UPAYA MENGHINDARI GEJOLAK[1]
Jakarta, Bisnis Indonesia
Pidato akhir tahun Presiden Soeharto cukup penting untuk direnungkan karena dalam tahun 1996 ini diramalkan akan terjadi berbagai gejolak. Kepala Negara tampaknya sangat menyadari hal tersebut. Ia meminta masyarakat mengerahkan segala daya upaya dan pikiran untuk menghindarinya sebab hal tersebut akan menyeret mundur dan sangat merugikan.
“Apapun alasannya ekonomi, sosial, budaya, agama ataupun politik setiap gejolak yang terjadi jelas merupakan langkah mundur bagi bangsa secara menyeluruh.” tandas Kepala Negara dalam pidato Senin malam.
Peringatan Kepala Negara tersebut patut direnungkan oleh semua pihak, tak ada yang terkecuali. Pengalaman selama 50 tahun Indonesia merdeka menunjukkan bahwa gejolak dalam masyarakat bisa terjadi karena beragam alasan. Pada tahun 1995 saja bisa dicatat terjadinya sejumlah gejolak, baik yang berlatarbelakang ekonomi, SARA, politik dan lain sebagainya.
Setiap gejolak, besar atau kecil, menimbulkan kerugian terutama pada masyarakat. Seringkali tidak hanya kerugian moril dan materil, bahkan jiwa.
Setiap gejolak apapun latarbelakangnya, umumnya muncul dari suasana yang tidak serasi. Bisa saja disebabkan aturan yang kurang adil atau pelaksanaannya yang kurang baik. Pemaksaan kehendak dari suatu pihak atas pihak lainnya juga menimbulkan ketidakserasian itu. Bila hal tersebut terus terpendam banyak warga masyarakat memilih diam karena berbagai alasan akan menimbulkan semacam perasaan dendam yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Maka faktor pemicu menjadi semata-mata momentum yang menyebabkan gejolak tersebut muncul ke permukaan, yang seringkali tidak menggambarkan penyebab sebenarnya. Kenapa tiba-tiba, misalnya ,muncul kerusuhan di Pekalongan, Purwakarta dan sejumlah kota lain dengan faktorpemicu yang sebetulnya bukan soal besar?
Kita tak perlu menyembunyikan kenyataan masih banyaknya kontradiksi yang membingungkan masyarakat akibat menyoloknya perbedaan antara apa yang mereka dengar dan mereka lihat sehari-hari. Hal ini terjadi di berbagai lapangan kehidupan masyarakat, yang intensitasnya terus bertambah.
Pemerintah sudah pasti terus berusaha menjembataninya dengan makin memperpendek kesenjangan yang terjadi. Namun kita juga menyaksikan belum seluruh aparat memiliki komitmen yang sama untuk mensukseskan misi pemerintah sendiri. Katakanlah, misalnya, soal misi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Hingga saat ini masih menjadi pertanyaan besar setelah bertahun-tahun dicanangkan apakah kita sudah semakin dekat pada sasaran tersebut ataujustru menjauh.
Persoalannya adalah rakyat telah bersedia memikul beban pembangunan, terutama kerelaan mereka memenuhi kewajiban membayar pajak. Ketergantungan pemerintah terhadap pembayaran pajak yang sebagian besar digunakan untuk membiayai birokrasi, seyogyanya melahirkan pertanggungjawaban yang tinggi terhadap rakyat. Hal ini sebetulnya suatu yang semata-mata logis, sebagai pencerminan semangat demokratis yang kita anut.
Dalam semangat ini, aspek transparency dan accountability menjadi tuntutan yang dari waktu ke waktu perlu ditingkatkan kualitasnya. Semangat itu seyogyanya tercermin dalam berbagai aspek pembangunan, baik ekonomi, sosial budaya maupun politik .Kiranya tak bisa dikatakan bahwa satu aspek lebih penting dari yang lain meski sekarang kita memilih titik berat pada pembangunan ekonomi sebab hal-hal tersebut saling berkait.
Bidang politik, misalnya ,memiliki bobot kerawanannya sendiri yang, bila sampai terjadi gejolak, lingkupnya bisa sangat luas. Kalau banyak pengamat memperkirakan situasi politik dalam negeri memanas tahun ini, hal tersebut wajar saja, terutama karena menjelang masa kampanye Pemilu 1997. Dalam kaitan ini, sangat bagus pernyataan Kepala Negara bahwa upaya pemenangan suara dalam Pemilu seyogyanya jangan sampai mengorbankan persatuan bangsa.
Hal tersebut memberi makna, bukan sekedar peringatan bagi kontestan tertentu, melainkan kebijaksanaan yang diambil seharusnya menjamin berlangsungnya Pemilu yang bersih, jujur dan adil. Kita mencatat sejumlah ketidakpuasan dari sejumlah kontestan yang tentu mencerminkan kenyataan bahwa penyelenggaraan Pemilu belum memuaskan semua pihak.
Hal-hal tersebut seperti dalam kebijakan ekonomi dan sosial budaya bisa menimbulkan kerawanan-kerawanan. Berubahnya kerawanan tersebut menjadi gejolak bisa terjadi karena berbagai sebab, yang sering tidak ada kaitannya dengan masalah-masalah awal. Maka siapa bisa menebak kapan terjadinya gejolak?
Dengan demikian, persoalan yang harus dicermati adalah munculnya berbagai kerawanan akibat kesenjangan dan kontradiksi yang terjadi. Perhatian kita seyogyanya diarahkan untuk mengurangi sekecil mungkin munculnya setiap bibit kerawanan itu. Hal tersebut tidak mudah menanganinya, tapi bukan suatu yang mustahil bisa diatasi.
Pemerintah tetap memegang kendalinya. Dengan semangat yang makin demokratis, setiap kebijakan yang diambil hendaknya makin memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengekspresikan keinginannya, tanpa rasa takut, ragu atau tertekan.
Tapi, kiranya sulit mengharapkan kehidupan bangsa yang dinamis tanpa gejolak sama sekali. Seringkali gejolak yang terjadi mencerminkan proses dinamisasi dalam sebuah masyarakat. Yang terpenting, dalam masyarakat yang dinamis dan terbuka selalu ada saluran pengendalian, sehingga setiap konflik dan gejolak bisa diredam secara internal dan dibatasi lingkupnya.
Mungkin saja, keterbukaan itu yang perlu terus ditingkatkan. Dan seyogyanya mencakup seluruh aspek pembangunan nasional.
Sumber : BISNIS INDONESIA (02/01/1996)
________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 14-16.