Wardoyo: Pak Harto Pendorong Yang Sabar Dan Bijak

Pendorong Yang Sabar Dan Bijak

Wardoyo (Menteri Pertanian dalam Kabinet Pembangunan V)

Untuk pertama kalinya saya mendengar nama Pak Harto pada tahun 1960. Pada waktu itu beliau menjadi Panglima T&T Jawa Tengah, yang kemudian diubah namanya menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Pada waktu itu beliau berpangkat kolonel. Saya sendiri masih menjadi seorang mahasiswa pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Sebagai seorang mahasiswa Fakultas Pertanian, saya menaruh simpati terhadap beliau karena perhatian beliau yang besar kepada masalah-masalah pertanian dan nasib kaum tani. Apalagi sepak terjang dan pembawaan beliau sebagai pemimpin sangat simpatik.
Setelah peristiwa G-30-S/PKI tahun 196565, saya lebih banyak lagi mengenal beliau. Pada tahun 1965 itulah saya mempunyai kesan bahwa Pak Harto adalah seorang prajurit yang tegas dan cepat dalam mengatasi situasi politik yang kacau. Saya melihat beliau melalui pesawat televisi, pada waktu penggalian jenazah para pahlawan revolusi yang dibunuh PKI di Lubang Buaya dan mendengar pula pidato beliau di sana. Pidato tersebut meskipun sangat singkat tetapi memberikan kesan yang sangat tegas. Tidaklah mengherankan kalau pada akhirnya Bung Karno memberikan kepercayaan kepada Pak Harto dengan Surat Perintah 11 Maret untuk mengatasi kemelut politik yang terjadi pada waktu itu.
Ketika Pak Harto diangkat menjadi Menpangad, saya telah selesai belajar dan bekerja di Direktorat Pertanian Rakyat di Pasar Minggu sebagai kepala seksi. Kemudian dalam rangka pengamanan sebagai akibat G-30-S/PKI, saya bersama-sama dengan beberapa orang, antara lain dari ABRI, Kejaksaan, dan Kepolisian, ditugaskan oleh Menteri Pertanian pergi ke Jawa Terigah untuk mengamankan pabrik-pabrik penggilingan padi. Pada waktu itu pabrik-pabrik penggilingan padi hampir semuanya dipegang oleh orang-orang Cina. Pemerintah mengambil langkah-langkah pengamanan terhadap pabrik-pabrik penggilingan padi agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan golongan politik tertentu.
Pacta tahun 1973 Direktur Jenderal Pertanian dipegang oleh Pak Affandi yang juga merangkap sebagai Sekretaris Badan Pengendali Bimas. Sebagai Direktur Jenderal Pertanian, beliau mempunyai lima orang direktur; dan sebagai Sekretaris Pengendali Bimas mempunyai tiga orang asisten, yaitu Asisten Pengawasan, Perencanaan, dan Pengendalian. Jabatan Asisten Pengendalian diserahkan pada saya. Pada saat saya memegang jabatan tersebut, pemerintah sedang menggiatkan upaya peningkatan program intensifikasi dalam rangka meningkatkan produksi pangan. Upaya untuk meningkatkart produksi pangan pacta tahun 1973 ditangani secara serius oleh pemerintah, karena merosotnya produksi padi pacta tahun 1972 akibat kekeringan dan kelangkaan pupuk.
Dalam rangka inilah saya selalu menyertai Pak Affandi pada waktu beliau itu mengadakan pertemuan dengan menteri-menteri bidang Ekuin. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut saya kerap kali bertemu dengan beberapa orang menteri, antara lain Pak Widjojo sebagai Menko Ekuin, Pak Broto sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pak Ali Wardhana sebagai Menteri Keuangan, dan Pak Piet Haryono sebagai Direktur Jenderal Anggaran. Seperti disebutkan di atas, pada tahun 1972 terjadi kekeringan dan kelangkaan pupuk, sehingga Pak Widjojo berkeliling ke berbagai daerah dalam rangka memberikan pengarahan tentang program peningkatan produksi pangan. Pada waktu itu saya sering diminta untuk menyertai Pak Widjojo. Mungkin saya dianggap menguasai masalah-masalah intensifikasi, karena saya telah berkecimpung dalam masalah ini sejak tahun 1963;
