Tanah Batak dan Bali terbukti telah berlangsung lebih lancar dan lebih mulus dibandingkan dengan proses integrasi Aceh ke dalam proses sejarah yang diwakili oleh pergerakan kemerdekaan dan Republik Indonesia itu.

Dalam riwayat hidup dan riwayat perjuangan Teungku Daud Beureueh tercerminlah proses sejarah integrasi Aceh tadi ke dalam sejarah modern Indonesia, dengan segala suka dan dukanya dan dengan drama, tragedi serta kebesarannya, sejak awal abad ke-20 sampai pemakaman jenazah ulama besar itu pada tanggal 11 Juni di Beureuneun.

Teungku Daud Beureueh lahir dan dimakamkan di Beureuneun. Beliau pernah merupakan tokoh yang penting di seluruh Aceh dan di Indonesia umumnya. Namanya juga dikenal di negara-negara tetangga kita. Pada pemakamannya hadir antara lain Menteri Pertanian Malaysia Datuk Seri Sanusi Djuned, yang adalah cucu Teungku Daud Beureueh.

Peranan penting Teungku Daud Beureueh terkait dengan peranan kepeloporan dan kepemimpinannya dalam Persatuan Ulama-ulama Aceh (PUSA) yang didirikannya pada tahun 1939 dengan tujuan untuk memodernisasikan pendidikan Islam di Aceh. PUSA telah menjadi faktor penting dalam masyarakat Aceh.

Di tengah-tengah pergolakan selama invasi Jepang, selama zaman pendudukan Jepang dan kemudian  setelah Proklamasi Kemerdekaan  dan selama Perang. Kemerdekaan, maka peranan PUSA dan peranan Teungku Daud Beureueh telah terus meningkat.

Bentuk formal bagi peranan Teungku Daud Beureueh itu berubah-ubah sepanjang sejarah Aceh dan sejarah Indonesia sejak zaman pendudukan Jepang. Tetapi pengaruh dari pemikiran dan sikapnya tetap sangat terasa, juga waktu Teungku Daud Beureueh menjelang ajalnya tidak mempunyai kedudukan formal apa-apa lagi.

Dapat dikatakan bahwa beliau tetap dihormati sebagai sesepuh atau “Abu”, baik oleh masyarakat Aceh maupun oleh para pejabat, tokoh-tokoh politik serta tokoh-tokoh masyarakat. Istilah raja tanpa mahkota atau “the uncrowned king” mungkin dapat digunakan untuk kedudukan Teungku Daud Beureueh itu.

Setelah agresi Belanda yang pertama pada tahun 1947 Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pada waktu itu berada di Bukit tinggi, mengangkat Teungku Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer untuk Aceh, Langkat dan Tanah Karo, dengan pangkat Mayor Jenderal Tituler. Setelah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 beliau diangkat sebagai Gubemur propinsi Aceh yang pertama.

Pada tahun 1951 propinsi Aceh dilebur ke dalam propinsi Sumatera Utara di bawah Kabinet yang berada di bawah pimpinan Masyumi. Pada tahun 1953 waktu kabinet berada di bawah pimpinan PM, maka Teungku Daud Beureueh memimpin suatu perjuangan yang lama dari daerah pegunungan.

Perjuangan itu baru berakhir pada tahun 1962 waktu Teungku Daud Beureueh meninggalkan perjuangan di pegunungan itu. Sejak itu proses normalisasi mulai berlangsung di Aceh.

Pernah Teungku Daud Beureueh “hijrah” ke Jakarta dari tahun 1978 sampai tahun 1982. Sejak itu beliau menetap di Beureuneun dan membaktikan tahun­tahun terakhir hidupnya dengan bekerja secara langsung guna memajukan kesejahteraan umat dan rakyat di desa kelahirannya itu.

Sejarah modern Aceh dan khusus proses integrasi sejarah modern Aceh itu ke dalam sejarah modern bangsa Indonesia umumnya, tidak dapat ditulis tanpa memberikan tempat yang sentral kepada peranan Teungku Mohammad Daud Beureueh.

Dengan menguburkan jenazah Teungku Daud Beureueh, maka rakyat Aceh dan rakyat Indonesia umumnya menguburkan sepenggal sejarah Aceh dan sejarah Indonesia.

Sumber: SUARA PEMBARUAN (12/06/1987)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 798-800

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.