TUNISIA HADAPI TANTANGAN AN-NAHDAL [1]
Jakarta, Kompas
PRESIDEN Soeharto hari Senin (13/ 11) ini dijadwalkan tiba di Tunisia, untuk kunjungan dua hari sebelum melanjutkan perjalanan menghadiri pertemuan puncak Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Seattle, AS. Kunjungan Presiden Soeharto ini merupakan kunjungan pertama Presiden Indonesia ke Tunis selama lebih dari 28 tahun terakhir. Bagi kita di Indonesia, umumnya tidak banyak yang kita ketahui tentang Tunisia, kecuali bahwa Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan pemimpinnya Yasser Arafat bermarkas di sana.
Kunjungan Presiden Soeharto saat ini hanya sepekan setelah tanggal 7 November lalu, yang merupakan peringatan enam tahun pemerintahan Presiden Zein al-Abidin Ben Ali. Tunisia adalah negara Afrika Utara, terletak antara Aljazair dan Libya, dan menghadap ke arah pantai selatan Eropa lewat Laut Tengah. Luas wilayahnya 164.150 km2 (sedikit lebih besar dari Pulau Jawa), dengan populasi sekitar 8,5 juta dan pendapatan per kapita mencapai 1.600 dollar AS.
Pada 7 November 1987, PM Ben Ali mengambil alih pemerintahan sebagai Presiden kedua Republik Tunisia. Waktu itu, Ben Ali menjanjikan melakukan perubahan-perubahan mendalam di semua bidang, guna menangani tantangan tantangan baru yang dihadapi negeri itu. Di tingkat politik, Ben Ali memperkenalkan perubahan baru dalam konstitusi Tunisia, yang menghapus jabatan Presiden seumur hidup dan membatasi masa jabatan Presiden sampai lima tahun. Ia juga membebaskan seluruh tahanan politik dan membolehkan organisasi hak asasi, Amnesti Internasional, untuk membuka kantor di Tunis.
Lebih jauh, ia juga memberlakukan undang-undang tentang partai politik dan kebebasan pers pada 1988. Ben Ali berhasil menggalang seluruh kekuatan politik dalam sebuah pakta nasional, yang menyerukan usaha bersama untuk mendorong proses pembangunan.
Swastanisa si
Di bidang ekonomi, Ben Ali membuka jalan ke arah swastanisasi sektor umum, mendorong perusahaan bebas dan mengizinkan pembentukan perusahaan-perusahaan perdagangan internasional. Dari 1987 hingga November 1993, peraturan investasi diperbaiki dua kali, untuk menarik investasi yang terutama dari Eropa dan Timur Tengah. Langkah-langkah ini dimaksudkan Ben Ali untuk memberi citra baru bagi Tunisia, sebagai negara berorientasi pasar dan surga bagi investasi.
Tunisia memang sudah dikenal di kawasan itu sebagai salah satu mitra ekonomi dan gerbang ke Eropa, bukan hanya karena alasan-alasan ekonomi, tetapi juga alasan historis. Tunisia mengklaim dirinya sebagai “Singapura di Afrika Utara” karena perannya yang semakin penting sebagai pusat pengekspor-kembali (re-exporting center) bagi produk-produk asing. Pada kenyataannya, Tunisia juga sebuah negeri pariwisata, yang tiap tahun menyedot 4 juta turis dari Eropa dan negeri-negeri Magribi yang berdekatan. Pendapatan tahunan dari pariwisata mencapai 1,3 milyar dollar AS.
Hubungan Indonesia dan Tunisia sangat baik. Hubungan ini sudah berlangsung lama, sejak Indonesia mendukung perjuangan Tunisia melawan kolonialisme pada 1950-an. Posisi kedua negara pada tahun-tahun terakhir menunjukkan pendekatan yang serupa dalam banyak isu, termasuk masalah Islam dan keluarga berencana, Tunisia juga mendukung Indonesia dalam isu-isu peka, seperti soal Timor Timur.
Dalam kerja sama ekonomi, kedua negara menjadi mitra sejak 1970-an, ketika Indonesia mulai membeli pupuk untuk memenuhi kebutuhan beras yang meningkat. Sedangkan Tunisia mengimpor kopi, tembakau, tekstil, dan karet. Menurut data Tunisia, volume perdagangan kedua negara mencapai puncaknya pada 1989 dengan nilai 60 juta dollar. Tetapi kemudian merosot lagi menjadi sekitar 30 juta dollar.