Saya agak terkejut dan heran ketika pada tahun 1978 Pak Affandi mengatakan bahwa saya akan diangkat menjadi Direktur Jenderal Pertanian. Mengapa saya? Saya merasa bahwa pada waktu itu terdapat beberapa orang yang lebih mampu dan lebih berpengalaman daripada saya. Saya masih ragu, apakah saya akan diangkat sebagai Direktur Jenderal, menggantikan Pak Affandi atau sebagai Sekretaris Badan Pengendali Bimas. Tetapi Pak Affandi mengatakan bahwa Bapak Presiden akan mengangkat saya sebagai Direktur Jenderal Pertanian sekaligus Sekretaris Badan Pengendali Bimas.
Sampai sekarang saya masih belum mengerti siapa yang memberikan rekomendasi kepada Pak Harto. mengenai pengangkatan saya sebagai Direktur Jenderal Pertanian merangkap Sekretaris Badan Pengendali Bimas. Saya lalu berpikir, mungkin beliau telah memperhatikan saya pada waktu saya masih menjadi Asisten Pengendalian Bimas.
Menurut Pak Toyib, proses pencalonan saya bukan berasal dari Pak Toyib, tetapi dari Presiden sendiri. Pada suatu hari, ketika Pak Harto bertemu dengan Pak Toyib beliau menanyakan bagaimana seandainya Direktur Jenderal Pertanian dipegang oleh saya. Pak Toyib memberikan dukungan sepenuhnya terhadap gagasaa Pak Harto. Jadi jelas Pak Harto sendirilah yang memutuskan untuk mengangkat saya sebagai Direktur Jenderal sesudah beliau melakukan pengamatan terhadap saya secara langsung dengan teliti. Padahal selama ini saya belum berkesempatan bertemu dan berbicara langsung dengan beliau. Saya hanya dapat memperhatikan cara Pak Harto memimpin rapat dan menanggapi berbagai masalah dalam rapat-rapat Ekuin atau sidang kabinet paripurna lewat TVRI. Kesan saya pada waktu itu adalah bahwa beliau itu seorang yang tegas dan selalu memberikan jalan keluar dengan cara yang bijaksana.
Sesudah saya diangkat menjadi Direktur Jenderal merangkap Sekretaris Badan Pengendali Bimas, barulah saya mendapatkan kesempatan langsung bertemu dan bercakap-cakap dengan Pak Harto kalau kebetulan saya mendampingi Pak Soedarsono sebagai Menteri Pertanian dan Pak Affandi sebagai Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan. Saya memegang jabatan Direktur Jenderal selama lima tahun dan sesudah itu saya diangkat sebagai Menteri Muda Pertanian, dan kemudian menjadi Menteri Pertanian. Dari beberapa kali pengangkatan itu, saya merasa bahwa semua adalah hasil pertimbangan beliau pribadi. Jadi saya mendapat kesan bahwa Pak Harto adalah seorang yang sangat teliti dalam menentukan para pembantu beliau. Tidaklah mengherankan kalau beliau itu sangat mempercayai mereka.
Selama menjadi pembantu beliau, saya mendapatkan kesan bahwa Pak Harto sangat memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat kecil yang sebagian besar adalah kaum tani. Beliau mengerti betul masalah-masalah pertanian. Pendapat seperti ini bukan hanya datang dari saya, tetapi para pakar luar negeri yang datang bercakap-cakap dengan beliau pun mengakuinya.
Umpamanya pada waktu kita dilanda hama wereng, saya pernah mengajak beberapa pakar dari FAO, IRRI, lnggris dan Amerika mengadakan rapat di Yogya. Sesudah itu kami menghadap Pak Harto, karenaingin mendengar pandangan-pandangan beliau.
