Transit di Istambul, Presiden Soeharto Disambut Upacara Militer[1]
KAMIS, 03 SEPTEMBER 1970, Setiba di pelabuhan udara Istambul pagi ini, untuk istirahat dalam perjalanan menuju Negeri Belanda, tanpa diduga-duga Presiden Soeharto disambut dengan hangat oleh pemerintah Turki, lengkap dengan upacara militer. Dengan didampingi oleh Gubernur Istambul dan diiringi lagu-lagu mars, Presiden memeriksa barisan kehormatan, lalu menuju ruang VIP. Gubernur Istambul juga membacakan pesan khusus dari Presiden Turki yang meminta agar Presiden Soeharto singgah di Angkara dalam perjalanan pulang ke Indonesia, supaya disambut sendiri oleh Presiden Turki.
Pukul 9.45 waktu setempat, Presiden Soeharto beserta rombongan tiba di Den Haag. Di lapangan terbang, Presiden dan Ibu Tien Soeharto di sambut oleh Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard, didampingi oleh Perdana Menteri Piet de Jong dan Menteri Luar Negeri Joseph Luns serta beberapa pejabat tinggi pemerintah Belanda, dalam suatu upacara militer lengkap dengan 21 kali tembakan salvo. Ini merupakan kunjungan pertama dari seorang Kepala Negara Indonesia, sehingga tampak sekali adanya sambutan hangat dari pemerintah dan rakyat Belanda. Selesai upacara penyambutan di lapangan terbang, Presiden Soeharto beserta rombongan diterbangkan dengan helikopter ke Istana Huisten Bosch, tempat Presiden dan rombongan menginap. Inilah untuk pertama kalinya pula Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard tinggal bersama tamu mereka di istana tersebut.
Pada siang harinya, setelah jamuan makan siang dan saling menukar tanda mata serta penganugerahan bintang kehormatan, antara Presiden dan Ratu Juliana, diadakan pembicaraan resmi. Presiden Soeharto memimpin delegasi Indonesia, didampingi Menteri Luar Negeri, Ketua Bappenas dan pejabat-pejabat lainnya, sedangkan pihak Belanda dipimpin oleh PM Piet de Jong yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri Joseph Luns dan Menteri Urusan Bantuan Luar Negeri Odink.
Kemudian bertempat di parlemen Belanda, Presiden Soeharto berdiskusi dengan anggota-anggota parlemen selama lebih kurang 90 menit. Presiden antara lain mengemukakan tentang tekad pemerintah dan rakyat Indonesia untuk melupakan pengalaman-pengalaman pahit masa lampau. Pada kesempatan itu Presiden juga menjelaskan tentang masalah G.30.S/PKI. Dikatakannya bahwa proses-proses peradilan yang diadakan membuktikan dengan jelas bahwa kegiatan itu diorganisasikan oleh PKI dengan tujuan menghancurkan sendi-sendi kehidupan kenegaraan Indonesia. Sebab itulah PKI dilarang. Selanjutnya Presiden juga menjelaskan tentang strategi dan tujuan pembangunan ekonomi Indoensia saat ini, disamping tentang pemilihan umum dan usaha-usaha untuk mencapai stabilitasi.
Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard malam ini menyelenggarakan acara santap malam kenegaraan di Huisten Bosch untuk menghormati Presiden dan Ibu Soeharto. Dalam sambutannya, Ratu mengatakan bahwa Indonesia dan Belanda telah bertekad untuk memperkuat hubungan kerjasama di masa-masa mendatang. Dikatakannya bahwa meskipun hubungan kedua negara dan rakyat di masa-masa lalu ditandai perasaan-perasaan yang penuh emosi, namun hal itu tidak menjadi penghalang demi kemajuan kedua bangsa ini.
Dalam pidato balasannya Presiden Soeharto antara lain menyampaikan undangan bagi Ratu dan Pangeran untuk berkunjung ke Indonesia. (AFR).
[1] Dikutip langsung dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973”, hal 253-254. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003.