TINGKATKAN DISIPLIN DAN PATUHI SEMUA PERATURAN
Presiden Resmikan Terminal Petikemas Tanjungpriok Agar Keselamatan Penumpang dan Barang Terjamin
Membangkitkan kembali semangat bahari, tidak kalah penting bagi membangun kemampuan angkutan laut. Sebagai bangsa yang memiliki lautan luas dan selat yang banyak jumlahnya, Indonesia tidak akan dapat hidup tanpa semangat dan jiwa bahari itu.
Demikian diingatkan Presiden Soeharto, Rabu pagi, ketika meresmikan terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok. Dalam peresmian terminal peti kemas pertama di Indonesia itu, dilangsungkan pula pembongkaran barang dari kapal peti kemas pertama yang dimiliki perusahaan milik negara, Djakarta Lloyd, KM Sriwijaya.
"Semangat dan jiwa bahari sampai sekarang masih kita saksikan dengan tetap banyaknya perahu layar dalam ukuran-ukuran yang cukup besar mengarungi lautan Nusantara. Perahu-perahu layar ini telah banyak jasanya dalam pembangunan bangsa pada umumnya dan pembinaan kekuatan angkutan laut khususnya."
Presiden mengatakan, yang penting sekarang adalah menyalurkan semangat itu ke dalam pembinaan angkatan laut nasional dalam zaman modern. Bagaimana pun semangat dan jiwa bahari itu merupakan salah satu warisan dan kekuatan bangsa.
Menurut Presiden Soeharto, di tahun-tahun mendatang lalulintas angkutan akan meningkat pesat dan ramai.
"Saya minta kepada semua mereka yang terlibat dalam kegiatan angkutan ini, supaya benar-benar meningkatkan disiplin dan mematuhi semua peraturan, agar kelancaran dan keselamatan angkutan, baik penumpang maupun barang dapat terjamin," kata Kepala Negara.
Sebagai Penghubung
Dikatakan, sebagai bangsa yang bertekat terus memperkokoh kesatuan serta memiliki Wawasan Nusantara, maka laut dan selat di antara pulau-pulau ini tidak dianggap sebagai pemisah, melainkan harus dipandang sebagai penghubung. Karena itu pembangunan di bidang angkutan merupakan keharusan yang mutlak, ujar Kepala Negara.
"Dalam tahun-tahun mendatang kemampuan angkutan harus ditingkatkan; baik di darat, laut maupun udara. Hal itu tidak boleh tertunda-tunda, karena kemajuan pembangunan di tahun-tahun mendatang akan menghasilkan peningkatan produksi berbagai bidang".
Ia menambahkan, kemampuan angkutan benar-benar harus disiapkan dari sekarang. Sebab apabila kemampuan angkutan tidak memadai, maka akan dialami kemacetan dalam gerak pembangunan.
"Hal ini sungguh merupakan tantangan besar yang dihadapkan kepada kemampuan angkutan nasional kita," demikian Presiden Soeharto.
Bagian Rencana Induk
Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin mengatakan, terminal peti kemas ini mempakan sarana penunjang penting untuk kegiatan sektor perhubungan laut. Bagi Pelabuhan Tanjung Priok, akan merupakan bagian rencana induk yang diharapkan akan dapat dirampungkan segera secara keseluruhan, sesuai tahaptahap perencanaan yang telah digariskan.
Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pintu-gerbang utama kegiatan arus bongkar-muat, baik untuk perdagangan luar negeri mau pun dalam negeri. Lebih dari 50% barang impor ke Indonesia rnasuk melalui pelabuhan ini.
Dalam tahun 1980, kegiatan bongkar muat barang yang diangkut dengan peti kemas baru mencapai 7% dari total bongkar muat barang. Diperkirakan ini akan menjadi 16,5% pada tahun 1985, dari akan menjadi 22% pada tahun 1990, dengan volume bongkar muat pada waktu itu diperkirakan 18 juta ton lebih.
Di Anjungan
Begitu tiba di anjungan KM Sriwijaya, Presiden disambut Sekditjen Perla Habibie dan Nakhoda Machdar Tabrani, kemudian menuju jendela kanan yang menghadap pelabuhan peti kemas. Seluruh area pelabuhan, dari sudut ini jelas dapat dilihat.
Ruangan anjungan yang serba digital dan penuh tombol pada panel kemudi kapal, tidak terlewat dari perhatian Presiden. Kepala Negara berhenti sejenak, mengambil mikrofon untuk mengumumkan dimulainya pelaksanaan bongkar peti kemas dari KM Sriwijaya.
Bersama Habibie dan Gubernur Tjokropranolo, Presiden Soeharto kemudian melangkah ke jendela muka untuk menyaksikan derek mengambil salahsatu peti kemas dari kapal.
Derek berkapasitas 50 ton warna kuning itu, cukup kontras dengan suasana dalam anjungan yang serba hijau muda, berlantaikan karpet. Presiden melihat peralatan digital yang menyerupai TV kecil, dengan angka-angka ke luar dalam layarnya.
Administrator Pelabuhan Tanjungpriok Drs. Sabirin Saiman melaporkan, awal pembangunan terminal peti kemas Tanjungpriok dimulai akhir September 1974. Dan secara keseluruhan selesai April 1981.
Biaya pembangunannya, diperoleh dari dalam negeri sebesar Rp 116,827 miliyar dan dari Bank Dunia 16,138 juta dollar AS. Panjang dermaga seluruhnya 920 meter, lebar 25 meter dan kedalaman alur minus 12 meter LWS.
Lama pembangunan tahap pertama 5,5 tahun, kemudian disusul tahap kedua yang terdiri pekerjaan pengerasan tanah seluas 4,5 hektar, menelan waktu 3,5 tahun.
Terminal peti kemas Tanjungpriok, oleh Sabirin dilaporkan mampu menangani 420.1 TEU/tahun, dan lapangan penumpukan 2.000 TEU. Khusus untuk CFS (Container Freight-Station), dalam waktu dekat akan ditambah lagi. Sehingga UTC Tanjungpriok akan dapat menangani sekitar 180.000 peti kemas/tahun.
Lama Dinanti-nantikan
Gubernur DKI Jaya Tjokropranolo mengatakan, kehadiran terminal peti kemas sebenarnya sudah sejak lama dinanti-nantikan. Sebab fasilitas itu merupakan sarana amat penting dan salah satu sistem angkutan barang yang baru, efektif dan efisien.
Sistem angkutan dengan peti kemas, banyak memberi keuntungan. Standar ukuran tiap unit peti kemas sudah tertentu, sehingga memberikan kemudahan dan kecepatan dalam pengangkutan.
Guna mengimbangi kelancaran arus lalulintas, perkembangan prasarana dan sarana angkutan di daratnya perlu ditingkatkan. Untuk itu Pemerintah DKI Jaya merencanakan sistem pola angkutan barang dengan sistem pola pergudangan dan daerah industri, sesuai rencana induk DKI Jaya.
Dengan demikian, angkutan peti kemas dari dan ke pelabuhan Tanjungpriok akan mempunyai jaringan jalan dan tingkat layanan yang sesuai dengan sifat dan tujuannya. (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (21/05/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 381-383.