Presiden Soeharto Menerima Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda dan Lantik Enam Duta Besar[1]
SELASA, 12 SEPTEMBER 1978 Menteri Kerjasama Pembangunan Belanda, Jan de Koning, pukul 09.00 pagi ini melakukan kunjungan kehormatan kepada Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Pada kesempatan itu ia didampingi oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia, sementara Kepala Negara didampingi oleh Menko Ekuin, Widjojo Nitisastro. Dalam pertemuan tersebut telah dibicarakan mengenai perkembangan ekonomi negara-negara sedang berkembang, dan kemungkinan-kemungkinan untuk mencari jalan guna menjembatani jurang pemisah antara negara-negara industri dengan negara-negara sedang berkembang.
Sebagai pokok bahasan dalam pertemuan itu tentu saja masalah hubungan bilateral antara kedua negara, termasuk masalah bantuan kepada Indonesia. Mengenai hal ini, de Koning mengatakan bahwa pandangannya tidak banyak berbeda dari menteri sebelumnya, Jan Pronk.
Pagi ini, bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharto melantik enam orang Duta Besar baru Indonesia. Mereka yang dilantik itu adalah Laksdya. Sjamsul Bachri Tjiptosuhardjo sebagai Duta Besar untuk Republik India, Mayjen. Kaharudin Nasution sebagai Duta Besar untuk Republik Korea, Mayjen. Sumpono Bajuadji sebagai Duta Besar untuk Kerajaan Belanda, Brigjen. Soesidarto sebagai Duta Besar untuk Republik Sosialis Rumania, dan Letjen. TNI A Hasnan Habib sebagai Duta Besar untuk Kerajaan Thailand.
Dalam amanat pelantikannya, Kepala Negara antara lain telah menggariskan keyakinan dan kemampuan yang harus dimiliki oleh para diplomat Indonesia. Pertama, yakin akan kebenaran jalan yang ditempuh oleh Negara dan Pemerintahnya, karena jalan itu telah ditentukan sendiri oleh rakyat melalui MPR. Kedua, menghayati dan mampu memantulkan cara hidup serta alam pikiran dan alam perasaan Indonesia. Ketiga, menguasai seluk beluk masalah yang dihadapi oleh negara dan bangsanya. Keempat, menguasai masalah-masalah internasional serta memahami pengaruhnya terhadap Indonesia. Kelima, mampu menangkis pandangan dan tindakan negatif terhadap Indonesia, dan sanggup merebut hati, pengertian, dukungan dan kerjasama pihak lain. Keenam, memahami perilaku masyarakat Indonesia di luar negeri sehingga mampu membinanya dan menggerakkan mereka dalam satu irama pengabdian kepada kepentingan bangsanya. (AFR).
[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 29 Maret 1978 – 11 Maret 1983”, hal 62. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta, Tahun 2003.