VISI DIALOG: SEGI LAIN PEMBANGUNAN KITA

VISI DIALOG: SEGI LAIN PEMBANGUNAN KITA

 

Jakarta, Suara Karya

Dalam pidato akhir tahun, Presiden menyatakan bahwa perhatian utama kita tetap pada pembangunan ekonomi. Namun sama sekali tidak berarti kita mengabaikan segi­-segi lain pembangunan. Kita terus mengembangkan kehidupan politik, kita terus menyegarkan kehidupan demokrasi, kita tetap makin menegakkan hukum, kita menyegarkan kehidupan kebudayaan, kita terns memperdalam kehidupan keagamaan, kata Presiden.

Semangat konstitusi kita memang mengisyaratkan kewajiban untuk mengindahkan juga “segi-segi lain” itu. Politik, demokrasi, hukum, kebudayaan dan agama secara eksplisit disebutkan oleh Presiden sebagai segi-segi lain yang penting selain segi ekonomi dalam pembangunan kita. Memang, demokrasi Pancasila yang kita kembangkan berbeda dengan demokrasi liberal maupun demokrasi parlementer. Tetapi agar tetap masih mencerminkan sifat demokratisnya, sejumlah elemen dasar demokrasi harus kita jaga agar tetap hidup di alam demokrasi Pancasila itu. Misalnya asas kerakyatan yang dituangkan dalam konstitusi, pasal satu. Asas negara hukum, yang juga secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi pasal27. Demokrasi Pancasila juga merujuk kehidupan keagamaan. Lihatlah pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mengenai kebudayaan pun konstitusi kita menyiratkan hak hidup kebhinnekaan budaya daerah dan ketunggal-ikaan pembinaan “puncak-puncak” budaya Indonesia. Lihatlah pasal 32 UUD 45.

Ditinjau secara politik, saya melihat ada beberapa tiang yang masih menyangga tegaknya elemen dasar demokrasi dalam sistem kenegaraan yang didasarkan pada prinsip Demokrasi Pancasila. Elemen itu ialah, pertama, pengakuan kedaulatan berada di tangan rakyat. Secara operasional kedaulatan rakyat itu diwadahi dalam lembaga­lembaga kenegaraan yang ada, termasuk Pemilu, MPR, Presiden, DPR, DPA, Mahkamah Agung, BPK, dan mekanisme kerjanya yang makin melembagajuga.

Kedua, pengakuan bahwa konduk kenegaraan harus didasarkan pada hukum, pada rule of law. Pengertian universal dari konsep rule of law yang sering kita sitir sebagai makna dari pasal 27 UUD 45 itu perlu kita hayati. Bukan hanya “segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum,” tapi juga harus dipatuhi dan ditegakkan, dan hukum itu sendiri tidak boleh melanggar hak-hak dasar, hak-hak asasi manusia. Prinsip ini menurut pemahaman saya adalah pengejawantahan dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila.

Demokrasi Pancasila yang ingin kita mantapkan itu juga harus menjamin tegaknya prinsip yang secara jelas kita ungkapkan dalam kalimat pertama pembukaan UUD 1945. Prinsip itu juga kongruen dengan cita-cita kemanusiaan kita, yaitu bahwa sesungguhnya semua orang itu ditakdirkan dengan fitrah yang sama, sehingga tidak seorang, segolongan atau sekelompok masyarakat yang manapun yang boleh mengaku lebih berhak untuk memerintah atas orang, golongan atau kelompok lain, tanpa persetuju an atau consent orang, golongan atau kelompok yang hendak diperintahnya itu. Prinsip persetujuan atau consent ini lah yang kemudian dioperasionalkan melalui pemilihan umum.

Klairn bahwa keturunan raja-raja, kaum bangsawan, prajurit, pendeta atau kepala suku, pewaris nilai-nilai, anak sulung, anak bungsu, ulama dan sebagainya yang merasa berhak untuk memerintah berkat konon superioritas alaminya, hak sejarahnya atau, pewarisan dari nenek moyang, kita tolak. Demokrasi karenanya harus didasarkan pada verifikasi atas persetujuan atau consent, konsensus, seluruh penduduk yang akan diperintah. Melalui pemilu dan musyawarah untuk mufakat, mekanisme pembentukan kosensus itu kita tegakkan. Hal ini mengakibatkan mekanisme demokrasi pada dasarnya harus mencerminkan adanya verifikasi pilihan, inklinasi dan afiliasi sosial politik sebagian besar penduduk, yang akan menjadi dasar pembentukan konsensus tadi.

Bagaimana kalau pemerintahan yang mencerminkan pilihan suara terbanyak itu bertindak batil? Bagaimana kalau refleksi dari konfigurasi nyata keadaan sosial politik ini ternyata menyusun pemerintahan yang tidak adil? Bagaimana kalau hasil mekanisme konstitusi itu tidak menghormati hak perorangan atau kelompok yang bukan merupakan bagian dari denominator terbanyak dalam pembentukan konsensus itu? Itulah fungsi dan tugas bekerjanya mekanisme konstitusional, disusunnya lembaga­lembaga kenegaraan tadi, sebagai tiang penyangga sistem demokrasi Pancasila untuk mencegah,menanggulangi dan mengoreksinya. Lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi negara itu berfungsi untuk menjamin agar asas pemerintahan oleh kesepakatan suara terbanyak dan perlindungan pada tegaknya hak asasi setiap orang dan setiap kelompok dapat secara serasi, seimbang dan selaras ditegakkan.

Demokrasi secara operasional apa boleh buat adalah kelugasan, betapapun asas gotong royong dan kekeluargaan hendak kita junjung tinggi. Tidaklah elok kalau dengan dalih demi tingginya harmoni atau demi perlindungan atas hak dasar dan hak asasi manusia kita mengabaikan peta consent atau cerrnin persetujuan rakyat. Dalam kebudayaan Barbar, persetujuan consent itu bisa diperoleh dengan paksaan. Dalam kebudayaan yang miskin wahana artikulasi, consent dihitung dengan telunjuk lewat Pemilu. Dalam budaya Pancasila, consent dan kesepakatan dapat diverifikasi disamping lewat hasil Pemilu juga dari konfigurasi sosial budaya konstituensinya, seraya membangun mekanisme konsensusnya. Inilah, menurut pendapat saya, dimensi kebudayaan, hukum, dan politik dan Demokrasi Pancasila kita.

 

 

Sumber : SUARA KARYA (04/01/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 32-34.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.