“Tridharma”, Petunjuk Bagi Kita

“Tridharma”, Petunjuk Bagi Kita [1]

Ciri-ciri pokok demokrasi ekonomi kita adalah produksi oleh rakyat, untuk rakyat, dan dipimpin serta diawasi oleh masyarakat. Tujuannya antara lain untuk memakmurkan masyarakat, bukan memakmurkan orang seorang. Berkenaan dengan itu, pengusaha-pengusaha harus kita arahkan. Semua potensi yang kita miliki harus kita bimbing jangan sampai lepas dari jiwa dan semangat yang kita tuju, yaitu kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, bukan seperti negara liberal. Bentuk yang paling cocok adalah koperasi. Karena itu koperasi harus menjadi tulang punggung kehidupan ekonomi kita. Tetapi kenyataan adalah bahwa koperasi kita masih harus kita tumbuhkan. Potensi-potensi yang ada adalah swasta dan pemerintah.

Demokrasi ekonomi yang ada sekarang ini kita tingkatkan. Kita tempa pengertian kerjasama antara swasta, pemerintah, dan koperasi. Ketiga unsur ini harus saling menunjang dan bukan saling memusuhi atau saling mematikan. Bahkan swasta dan pemerintah yang mempunyai potensi yang lebih besar itu harus melindungi koperasi dan bukan sebaliknya.

Keadaan sekarang menunjukkan bahwa rakyat pada umumnya tidak memiliki alat produksi. Yang mereka miliki cuma tenaga. Mereka adalah buruh. Melihat keadaan demikian, seharusnya kita menaruh perhatian kepada kepentingan buruh dan melindungi kepentingan mereka. Dengan pikiran itu, sepatutnya kita mengharuskan pihak swasta yang bermodal, yang memiliki alat produksi, dan pemerintah memperhatikan pihak buruh, artinya membantu buruh.

Kita tidak menginginkan kehidupan seperti di Barat, di mana terjadi pertentangan sengit antara buruh dan majikan. Majikan di sana mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dan memeras buruh. Sebab itu pula, reaksi dari pihak buruh di sana menuntut upah setinggi-tingginya sehingga bisa menyebabkan ambruknya pula perusahaan.

Di Indonesia hal seperti itu harus dicegah. Kita pilih jalan dengan cara “perburuhan Pancasila”, atau yang kemudian kita sebut “Industrial Peace”, industri yang damai, atau perdamaian di tengah dunia industri.

Kita lebih menekankan kepada “Tridharma”. Dus hubungan kerja yang berjalan sah di sini adalah kerjasama antara buruh  dan majikan yang diatur atas dasar “Tridharma”, Tiga Pengabdian. Yang penting adalah pandangan dan pegangan “Rumangsa melu handarbeni”, merasa ikut memiliki. Sekalipun secara hukum si buruh itu tidak memiliki pabrik itu, tetapi karena merasa  ikut memilikinya sebagai sumber hidupnya, maka bisalah suasana di antara kedua belah pihak itu berjalan dengan menyenangkan. Pihak buruh harus bisa merasa memiliki perusahaan itu. Dengan begitu, ia turut membantunya. Dengan begitu, ia menunjangnya dan bukan merusaknya.

Bisanya diciptakan suasana demikian adalah karena pihak majikan tidak mengeksploitasi pihak buruh. Kalau buruh tidak ada, tidak bisa bekerja, mana pula pabrik itu bisa jalan. Karena itu pula, si majikan harus benar-benar memperhatikan kesejahteraan pihak buruh. Jadi, hendaknya buruh diikutsertakan untuk menentukan pengelolaan secara terbuka. Dengan demikian, Tridharma dapat dikembangkan atau dilaksanakan dengan baik antara majikan dan buruh.

Kemudian, kalau memang ada persoalan, pemerintah wajib ikut menyelesaikan, dengan memandang bahwa kedua belah pihak sama penting dalam suasana pembangunan. Pemerintah wajib melindungi kepentingan buruh. Tetapi pemerintah juga wajib memelihara pabrik itu jangan sampai ambruk. Pemerintah wajib mendamaikan kedua belah pihak. Pemerintah, majikan, dan buruh menjadi “triparty”, menjadi tiga sekawan.

Itulah yang kita kembangkan di sini sebagai hubungan “Industri Pancasila” yang berulang-ulang dikemukakan oleh Sudomo dan dulu disebut “perburuhan Pancasila”.

Tridharma itu: “Rumangsa melu handarbeni”, merasa ikut memiliki, lalu “Wajib melu hangrungkebi”, berarti membina jangan sampai perusahaan itu dirusak sekalipun bukan miliknya,  karena merupakan sumber hidupnya. Dharma yang ketiga adalah “mulat sarira hangrasa wani” supaya selalu mengoreksi, mawas diri. Selalu harus dipertanyakan, apakah ketiga dharma itu terus dikembangkan, baik oleh si buruh maupun oleh si majikan?

Sudomo saya instruksikan untuk menjelaskan konsepsi perburuhan kita kepada semua pihak, malahan juga kepada dunia. Boleh jadi ada pihak yang merasa ganjil mendengar pikiran kita ini. Tetapi nyatanya kita bisa menciptakan suasana ini. Konsepsi ini bisa jalan. Konsepsi kita berlainan dengan konsepsi Barat, baik komunis maupun liberal.

Boleh jadi orang di Barat tidak mengerti akan filsafat kita ini, mengenai keserasian antara kepentingan majikan dan buruh. Mengenai sikap kita tentang mogok itu saja mereka tidak bisa mengerti. Mengapa buruh tidak boleh mogok? Sebenarnya kita tidak perlu melarang mogok. Tetapi mogok tidak perlu kalau kedua belah pihak bisa bekerjasama dengan baik.

Kita tidak melarang mogok itu sendiri. Kita tidak menghilangkan hak-hak asasi buruh. Tetapi kita harus selalu berpegang pada pikiran bahwa pembangunan ini harus jalan. Kepentingan itu harus selalu dipikirkan oleh ketiga pihak. Tiga semangat itu harus menjadi satu yakni semangat buruh, majikan, dan pemerintah. Maka tidaklah perlu terjadi pemogokan.

Segalanya harus dimusyawarahkan. Si buruh harus melihat bahwa si majikan itu bukan musuhnya. Demikian juga sebaliknya. Buat kita, kedua kesatuan itu, bersama pemerintah harus sadar bahwa kedua belah pihak saling menghidupi. Demokrasi ekonomi adalah saling menghidupi antara kekuatan-kekuatan ekonomi.

Buruh harus dijiwai oleh Pancasila. Majikan pun harus dijiwai oleh Pancasila. Pemerintah dengan sendirinya melindungi kedua-duanya. Milik swasta berarti milik nasional. Tenaga buruh berarti milik nasional. Bila kedua belah pihak saling berhantam, maka kita kehilangan kedua kekayaan nasional itu.

***



[1]        Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 373-375.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.