Dalam pertemuan itu Pak Harto memberikan pandangan-pandangan beliau secara menyeluruh, baik mengenai pentingnya peningkatan produksi, jalan-jalan yang ditempuh, sampai kepada masalah-masalah teknis varietas apa yang akan dikembangkan dan sebagainya. Pakar-pakar tersebut sampai menggeleng-gelengkan kepala, karena mereka heran bagaimana Presiden bisa sampai mempunyai pengetahuan yang begitu luas. Kekaguman terhadap Pak Harto juga ditunjukkan oleh Tim Bank Dunia yang datang menemui beliau untuk membicarakan masalah-masalah pembangunan Indonesia. Mereka juga mengagumi Pak Harto karena daya ingat beliau yang kuat, karena beliau dapat menjelaskan segala segi pembangunan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya.
Kalau memperbincangkan masalah pertanian dengan Pak Harto rasanya tak cukup hanya dalam waktu satu hari saja. Beliau sangat antusias dan selalu menekankan pada kami agar produk-produk pertanian dapat ditingkatkan, baik produksi maupun pell!asarannya, karena kalau hal ini berhasil, rakyat banyaklah yang akan merasakan hasilnya. Ini berarti bahwa kita harus mengembangkan produksi sekaligus industri pertanian agar hasil pertanian yang meningkat bisa diolah menjadi hasil industri sehingga mempunyai nilai lebih dan jangkauan pasar yang luas.
Sekarang Departemen Pertanian sedang berusaha keras untuk melakukan hal ini. Contohnya begini: kita berupaya untuk meningkatkan produksi minyak sawit; kita tidak akan hanya menjual minyak sawit, tetapi juga hasil olahannya. Begitu pula kalau kita menjual karet, jangan hanya menjual sheet saja, tetapi juga hasil olahannya, misalnya ban mobil. Sampai sejauh ini memang belum berhasil seperti yang diharapkan, tetapi setidak-tidaknya kita telah memulainya dan maju ke arah sana.
Semua itu kami lakukan atas petunjuk Presiden. Beliau selalu mendorong kami untuk membudidayakan hasil alam kita. Umpamanya dalam hal pohon nipah yang banyak tumbuh di rawa-rawa pantai Sumatera Timur, Kalimantan, Irian, Sulawesi Selatan dan Maluku. Kita sekarang tidak lagi hanya mengambil daunnya untuk atap rumah, tetapi telah memproduksi gula dari nipah. Melalui percobaan-percobaan laboratorium Pusat Penelitian Gula Indonesia kita sekarang telah berhasil mengambil niranya untuk dijadikan gula. Jadi sekarang, kita tidak lagi tergantung dari gula tebu dan gula kelapa, tetapi juga memanfaatkan gula nipah.
Presiden selalu menekankan bahwa kita baru bisa bersaing kalau produk kita sendiri baik mutunya. Ini mutlak harus kita lakukan. Apalagi negara penghasil bahan baku bukan Indonesia saja, sehingga dalam menghadapi fluktuasi harga yang kadang adang tidak ringan, kita harus mampu bersaing dalam mutu seperti yang pernah terjadi ketika minyak sawit dan coklat merosot harganya. Kita harus jeli mengantisipasi perkembangan dunia pertanian. Masalah-masalah pertanian memang telah menyatu dalam diri Pak Harto, karenanya beliau selalu dapat mengemukakan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan pertanian secara tepat.
Dalam mengembangkan gagasan beliau, saya diberikan kebebasan yang penuh. Sikap beliau ini sangat melegakan, karena saya merasa bahwa beliau betul-betul menghargai pekerjaan kami. Umpamanya dalam masalah ubi kayu. Ketika saya melaporkan bahwa pengolahan ubi kayu sudah dapat dilakukan dengan lebih baik dengan memprosesnya menjadi tepung yang dapat dipakai untuk bermacam keperluan, beliau sangat senang sekali. Kegembiraan ini beliau ungkapkan dengan cara memberikan petunjuk kepada para petani di Bengkulu (dalam kunjungan kerja), mengenai cara pengolahan ubi kayu yang lebih baik dan yang dapat menghasilkan uang lebih banyak.
Contoh lain adalah masalah kedelai. Ketika kita kekurangan kedelai, beberapa perusahaan swasta meminta tanah untuk membuat kebun kedelai. Presiden tidak setuju, dan berkata:

