Tajuk Rencana : SIKAP MENTAL SUMBER KELEMAHAN

Tajuk Rencana :

SIKAP MENTAL SUMBER KELEMAHAN

 

Dalam pengarahannya di depan para pejabat dan pemuka masyarakat se­ Kalimantan Tengah, di Palangkaraya, Jumat pekan lalu, Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, menyinggung masalah manajemen yang dirasakan masih mengandung kelemahan-kelemahan.

Kelemahan manajemen yang terdapat secara merata di Pusat dan Daerah sering tidak bersumber semata-mata pada kurangnya pengetahuan atau ketrampilan dalam manajemen. Tetapi, berpangkal pada sikap mental yang belum memenuhi syarat modern yang dituntut oleh pembangunan nasional, kata Wapres.

Apa yang ditegaskan Wapres sebenarnya bukan masalah baru, tetapi, hal itu tetap aktual dan akan makin aktual di masa-masa mendatang.

Sebab, sesuai dengan konsepsi pembangunan nasional yang berintikan pembangunan manusia, maka inti pembangunan manusia pada hakikatnya tidak lain dari pembangunan sikap mental.

Sebagai pencerminan dari pemikiran, pandangan, dan berbudaya tidaknya seseorang, sikap mental merupakan sumber dan sekaligus penggerak tingkah laku dan perbuatan orang bersangkutan.

Bila sikap mental positif, akan positif pula tingkah laku dan perbuatan. Tetapi, bila sikap mental negatif, apalagi bila sikap mental itu diisi lebih banyak dengan nafsu untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan, maka negatif pulalah tingkah laku dan perbuatannya.

Positif atau negatifnya sikap mental seseorang amat ditentukan oleh perkembangan lingkungan. Positif atau negatifnya sikap mental seorang pejabat, misalnya, atau seorang oknum aparatur, atau seorang tokoh masyarakat, akan ditentukan oleh apakah pejabat, oknum aparatur, atau tokoh masyarakat itu benar­benar sadar atau tidak akan tanggungjawab kemasyarakatan yang terletak di pundaknya. Dan, apakah ia sadar atau tidak bahwa berbeda dari orang kebanyakan, segala perbuatan, tindakan, dan langkah-langkah yang diambilnya selalu menjadi perhatian dan sorotan masyarakat.

Ini berarti, berbeda pula dengan orang biasa, seorang pejabat atau tokoh masyarakat akan selalu dinilai dengan tolak ukur yang kualitatif berlainan dari tolok ukur bagi orang biasa.

Dengan kata lain, berbeda dari orang kebanyakan, ada semacam etik dan norma-nomra tidak tertulis yang membatasi sikap, tingkah laku, dan perbuatan seorang pejabat atau tokoh.

Tolak ukur khusus bagi pejabat atau tokoh seperti itu terdapat dalam masyarakat manapun di dunia ini, apalagi dalam masyarakat yang masih paternalistik seperti Indonesia.

Oleh sebab itu, untuk mengubah sikap mental hingga selalu positif, perkembangan lingkungan di segala bidang dan tingkat perlu dipositifkan pula.

Dalam kaitan itulah amat menentukan sekali peranan pengawasan. Ini berarti, sepanjang menyangkut pengawasan terhadap pejabat dan tokoh-tokoh, mutu dan efektivitas pengawasan harus lebih ditingkatkan. Termasuk meningkatkan pengawasan oleh pejabat dan tokoh itu terhadap dirinya sendiri.

Tanpa semua itu kita khawatir, laju pertumbuhan sikap mental negatif akan lebih cepat dari sikap mental positif. Dan, sistem manajemen yang paling modern pun tidak akan pernah mempan untuk mengatasinya. (RA)

 

 

Jakarta, Suara Karya

Sumber : SUARA KARYA (29/06/1987)

 

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 157-158.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.