Presiden Soeharto Meresmikan Lapangan Minyak Belida [1]
SELASA, 8 DESEMBER 1992 Presiden Soeharto pagi ini meresmikan lapangan minyak Belida yang terletak di laut Natuna, Riau. Acara peresmian itu berlangsung secara jarak jauh, dari Bina Graha, melalui satelit. Ladang Belida kini menghasilkan 20-30 ribu barel/hari dan akan mencapai 75 ribu barel. Ladang ini ditemukan Conoco pada tahun 1989 dengan cadangan sekitar 187 juta barel. Investasi yang telah. dikeluarkan oleh Conoco adalah sebesar US$639,6 juta.
Dalam sambutannya, Presiden mengatakan bahwa Indonesia menganut hukum internasional dalam merundingkan zone ekonomi eksklusif (ZEE) atau perbatasan, namun dalam situasi apapun, kedaulatan dan integritas wilayah negara ini tidak akan dikorbankan. Ditegaskan oleh Kepala Negara bahwa dalam situasi apapun Indonesia akan selalu mempertahankan dan tidak akan pernah mengorbankan kedaulatan, dan integritas wilayah serta kepentingan nasionalnya.
Dalam hal ini, Presiden mengatakan bahwa Indonesia bersyukur, karena hampir dengan semua negara tetangga telah ditandatangani perjanjian landas kontinen. Sekalipun perjanjian landas batas kontinen serta zone ekonomi eksklusif belum ditandatangani dengan semua negara, Indonesia mengharapkan kesepakatan mengenai hal ini dapat dicapai secepatnya. Dengan demikian, bukan saja potensi ketegangan akan berkurang, tetapi juga memungkinkan negara-negara di kawasan ini untuk memanfatkan secara optimal kekayaan alam yang ada dibawah dasar laut dalam suasana damai dan tenteram.
Dikatakan pula bahwa Indonesia sampai sekarang masih menjadi eksportir minyak. Namun bila Indonesia tidak mampu lagi menemukan ladang baru, serta masih terlalu tingginya laju pertumbuhan konsumsi dalam negeri, maka Indonesia bisa saja tidak menjadi lagi menjadi eksportir migas. Untuk mengatasi masalah ini, salah satu cara yang ditempuh pemerintah adalah berusaha menemukan cadangan baru dengan mengajak pengusaha asing yang memiliki modal dan teknologinya. Sudah tiga kali pemerintah mengeluarkan paket insentif, namun betapun besarnya keinginan kita untuk memberikan perangsang bagi perbaikan iklim investasi, kepentingan nasional harus tetap diutamakan.
Demikian Kepala Negara mengemukakan dalam acara peresmian di Bina Graha para hadirin dapat menyaksikan para pekerja Conoco yang bekerja di Natuna melalui dua televisi. Kepala negara mengadakan pembicaraan jarak jauh pula dengan mereka yang menanyakan berbagai masalah mereka hadapi disana, misalnya jam kerja, tabungan dan hubungan dengan keluarga mereka. Mereka mengatakan kepada Kepala Negara, bahwa mereka bekerja 12 jam setiap harinya dan bekerja 2 minggu di laut dan 2 minggu di darat, dan selama bekerja di laut masih ada kesempatan menelpon keluarga mereka. (DTS)
[1] Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 – 11 Maret 1993”, hal 602-603. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI, Editor: Nazaruddin Sjamsuddin dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda Jakarta Tahun 2003