“Tidak, tanaman pangan itu adalah untuk rakyat, jangan diberikan kepada swasta; saya sama sekali tidak setuju”.

Memang betul pendirian beliau, karena jika hal ini dikabulkan maka lahan pencaharian penduduk akan berkurang dan hal ini akan mengurangi kesejahteraan mereka. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani, Pak Harto selalu menyatakan keinginan beliau untuk meningkatkan peran lembaga koperasi yang dapat membantu kegiatan para petani.
Selama saya bekerja sebagai pembantu Pak Harto, saya merasakan seperti bekerja pada ayah saya sendiri. Sebab, apabila saya menghadap beliau dengan berbagai persoalan, beliau dengan sabar selalu mendengarkan laporan kerja kami dan masalah-masalah yang tidak dapat kami atasi. Sesudah saya selesai melapor, barulah beliau memberikan berbagai saran dan petunjuk-petunjuk. Sampai sejauh ini petunjuk beliau itu tepat dan dapat dilaksanakan.
Saya pernah menghadapi kasus yang pelik, yaitu masalah kapal-kapal penangkap ikan. Untuk meningkatkan hasil laut, kita memerlukan armada kapal penangkap ikan. Dalam hal ini kita belum mampu menyediakan armada tersebut, tetapi kita mempunyai kemungkinan untuk dapat membeli atau menyewanya/kerjasama dari luar negeri yang harganya lebih murah daripada di dalam negeri.
Nah, ada keinginan dari beberapa pihak untuk menyewanya saja dari luar dengan sistem sewa atau sewa-beli dengan alasan kalau membeli kapal sendiri harganya mahal dan harus menunggu agak lama untuk mendapatkan kapalnya. Direktur Jenderal Perikanan mengusulkan agar diizinkan membeli atau menyewanya dari luar negeri.
Menghadapi masalah ini Presiden melalui Pak Habibie memberikan petunjuk bahwa pembelian kapal dari luar negeri diperbolehkan tapi tidak 100%, melainkan hanya sebanyak 50%. Untuk itu jangka waktunya hanya selama dua tahun, yaitu sampai tahun 1987, tetapi kedatangan kapalnya diberi jangka waktu sampai tahun 1989.
Sesudah jangka waktu itu berakhir, industri perkapalan kita ternyata masih belum juga dapat memenuhi kebutuhan kapal yang kami perlukan. Akhirnya, kami mengusulkan agar dapat memperpanjang waktu pembelian kapal dari luar negeri.
Di sinilah kita melihat konsistensi Pak Harto. Beliau memutuskan bahwa peraturan yang telah diputuskan tidak dapat diperpanjang lagi. Mengapa? Karena Presiden mempertimbangkan bahwa dengan kerjasama yang terus-menerus selama dua tahun itu, kalau uang pendapatan fee dikumpulkan sudah dapat untuk membeli kapal dalam negeri. Jadi untuk mendorong produksi dalam negeri itulah, maka Presiden tidak mau memperpanjang izin pembelian kapal dari luar negeri.
Sesudah kami memikirkannya dalam-dalam barulah kami mengetahui bahwa pemikiran Pak Harto itu memang tepat. Coba seandainya kita terus-menerus kerjasama dengan hanya mendapatkan feenya karena kita mau mengambil gampangnya saja, kita tidak akan dapat memulai merintis industri perkapalan dalam negeri. Beliau memang mempunyai wawasan yang jauh ke depan, di samping dapat memperhitungkan aspek-aspek bisnisnya. Contohnya adalah pengalaman saya ketika beserta beberapa orang teman Kagama menghadap beliau dalam rencana membangun Wisma Kagama di Yogya. Kami melaporkan bahwa biaya pembuatan wisma tersebut adalah 600 juta rupiah. Beliau lalu bertanya berapa orang anggota Kagama? Lulusan atau alumni berapa orang? Kami mengatakan terdapat 33.000 orang. Beliau menyarankan coba dari yang 33.000 orang tersebut kalau setiap bulannya mereka menyumbang Rp 1000,- seorang, maka dalam setahun akan terkumpul biaya. Rp 12.000,- kali 33.000 orang; bukankah sudah menjadi jumlah yang besar? Tentulah nanti juga akan ada yang menyumbang lebih besar dari hanya seribu rupiah saja. Nah, dalam waktu dua tahun pasti Wisma Kagama sudah berdiri.
Sebagai pancingannya beliau memberikan uang sejumlah Rp.50.000.000,-. Beliau berpesan agar cara yang bergotong royong itu diteruskan. Jadi nasihat beliau dengan gotong royong, segala masalah yang berat dapat kita tanggulangi dengan baik, memang terbukti. Begitu pula halnya dalam hal mendirikan mesjid di mana-mana, prinsip gotong royong selalu beliau tekankan. Umpamanya dalam menyelenggarakan MTQ di Sumatera Barat pun, petunjuk beliau juga demikian gotong royong.
Bahwa Pak Harto adalah seorang pemimpin yang sangat mendambakan peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama para petani atau rakyat kecil, juga terlihat dalam masalah TIR (Tambak Inti Rakyat) atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat). TIR dan PIR adalah salah satu cara untuk memeratakan kesejahteraan rakyat. Pada mulanya kami menyelenggarakan PIR melalui PTP (Perusahaan Terbatas Perkebunan). PTP-PTP tersebut memberikan sebagian dari tanah mereka (plasma) yang sudah ditanam kepada rakyat untuk diberikan kredit, tetapi biaya-biaya produksi disediakan oleh pemerintah. Rakyat dapat menjual basil produksinya kepada PTP.
Selain tanaman pokok, rakyat diberi kesempatan untuk menanam apa yang mereka kehendaki dengan menggunakan tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu dan hasilnya adalah untuk rakyat sendiri. Sesudah usaha ini berhasil, pihak swasta banyak yang bersedia melakukan cara seperti yang dilakukan oleh PTP-PTP tersebut (PIR Trans).
Sebagai pembantu Pak Harto, saya merasakan sifat kepemimpinan beliau yang tegas, konsisten tetapi penuh kebapakan. Konsistensi beliau terlihat dalam masalah UUD 1945 dan Pancasila yang menjadi patokan kerja kita. Keleluasaan yang demokratis untuk mengembangkan gagasan-gagasan beliau dan kami sendiri, haruslah berjalan dalam kerangka kedua prinsip tersebut. Beliau tidak pernah bersikap otoriter, malahan beliau selalu menekankan perlunya kerjasama yang harmonis diantara para pembantu beliau.

