WAKIL KETUA FKP: DISANA SINI MASIH TERLIHAT EGOISME  SEKTORAL

WAKIL KETUA FKP: DISANA SINI MASIH TERLIHAT EGOISME  SEKTORAL[1]

Jakarta, Merdeka

Wakil Ketua Fraksi Karya Pembangunan (FKP), Oka Mahendra menganggap, koordinasi antar instansi masih perlu dimantapkan, karena di sana sini masih terlihat adanya egoisme sektoral. Hal itu tercermin dari pernyataan-pernyataan pejabat yang satu sama lain tidak ada sinkronnya, dan kebijaksanaan pun sering tidak terkoordinir secara baik.

“Saya sendiri juga heran, padahal presiden sewaktu mengumurnkan Kabinet Pernbangunan V pada 21 Maret 1988 lalu menegaskan, penjelasan UUD 1945 menyatakan bahwa untuk menetapkan politik pemerintahan dan koordinasi pernerintahan negara, para menteri wajib bekerja sama seerat-eratnya di bawah pirnpinan presiden. Sebab itu untuk kerjasama dan koordinasi menjadi salah satu pertimbangan penting dalam menyusun kabinet, ” tegas Oka.

Pada kesempatan terpisah Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI), Soetardjo Soerjoguritno menilai egoisme birokrat sudah merupakan budaya dan sebagai hasil warisan kaurn imperialis, sebab itu susah sekali dihilangkan.

“Egoisme birokrat yang terkenal dengan semangat priyayi itu kini sudah mengadaptasi dalam sikap dan perilaku, baik birokrat sipil maupun militer,” paparnya.

Pendapat kedua pucuk pimpinan fraksi di DPR ini disampaikan kepada wartawan di Jakarta, Kamis menanggapi pernyataan presiden tentang perlunya dikurangi sifat egoisme di kalangan birokrat (Mdk 13/8).

Menurut Oka Mahendra, koordinasi antar instansi harus dimantapkan agar satu sama lain saling memahami permasalahan pokok yang perlu diprioritaskan, sehingga tidak lagi terlihat sisi kepentingan suatu instansi saja. Artinya, masing-masing instansi tidak dapat jalan sendiri-sendiri.

Contohnya, kata Oka lagi, suatu daerah yang menjadi areal transrnigrasi dan sudah digarap transrnigran, tahu-tahu areal tersebut digusur untuk kepentingan lain. Kawasan transmigrasi di Pulau Air Radja Kepulauan Riau, misalnya, tiba-tiba sekarang termasuk Kawasan berikat. Begitu juga penggalian-penggalian jalan sering terlihat di mana-mana, untuk kepentingan yang macam-macam pula.

Contoh-contoh tersebut, menunjukkan bahwa selama ini koordinasi sangat lemah, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada. Sebab itu dengan adanya peringatan presiden tersebut, masing-masing instansi perlu mendukung program nasional yang sudah digunakan dalam GBHN yang telah dijabarkan pula dalam Repelita,” ujar Oka Mahendra.

Menurut Oka Mahendra, kini presiden melihat kenyataan-kenyataan tentang adanya egoisme sektoral, karena itu masalah ini perlu diberikan peringatan secara dini dan diambil tindakan-tindakan secara sistematis, guna mengikis habis sifat-sifat yang tidak sesuai dengan semangat kebersamaan.

Namun demikian, pihaknya belum melihat perampingan birokrasi atau menciptakan komunikasi yang dapat memecahkan masalah tentang adanya egoisme sektoral yang sangat merugikan itu. Namun Soetardjo Soerjoguritno menilai, gaya feodal baru malah sudah menjadi kultur yang tumbuh subur di benak para birokrat, bahkan seolah-olah malah merupakan suatu kebanggaan yang terus dikembangkan. Contohnya setiap pejabat datang ke daerah, dia senang kalau ada yang membukakan mobilnya, ada yang memayungi, dan sebagainya. Ini merupakan bentuk-bentuk mental priyayi dan gaya hidup feodal baru yang menjangkiti para birokrat dari strata tertinggi hingga terendah. Penyakit ini kemudian menjangkiti para lulusan SLTA yang enggan bekerja kasar tapi banyak menghasilkan duit, tapi justru senang sebagai pegawai rendahan yang kecil pendapatannya.

Menurut Soetardjo, tidaklah mudah untuk merobah pola hidup yang telah menjadi budaya ini. Satu-satunya jalan para pemimpin negara harus memberi contoh yang baik, sehingga masyarakat dapat mencontoh pimpinannya untuk meninggalkan semangat priyayi yang penuh gaya hidup feodal tersebut.

“Saya juga tidak sependapat dengan gagasan Menteri Sarwono Kusuma atmadja untuk mengurangi egoisme sektoral harus melalui perampingan, karena resep atau terapi demikian akan membawa dampak yang tidak baik yaitu akan makin timbulnya stagnasi. Yang penting perlu adanya perombakan sistem yang sekarang ini berjalan dan melakukan pengkajian yang mendalam pula terhadap sistem itu, “ujar Soetardjo.

Sumber: MERDEKA (04/08/1992)

______________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 603-605.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.