TJERITERA DI BALIK BERITA
PERDJALANAN PRESIDEN SOEHARTO: VALDA GENDJER2 DAN LAGU KESAJANGAN BAPAK [1]
Oleh Wartawan Kompas
Djakarta, Kompas
Masjarakat bertanya-tanya mengapa Presiden Soeharto memilih Kambodja sebagai negara dalam kundjungan muhibahnja. Mengapa tidak mendahulukan negara lain sadja.
Apa sih keuntungan ke Kambodja?
Lagi pula bukankah merupakan suatu tindakan jang terlalu berani untuk berkundjung ke Kambodja pada saat-saat sekarang ini? Bukankah disana banjak terdapat simpatisan PKI?
Dan bagaimanakah nantinja penerimaan Pangeran Norodom Sihanouk? Bukankah dia teman baik Bung Karno?
Demikian pertanjaan2 jang timbul dalam hati rakjat ketika mendengar pengumuman bahwa Pak Harto akan berkundjung ke Kambodja.
Kundjungan ke Kambodja mau tidak mau mengingatkan kita kembali kepada masa lampau, kepada Bung Karno dan zamannja.Massa rakjat jang dikerahkan untuk menjambut di tepi-tepi djalan mengingatkan kita kembali pada zaman sekitar tahun enam puluhan.
Kemana rombongan pergi, disitu terdapat ribuan massa rakjat jang terdiri dari anak2 sekolah, pegawai2 negeri, buruh, petani dan ormas2. Selama 3 hari mereka kerdjanja hanja berteriak2 dan melambai2kan bendera kedua negara.
Praktis di semua sekolah dan kantor2 pada hari2 itu tidak ada kegiatan. Persis seperti kita pacta zaman dulu.
Slogan2 jang mengelu-elukan Presiden kita tidak tjukup satu dua sadja. Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan slogan2 sematjam ini terpantjang disemua djalan2 di kota Phnom-Penh dan sekitarnja.
Pada malam hari nampak seluruh kota Phnom-Penh bermandikan lampu2 merah, hidjau, biru, kuning, ungu. Pokoknja, hebat sekali deh. (“Sampai perasaan djadi tidak enak”, – kata seorang rekan). Kitapun dulu demikian.
Kemudian lagi rapat raksasa di stadion Nasional. Pakai mass-display, balon wama-warni jang diterbangkan di udara, ratusan burung merpati jang dilepaskan untuk menjambut. Ditambah sorak-sorai dan tepuk-tangan seperti dikomandokan.
Tamu djuga diarak keliling lapangan dalam mobil terbuka. Bukankah kitapun dulu mengalami demikian?
Di Tokyo sambutan lain sekali sifatnja. Di sana rakjat tidak dikerahkan untuk menjambut. Lapangan terbang Haneda tidak penuh berdjubel dengan massa rakjat.
Rakjat jang mau datang, boleh datang. Jang mau tinggal dirumah, tidak “dikomando”kan untuk datang menjambut.
Kota Tokyo tetap “biasa” sadja. Semua orang tetap melakukan kegiatan rutin masing2. Rakjat djalan, sisopir taksi, sipemilik toko, tidak terlalu ambil pusing apakah ada Djenderal Soeharto datang di Tokyo atau tidak.
Akan tetapi, djika ditempat2 umum, setjara kebetulan mereka melihat Presiden kita atau ibu, seperti misalnja di Yokohama Dreamland, di Tokyo Tower dan di Departement Store, maka berdesak2anlah mereka ingin melihat sambil memberikan sambutan jang spontan dengan djepretan2 lensa “Canon, Yashica, Petri” jang dimiliki oleh hampir setiap anak sekolah di Djepang.
Atau djika iring2an mobil Presiden kita lewat, maka keluarlah beberapa buruh pabrik, pegawai2 kantor, mendjenguk di djalan. Akan tetapi mereka tetap mengenakan pakaian kerdja masing2 dan tidak dandan dulu. Mereka keluar rumah lebih2 untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka dari pada untuk menjambut.
