VOLUME PEMBANGUNAN HENDAKNYA DIKURANGI
Jakarta, Merdeka
Pemerintah perlu mengurangi volume pembangunan dan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi jika hendak menolak bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan masalah politik dalam negeri.
Demikian ditegaskan Wakil Ketua KomisiAPBN DPRA berson Marie Sihaloho di Gedung DPR Senayan Jakarta, Kamis. Hal senada dikemukakan oleh anggota Komisi VII DPR A. Baramuli yang menyebutkan, Pemerintah sudah saatnya mempertimbangkan pengurangan volume pembangunan guna mengantisipasi kemungkinan menurunnya bantuan luar negeri.
Secara terpisah Wakil Ketua Komisi APBN dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) Hamzah Haz mengatakan , sekarang sudah saatnya dicari altematif pengganti dana pinjaman luar negeri bagi pelaksanaan pembangunan. Upaya iniperlu dilakukan mengingat Indonesia masih cukup tergantung pada bantuan pihak luar.
Sedangkan Wakil Ketua DPR HJ Naro menghimbau para konglomerat untuk turun tangan mengatasi masalah perekonomian ,bila terjadi pemboikotan bantuan luar negen.
Pendapat kalangan DPR ini disampaikan menanggapi pemyataan Presiden Soeharto bahwa Indonesia tidak akan menerima bantuan luar negeri jika persyaratannya dikaitkan dengan insiden 12 Nopember lalu di Dili,TimorTimur.
Presiden juga mengingatkan Bangsa Indonesia tidak perlu takut dan khawatir terhadap ancaman negara-negara pemberi bantuan. “Bilamana tidak ada negara yang membantu, kita tidak akan kelabakan sendiri,” ujar Kepala Negara kepada wartawan sekembalinya dari lawatannya ke lima negara, Meksiko, Venezuela, Zimbabwe, Tanzania dan Sinegal.
RAPBN Dikurangi
Selanjutnya Aberson menyatakan mendukung Pemerintah untuk menolak bantuan luar negeri yang dikaitkan dengan syarat politik. “RAPBN tahun anggaran 1992/93 pun bila perlu dikurangi atau sama dengan tahun anggaran sebelurnnya,” ujar Aberson
sambil menjelaskan, jika APBN tahun 1991/92 sekitar Rp 60,5 trilyun, maka tanpa bantuan luar negeri berarti RAPBN 1992/93bisa jadi hanya sekitar Rp 40,5 trilyun.
Pengurangan sebesar Rp 10 trilyun tersebut disesuaikan dengan perkiraan jumlah bantuan yang akan diterima Indonesia pada tahun anggaran mendatang. Namun demikian, diharapkannya tindakan tersebut tidak perlu diberlakukan.
“Tindakan mengurangi volume pembangunan, disertai memperlambat laju pertumbuhan ekonomi sulit untuk dihindarkan, meskipun saat ini Pemerintah telah membentuk tim Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) yang juga mengurangi sejumlah proyek-proyek besar,” kata Aberson.
Diingatkannya, pernyataan negara donor tersebut perlu diperjelas terlebih dahulu, karena jika yang dimaksud adalah bantuan baru, pihak donor boleh menyatakan pernyataannya. Tetapi jika yang dimaksud dengan bantuan yang telah disetujui tetapi belum dicairkan, maka hal tersebut perlu dipermasalahkan.
Pinjaman Komersial
Pada bagian lain, Aberson maupun Baramuli menyatakan kurang sependapat bahwa pinjaman komersial dapat dijadikan alternatif kebijaksanaan Pemerintah untuk mengantisipasi kurangnya bantuan dari luar negeri.
Menurut Baramuli meski sifatnya pinjaman komersial sekalipun, sulit untuk memastikan apakah pinjaman tersebut bersifat mumi tanpa ada kaitan dengan persyaratan politis.
Disebutkan bantuan luar negeri selama ini sifatnya hanya sebagai pelengkap, sehingga jika bantuan tersebut tidak ada, sudah seyogyanya pembangunan harus tetap berlangsung.
Anggota DPR dari FKP tersebut menyatakan pula, masih sulit untuk memperkirakan alternatif sumber penerimaan dana pembangunan bagi pemerintah jika bantuan dikurangi atau tidak ada sama sekali.
“Jika Pemerintah ingin menggali lagi dana dari perpajakan, saat inidunia usaha sedang dalam kondisi lemah,”ucapnya. Kedua anggota DPR tersebut menilai, selama ini lebih dari 60 persen penerimaan negara dari perpajakan bersumber dari BUMN dan kalangan pengusaha, jika hendak diintensifkan lagi berarti Pemerintah juga harus memberikan peningkatan dorongan berusaha terlebih dahulu.
