TJERITERA DIBALIK BERITA PERDJALANAN PRESIDEN SOEHARTO: ANGKOR-WAT, BINTANG2 BERTABURAN DAN KISAH HAK SELOP PATAH [1]
Djakarta, Kompas
SETELAH atjara2 jang berat di Tokyo, kundjungan ke Kambodja merupakan selingan. Artinja: atjara tetap padat, tetapi sifatnja ringan. Mengundjungi Angkor-Wat (batja: “angkor-wot”). Melihat2 museum menjaksikan tarian2, dsb. Walaupun demikian tidak dilupakan tudjuan pokok; mendjalin persahabatan dengan negara tetangga, memberikan pengertian kepada dunia luar tentang Indonesia dewasa ini.
Angkor-Wat adalah sebuah tjandi sematjam Borobudur, akan tetapi djauh lebih luas. Letaknja di dekat kota Stemreap, kira2 1 djam perdjalanan dengan pesawat terbang dari Phnom Penh. Di sekitarnja terdapat beberapa tjandi lain seperti Bavon, Ta Prohm, Sras Srong, dll.
PADA atjara2 bebas sematjam ini kedua Kepala Negara dan First Lady mendapat kesempatan sepenuhnja untuk saling mengenal dan memperlihatkan kepribadian masing2.
Tidak djarang terdengar gelak-tawa mereka, suara keras melengking dari Pangeran Sihanouk (komentar rekan2: “Rupa2nja memang dia tidak dapat bitjara perlahan2”) selalu mengatasi suara2 jang lain. Sekali dua kali diimbangi oleh komentar lutju dari Pak Frans Seda.
Pak Harto hanja tersenjum-senjum mengangguk-angguk sambil kadang2 memberikan komentar. Tidak demikian dengan Ibu Harto, kerapkali terdengar percakapan2nja dan komentar2nja dg. spontan. (Mereka bitjara dalam bahasa Inggeris di luar atjara2 resmi. Dalam atjara resmi Sihanouk berbahasa Prantjis; Pak Harto berbahasa Indonesia jang kemudian diterdjemahkan kedalam bahasa Prantjis.
Di Djepang pidato2 Pak Harto dalam Bahasa Indonesia diterdjemahkan dua kali dalam bhs Inggeris dan dalam bahasa Djepang. Sebaliknja berbeda dengan Suaminja, putri Monique nampak pendiam. Dan sesuai dengan adat sopan-santun wanita Kambodja, dilarang menondjolkan diri dengan tampil kemuka pada pembitjaraan2.
Sipat2 bebas benar2 nampak selama kundjungan ketjandi2 itu. Pangeran Sihanouk, Pak Harto serta para Menteri2 semuanja berpakaian tak resmi. Kebanjakan sporthem biasa, Sedangkan Ibu Harto berpakaian kebaja pandjang. Berbeda dengan atjara2 resmi, kali ini kedua Kepala Negara serta First Lady masing2 naik kendaraan jang dikemudikan sendiri oleh Pangeran Sihanouk.
Diantara para Menteri jg paling banjak memperdengarkan suaranja adalah Pak Adam Malik dan Pak Frans. Rupa2nja Bapak2 jang lain masih terlalu lelah atau mungkin djuga mereka sedang asjik menikmati kemerdekaan mereka setelah 4 hari lamanja dikurung di Geihinkan.
(Di Tokyo semua rombongan resmi dikonsinjir di Guest House Geihinkan. Pendjagaan Geihinkan adalah sangat kuat, sehingga tanpa tanda pengenal tak seorangpun – baik Menteri maupun bukan – tak dapat keluar masuk).
Menarik perhatian adalah kain jang dipakai Ibu Harto pada malam itu. Bukan kain batik, melainkan sampat (kain Kambodja) jang motifnja mirip batik. Kombinasi dengan kebaja pandjang. Manis djuga.