Tudjuan Sihanouk adalah baik. Ingin menjenangkan tamu2nja dan melajaninja sebaik mungkin. Dalam hal ini ia berhasil: memang ia seorang tuan rumah jang “perfect”, jg berhasil membuat tamunja merasa kerasan di negara orang.
Tidak dapat disalahkan bahwa sambutannja mengingatkan kita kembali kepada zaman Bung Karno. Karena memang demikianlah struktur negara dan pemerintahan Keradjaan Kambodja.
Ketjuali apa jang telah disebutkan di atas kerap kali kata2 Sihanouk sendiri mengaitkan Presiden Soeharto dengan Bung Karno.
Sebuah tjontoh: seorang rekan mentjeritakan bahwa Pangeran Norodom Sihanouk selalu membanggakan hasil2 barang dalam negeri. Pada suatu kali ia menawarkan permen “valda” kepada Pak Harto. Maka njeletuklah Menteri Keuangan kita: “Apakah ini djuga buatan Kambodja ?” Terhadap utjapan ini Sihanouk mendjawab: “oh, bukan. Saja hanja menawarkan “valda”, kalau2 mungkin Pak Harto memerlukan. Karena dulu Bung Karno senang sekali dengan “valda”.
Di Rapat Raksasa jang diadakan di Stadion Nasional, Phnom-Penh, tiba2 terdengar lagu “gendjer2 …lagu PKI jang dilarang di Indonesia …berkumandang diudara.
Seluruh anggota rombongan terkedjut. Security kita bingung. Mereka akan menghentikan lagu itu tjepat2. Akan tetapi terhalang oleh masa. Untunglah lagunja pendek sehingga tjepat habis.
Memang sebelumnja dalam atjara2 jang lain telah banjak diperdengarkan lagu2 dan diperlihatkan tari2an Indonesia. Misalnja lagu2 “Madju Tak Gentar”, “Bengawan Solo”, “Pulau Bali”, “Burung Kakaktua” dan sebagainya.
Pada malam kesenian jang diadakan di gedung Chakdomukh, putri Pangeran Sihanouk, Putri Buppha Devi telah menarikan tarian ”Topeng”, (Ketjuali Putri Buppha Devi jang sangat terkenal sebagai penari di Kambodja, pada malam itu tjutju Sihanouk – anak Buppha Devi – djuga telah menarikan sebuah polka Tjekoslovakia).
Akan tetapi tak seorangpun menjangka bahwa lagu2 gendjer2 akan diperdengarkan kepada Pak Harto.
Menurut Pak Adam Malik, tidak ada kesengadjaan dari pihak tuan rumah. “Mereka tidak sengadja, soalnja mereka tidak tahu. Saja sudah bilang sama Dubesnja supaja memberitahukan jang mana lagu2 PKI,”Demikian Adam Malik.
AKAN tetapi untunglah bahwa Pak Harto dan Ibu Harto sendiri dapat menanggapi keadaan itu dengan baik. Mereka menundjukkan bahwa mereka tidak membentji Bung Karno dan bahwa adalah kemauan rakjat djika Pak Harto sekarang mendjadi Kepala Negara.
Pada djamuan makan malam jg diadakan oleh Sihanouk di istana Chameas Mon untuk menghormati tamunja, telah diperdengarkan lagu “Burung Kakaktua”. Dengan simpatik Ibu Harto berkata itu lagu kesajangan Bung Karno. Dengan bersikap demikian itu Pak Harto dan Ibu Harto sendiri memerlukan waktu lama untuk merebut hati tuan rumah dan rakjat Kambodja pada umumnja.
Demikianlah beberapa tjeritera2 jang terkumpul selama mengikuti perdjalanan Presiden kenegara Sakura dan Negara Angkor-Wat. Okunt (=terima kasih). (DTS)
Sumber: KOMPAS (1968)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 34-36.