“Untuk itu, kebijaksanaan Pemerintah yang seolah lebih mengandalkan sektor moneter perlu diubah agar bisa memacu pengembangan di sektor industri keuangan dan perbankan tentunya,” ujar Baramuli. Upaya Diplomasi
Sedangkan Hamzah Haz berpendapat, Pemerintah perlu pula menempuh upaya politik, diantaranya melakukan langkah diplomasi untuk menjelaskan kepada negara negara asing mengenai insiden Dili, agar sikap dan beberapa negara, yang sudah menyatakan menunda bantuannya kepada Indonesia tidak diikuti oleh negara negara lainnya.
Sebab, katanya jika sikap penundaan bantuan luar negeri itu diikuti oleh negara lain, maka posisi Indonesia akan semakin berat. Padahal bantuan luar negeri masih sangat diperlukan untuk mengamankan neraca pembayaran yang terns mengalami defisit.
Selama 20 tahun terakhir ini, menurutnya neraca pembayaran Indonesia yang tidak mengalami defisit hanya pada tahun 1979/1980 dan tahun anggaran 1980/1981.
Dia berpendapat, untuk mengatasi defisit neraca pembayaran tidak ada jalan lain kecuali harus meningkatkan dan memacu ekspor. Selain itu harus dihindari masuknya modal ke Indonesia hanya karena tertarik oleh tingginya suku bunga di Indonesia.
Kalau itu yang terjadi, maka kondisi suku bunga yang tinggi akan dipertahankan tapi akibatnya memukul usaha menengah ke bawah katanya.
Berbicara mengenai pengaruh penundaan bantuan luar negeri terhadap volume RAPBN 1992/1993. Sebab Indonesia masih memakai komitmen-Komitmen yang sudah disepakati sebelumnya. Hanya masalahnya belum bisa dicairkan karena menyangkut persyaratan yang belum bisa dipenuhi, yakni besarnya sekitar 20 hingga 30 milyar dolar AS.
”Yang mungkin terpengaruh adalah pinjaman yang sekarang sedang dirundingkan atau permohonan yang sedang diajukan “tambahnya.
Suram
Sebaliknya anggota Komisi I DPR BN Marbun berpendapat lain. Dia mengemukakan perekonomian Indonesia pada 1992 akan suram dibanding tabun 1991. Produktivitas akan berkurang karena sekian juta ribu jam akan hilang untuk kegiatan Pemilu. Di samping itu masa kekeringan 1991 belum selesai terobati dalam kurun waktu sembilan bulan.
Selain itu dia berpendapat bahwa negara donor tidak begitu tertarik lagi kepada Indonesia, khususnya dalam memberikan sumbangan pembangunan di bidang investasi. Sebab mereka melihat ada alternatif lain, yaitu negara-negara di Eropa Timur dan RRC. Disana prospeknya lebih menguntungkan. Apalagi di negara-negara tersebut tersedia tenaga alih, tenaga terlatih, dan sarana komunikasi cukup memadai.
“Dengan demikian investasi mereka di sana relatif lebih cepat kembalinya dibanding dengan investasi di Indonesia,” kata Marbun.
Menurut Marbun, dalam era globalisasi pedomannya tidak lagi blok, tetapi di mana investasi yang paling menguntungkan. Sehingga dengan demikian, jalan keluar yang terbaik bagi Indonesia ialah memperkuat pasar dalam negeri, pembangunan sarana yang dianggap cukup mendesak dan mengefektifkan ASEAN. Sebab uang dari Hongkong akan diinvestasikan ke ASEAN. Itupun jika ASEAN siap.
“Yang tak kalah penting dalam hal itu ialah perlunya meningkatkan kualitas pendidikan dengan tenaga siap kerja,” ujar Marbun.
Hal yang paling mendasar lagi bagi Marbun adalah membina suatu pasar potensial raksasa, dengan membuat jaringan Jakarta, Beijing dan New Delhi. Jenis-jenis barang yang mempunyai prospek cerah dari pasar ini, diantaranya alat-alat rumah tangga, kebutuhan sehari-hari, garmen, alat-alat kecantikan, mesin mesin dan alat-alat dapur. “Mereka bisa bikin blok. Namun apabila terdapat kekuatan diantara kita, akan ada perudingan dengan negara industri akan lebih berimbang,”kata Marbun.
Penjajahan
Tanggapan terhadap bantuan “bersyarat” dari negara donor, disampaikan pula oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Melalui siaran persnya yang diterima Merdeka, Kamis malam ditegaskan, dana memang faktor penting dalam pembangunan, tapi bukan berarti dana adalah segala-galanya. Bahkan dengan dana yang cukup belum bisa menjamin keberhasilan pembangunan, bila tanpa pengelolaan yang baik.
Berkaitan dengan itu, jika pihak luar dalam memberikan bantuannya mengkaitkan pada masalah-masalah politik, berarti hal ini adalah suatu bentuk penjajahan. Untuk itu HMI mengimbau, agar Pemerintah mengoptimalkan sumber dana dalam negeri serta mencari alternatif baru ke negara-negara Arab. (SA)
Sumber : MERDEKA (13/12/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 510-513.