“Tak akan ada kerja yang berhasil dengan baik tanpa jalinan kerjasama diantara para pembantu saya”, demikian selalu beliau tekankan.

Umpamanya Dalam bidang pertanian, kami tidak akan dapat sukses dengan rencana-rencana kami tanpa adanya koordinasi dengan departemen-departemen lainnya. Misalnya untuk meningkatkan produksi beras, kami memerlukan bibit. Tetapi di samping itu kami memerlukan pula pengairan irigasi yang akan menunjangnya. Dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umumlah yang menanganinya. Kami memerlukan pupuk, ini adalah bidang Departemen Perindustrian, lalu Departemen Perdagangan untuk pemasarannya dan demikian seterusnya.
Sifat dan sikap Pak Harto yang suka berpikir praktis dan tetap dilandasi jangkauan pemikiran yang jauh ke depan inilah yang membentuk beliau menjadi pemimpin yang bijak. Sering beliau memberikan nasihat kepada saya seperti layaknya seorang ayah. Nasihat dan petunjuk-petunjuk beliau mencerminkan bahwa beliau sangat memegang teguh prinsip-prinsip filsafat Jawa. Umpamanya, ketika saya untuk pertama kalinya dipanggil menghadap beliau pada waktu pengangkatan saya sebagai Menteri Muda, beliau memberikan nasihat bahwa kalau kita diberi kepercayaan, maka kita harus bekerja dengan sebaik-baiknya dan harus lebih waspada. Supaya kerja kita itu baik, kita harus jangan lengah terhadap kemungkinan godaan-godaan dalam bentuk pangkat, semat (uang) dan wanita. Kalau mencari sekretaris jangan yang muda dan cantik, tetapi seorang yang pandai bekerja. Jadi, tugas sebagai seorang menteri jangan membuat seseorang menjadi lupa daratan, justru ini merupakan tugas yang berat.
Nasihat lainnya adalah, kita harus selalu bersikap gemi nastiti, artinya jangan selalu berfoya-foya, kalau pergi ke daerah atau ke luar negeri jangan sampai lupa daratan. Dalam menghadapi “lawan” kita harus bersikap nglurug tanpa bala yang artinya adalah menyerang tanpa pasukan dan menang tanpa ngasorake yang artinya adalah mendapatkan kemenangan tanpa mempermalukan lawan. Semuanya itu kita lakukan agar kita selalu dapat menjalin hubungan yang baik dengan siapapun. Akhirnya nasihat beliau adalah, sebagai seorang pemimpin kita harus bersikap tut wuri handayani.
Kalau kita renungkan, nasihat-nasihat beliau itu mengandung pengertian dan filsafat yang dalam dan sangat berguna sebagai pegangan kita. Dan nasihat-nasihat itu pulalah yang selalu beliau jalankan dalam menghadapi berbagai masalah kenegaraan dan yang telah pula membentuk beliau sebagai seorang pemimpin yang tangguh dan bijak.

***

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.