“Itu saja belikan untuk Bu Harto, kemudian saja buatkan rok sekalian. Sebab barangkali Ibu Harto nanti membutuhkan. Bagus …” demikian Ibu Budihardjo, isteri Dubes kita di Kambodja ketika ngobrol2 dengan wartawan anda.
Ratusan pelita jang dipasang pada upatjara keagamaan sebelum kita memasuki tjandi Angkor-Wat mengingatkan kami pada kata2 “bintang2 bertaburan”, suatu peristiwa jang terdjadi di malam sebelumnja.
Pada malam itu – malam pertama – Pangeran Sihanouk telah mengadakan makan malam gala di Istana Negara “Chamcar Mon” untuk menghormati tamunja. Pada kesempatan itu Pak Harto beserta Ibu dengan seluruh anggota rombongan resmi telah mendapat bintang kehormatan jang tertinggi dan para Menteri satu pangkat lebih rendah.
Tidak ketinggalan adalah para wartawan dan petugas2 jang ikut dalam rombongan. Untuk mereka bintang2 tsb telah dikirimkan satu djam sebelumnja di kamar masing2 dihotel “Monorom”. Bintang jang diberikan kepada para wartawan adalah “Medallie Chevaller de L’ Orde Royale du Sahametrei”.
Ketika kami datang diperdjamuan makan tsb (di Djepang para wartawan tidak diundang pada pendjamuan makan kenegaraan), ternjata seluruh staf KBRI mendapat bintang pula. Tetapi agak lain. “Wah, di Kambodja bintang2 benar2 bertaburan. Tidak hanja dilangit, tetapi djuga sampai di badju2”, demikian komentar seorang rekan.
Ada benarnja djuga. Di mana2 kita lihat bintang2 djasa tertjantum di dada Polisi lalu lintas kerapkali mempunjai lebih dari dua bintang djasa pada dadanja, anak-anak sekolahpun memakai sematjam medali dengan gambar Sihanouk.
PADA djamuan makan di “Chamcar Mon” ini telah terdjadi suatu hal jang sangat lutju. Seorang anggota rombongan ketika akan turun dari tangga telah mengalami ketjelakaan; hak selopnja patah,” Kasihan.
Seorang pria jang berumur kira2 35 – 40 tahun mempersilahkan anggota rombongan tsb duduk pada medja makan. Maka duduklah kami berempat pria jang baik budi itu, seorang Ibu dari staf KBRI dan kami berdua.
Setelah menjuruh seseorang untuk membetulkan selop jang patah haknja pria tsb duduk ngobrol2 dan makan bersama kami. Ngomong punja ngomong sampailah wartawan anda pada pertanjaan: ‘Tuan bekerdja dimana? Apakah di Kementerian Luar Negeri?”
“Yes” Djawab pria itu.
“Dibagian apa?” tanja wartawan anda lebih landjut.
“I’m the Foreign Minister”.
Masja Allah!!! Ternjata pria itu adalah Prince Norodom Phurisara Menteri Luar Negeri Kambodja dan kemenakan dari Pangeran Norodom Sihanouk. Orangnja sederhana sekali pakaiannjapun sederhana. Walaupun resmi, tidak mentereng; setelan djas putih dgn dasi kupu hitam.
Segera pertjakapan jang semula tentang makanan, kesenian, universitas, dan kehidupan kedua bangsa, segera beralih pada hal2 jang lebih serius.
“Apakah Kambodja akan masuk ASEAN?” saja bertanja
“Tidak untuk sementara Kambodja tidak mempunjai pikiran untuk masuk kedalam ASEAN, karena ASEAN sekarang ini terdiri dari negara2 jang “on the side of America” – memihak Amerika,” demikian djawabnja.
“Apakah Tuan berpendapat bahwa Indonesia sepihak dengan Amerika Serikat?”
“Indonesia mungkin tidak, akan tetapi negara2 anggota lainnja demikian”. (DTS)
Sumber: KOMPAS (1968)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 31-33.