Sambut Kunjungan Presiden Prancis, Presiden Soeharto: Ketimpangan Dunia Merupakan Ancaman Laten
SELASA, 16 SEPTEMBER 1986 Pukul 10.30 pagi ini Presiden dan Ibu Soeharto menyambut dengan hangat kedatangan Presiden Prancis dan Nyonya, Francois Mitterrand di pelabuhan udara Halim Perdanakusuma. Kunjungan ini merupakan peristiwa bersejarah dalam hubungan antara kedua negara, sebab inilah kunjungan pertama seorang Kepala Negara Prancis ke Indonesia. Dalam kunjungan ini, kedua tamu negara akan berada di Jakarta sampai pagi hari tanggal 18 September.
Pukul 15.00 sore ini Presiden Soeharto mengadakan pembicaraan resmi dengan Presiden Mitterrand di Istana Merdeka. Serentak dengan itu berlangsung pula perundingan antara para menteri dan pejabat tinggi kedua negara. Dalam pembicaraan yang berlangsung selama dua jam itu, kedua kepala negara telah membahas masalah-masalah bilateral, regional, dan internasional yang ada kaitannya dengan kepentingan kedua negara. Menurut Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono, kedua presiden memiliki pandangan yang sama mengenai bencana yang dapqt mengancam dunia, seperti perang nuklir dan ketimpangan antara negara kaya dan miskin. Oleh karena itu keduanya sependapat untuk memperjuangkan tata ekonomi dunia baru dalam rangka melenyapkan jurang pemisah antara negara kaya dan miskin.
Menyangkut masalah bilateral, Presiden Soeharto antara lain mengharapkan pengertian Prancis untuk memberikan kerjasamanya dalam bentuk pemberian kredit yang lebih besar dengan bunga lunak. Selain itu Presiden Soeharto meminta perhatian Presiden Mitterrand terhadap neraca perdagangan yang selama ini sangat menguntungkan Prancis; dalam hal ini Presiden Soeharto meminta agar Prancis meningkatkan pembelian barang dari Indonesia.
Menanggapi permintaan-permintaan itu, Presiden Mitterrand mencatatnya dan akan dipertimbangkan kemungkinannya. Malahan Presiden Mitterrand berjanji akan membahas masalah ini bersama para menterinya.
Malam ini, pada jam 19.30, Presiden dan lbu Soeharto menyelenggarakan jamuan santap malam kenegaraan untuk menghormat Presiden dan Nyonya Mitterrand di Istana Negara. Acara santap malam yang dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian itu berlangsung selama tiga jam lebih dan berakhir menjelang tengah malam.
Ketika memberikan sambutannya pada acara santap malam tersebut, Presiden Soeharto mengatakan bahwa perlombaan senjata nuklir sampai saat ini tetap tidak terkendalikan, dan penumpukan senjata pemusnah itu merupakan ancaman potensial bagi keselamatan dunia. Perlombaan persenjataan ini telah mencapai titik yang tidak memberi keuntungan bagi pihak manapun; malahan jika meletus, tidak hanya akan menghancurkan pihak-pihak yang bertarung, melainkan seluruh umat manusia dan kemanusiaan. Karena itu adalah kewajiban dari semua bangsa dan negara tanpa kecuali, untuk bersama sama bertanggungjawab mengadakan usaha yang sungguh-sungguh bagi tercapainya persetujuan penghentian pacuan senjata dan perlucutan senjata secara global dan menyeluruh.
Lebih jauh dikemukakan Presiden Soeharto bahwa dana-dana luar biasa besamya yang digunakan untuk membuat alat pemusnah itu dapat dialihkan menjadi sarana pembangunan bagi kemajuan, kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, khususnya bagi beratus-ratus juta sesama manusia yang sedang bergumul membebaskan diri dari himpitan kemelaratan, keterbelakangan, kelaparan, dan penyakit.
Disini, demikian ditegaskan Kepala Negara, kita memasuki masalah besar lainnya yang menjadi kunci bagi keselamatan umat manusia secara keseluruhan, yaitu pembangunan dunia ketiga. Dunia masih juga terbelah antara negara-negara industri maju dan negara-negara yang sedang membangun, disertai dengan tetap lebarnya jurang pemisah antara keduanya. Ketidakadilan dan kepincangan dalam pembangunan sumber sumber kekayaan dunia seperti ini, merupakan ancaman laten yang tidak kalah besarnya daripada peperangan terbuka. Karena itu sungguh sangat mendesak bagi semua pihak untuk melanjutkan dialog antara negara-negara industri maju dengan negara-negara yang sedang membangun.
Demikian antara lain dikatakan Presiden Soeharto. (AFR)
___________________________
Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988”, hal 506-507. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003