USIA PAK HARTO DAN MASALAH SUKSESI
Jakarta, Suara Karya
Sabtu pekan lalu Presiden Soeharto menyerahkan sertifikat atas hak milik tanah dan rumah susun Klender, Jakarta, kepada pemilik/ penghuninya. Pada kesempatan itu sejumlah pejabat, antara lain Gubemur DKI Wiyogo Atmodarminto dan Dirut Perumnas Suradi Wongsohartono, menyampaikan ucapan selamat ulang tahun ke-69 kepada Presiden yangjatuh pada tanggal8 Juni 1990.
“Saya menyadari usia saya sudah 69 tahun, bahkan menurut tahun Jawa sudah 71 tahun,” kata Presiden setelah menerima ucapan selamat HUT-nya yang ke-69. Namun, Kepala Negara minta kepada masyarakat agar tidak perlu ragu-ragu terhadap apa yang dilakukannya dalam usia yang memasuki senja itu.
“Satu tahun lagi saya sudah akan memasuki umur 70 tahun. Mudahmudahan saya pun menyadari akan umur itu, dan saudara-saudara tidak perlu ragu-ragu. Saya ingin menggunakan sisa kepercayaan rakyat untuk mengabdi sebesar-besarnya kepada rakyat,” kata Presiden. Kepala Negara berterima kasih atas doa restu rakyat Indonesia.
BELAKANGAN ini masalah suksesi banyak dibicarakan. Kita tidak tahu apakah penegasan Presiden pada Sabtu pekan lalu itu ada kaitannya dengan masalah suksesi atau tidak.
Walaupun tidak pernah terungkap secara jelas, namun munculnya masalah suksesi sebagai bahan pembicaraan sedikit banyak mungkin dilatarbelakangi oleh pemikiran yang ada kaitannya dengan usia Presiden yang beranjak lanjut itu.
Selama Pak Harto masih bersedia dan merasa mampu, tampaknya, rakyat Indonesia berkeinginan agar beliau melanjutkan kepemimpinan setelah masa jabatan sekarang ini selesai. Oleh karena itu, dibicarakannya masalah suksesi bukanlah dalam kaitannya dengan kepemimpinan Pak Harto, tetapi dalam kaitannya dengan kurun waktu “post Soeharto”.
Langsung atau tidak, Presiden Soeharto pemah menegaskan beliau tidak akan menunjuk “putra mahkota” karena Indonesia, memang, bukan negara kerajaan. Barangkali, justru karena itulah masalah suksesi “post Soeharto” banyak dibicarakan.
MENGENAI imbauan Presiden agar masyarakat tidak perlu raguragu, maka ditinjau dari sudut konstitusi, andaikata, memang, ada keragu-raguan, mestinya keragu-raguan itu tidak beralasan. Sebab, Presiden adalah Mandataris MPR yang berkewajiban dan bertanggung jawab konstitusional dan moral untuk melaksanakan apa saja yang dituntut UUD 1945 serta ketetapan-ketetapan MPR yang diamanatkan rakyat dengan seadil-adilnya. Kewajiban serta tanggungjawab itu tidak hanya akan dipertanggung jawabkan kepada rakyat Indonesia, tapi juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai dengan jiwa dan makna sumpah jabatan Presiden.
BETAPAPUN, apa yang diungkapkan Presiden, barangkali, dapat menjernihkan dan mendudukkan persoalan pada proporsinya. Baik mengenai masalah suksesi maupun pelbagai persoalan lain yang tidak jarang, memang, sempat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan kejernihan.
Sumber : SUARA KARYA (11/06/1990)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 502-504.