Karena kesadaran akan perlunya meningkatkan hubungan kedua negara, para pejabat telah meningkatkan usahanya sejak diadakannya komisi ekonomi bersama pada Juli 1991. Mereka telah menandatangani sejumlah persetujuan, khususnya untuk menghindari pajak ganda, jaminan dan proteksi investasi, antara kamar dagang Tunisia Selatan dan forum konsultatif Organisasi Konferensi Islam (OKI) dari Kadin.
Identitas Muslim
Menurut komunike pers Kedutaan Tunisia di Jakarta, di bawah Ben Ali, Tunisia menekankan identitas Muslimnya, “namun dengan pendekatan yang moderat sangat mirip dengan pendekatan Indonesia terhadap isu-isu religius.” Sejak awal, Ben Ali menegaskan, “Ekstremisme tidak punya tempat di Tunisia,”
Menurut catatan The Middle East, Ben Ali tampaknya telah berhasil mengatasi tantangan kaum militan Islam sementara ini. Tak ada insiden kekerasan politik di Tunisia pada 1992. Pemerintah secara konsisten selalu mengklaim bahwa kaum militan Islam di negerinya- terutama anggota partai An-Nahdha (Kebangkitan) -didukung dan dibiayai oleh pemerintah asing, terutama Iran dan Sudan. Ini tentu masih harus dibuktikan, apakah setiap kerusuhan di dalam negeri pasti semata-mata didalangi pihak asing. Bagaimanapun, Tunisia bergabung dengan Pemerintah Mesir dan Aljazair, dalam menuduh keterlibatan Iran dan Sudan.
Pada Agustus 1992, pengadilan militer Tunisia menjatuhkan vonis terhadap 279 tersangka pendukung An-Nahdha, yang dituduh berkomplot pada 1991 untuk menggulingkan pemerintah dan membunuh para pemimpin Tunisia. Dari seluruh terdakwa, 265 dijatuhi hukuman penjara antara setahun sampai seumur hidup. Sedangkan 14 lainnya dibebaskan. Pemimpin an-Nahdha Raehid Ghannouchi -yang mencari suaka politik di Inggris dijatuhi hukuman mati in absentia.
Namun An-Nahdha, walau merupakan partai terlarang, berhasil menggalang dukungan cukup meluas. Meski aktivitas an-Nahdha berhasil diredam, keluhan keluhan tentang kesulitan ekonomi terutama di kalangan kaum muda yang menganggur- tetap menjadi lahan bagi pembangkangan. Meski pemerintah berhasil secara efektif menekan an-Nahdha, sejauh ini ia belum memberi alternatif saluran bagi kritisisme kaum muda ini. Kekhawatiran utama adalah kerusuhan kelompok Islam di Aljazair akan memicu pergolakan pula di Tunisia.
Pemerintah kinimengkonsentrasikan diri pada penyelesaian program liberalisasi ekonomi dan menstrukturisasi. Namun jlka dimaksudkan untuk menjamin semacam kestabilan yang akan menarik investasi asing, maka pernerintah tampaknya harus meluaskan partisipasi politik.
Partai yang sekarang berkuasa, Rassemblement Constitutionel Democratique (RCD) bisa menguasai kursi di parlemen , terutama karena pihak oposisi sekuler tidak efektif dan terpecah. Partai oposisi terbesar, Movement des Democrates Socialistes, telah pecah menjadi beberapa fraksi. Sementara partai-partai oposisi lain juga terpecah belah. Gerakan serikat buruh, yang dipimpin Union Generale Tunisienne du Travail, tidak mendapat izin untuk membentuk partai politik sendiri yang mungkin bisa menjadi basis oposisi yang lumayan.
Jika Presiden Ben Ali ingin meredakan potensi kekisruhan politik dimasa depan, tampaknya ia tidak cukup hanya berkutat di bidang ekonomi, yang relatif memang cukup sukses. Namun juga harus berbuat lebih konkret dalam memenuhi janjinya bagi demokratisasi bertahap yang dicanangkannya pada 1987.
Di sisi lain, partai-partai sekuler non pemerintah juga harus menunjukkan bahwa mereka bisa diandalkan oleh masyarakat, dan tidak asal jadi pembangkang saja. Jika kedua pihak ini- pemerintah dan partai sekuler oposisi- gagal memberi alternatif, bisa diperkirakan bahwa An-Nahdha akan makin populer dan bangkit sebagai alternatif. Ujian utarna bagi pencanangan demokratisasi ini adalah pemilu legislatif tahun 1994, yang mungkin akan mernberi gambaran menarik tentang perkembangan politik di Tunisia khususnya dan Afrika Utara umumnya. (Satrio Aris munandar, dari berbagai sumber)
Sumber : KOMPAS (15/ 11/1993)
_____________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 284-287.