PEMBANGUNAN (BAGIAN  IX) “Pak Harto Pandangan  dan Harapannya”

PEMBANGUNAN (BAGIAN  IX) “Pak Harto Pandangan  dan Harapannya”

 

 

Jakarta, Pelita

Penghargaan dan penghormatan kepada Pemimpin Indonesia itu dirasakan sebagai penghargaan dan penghormatan untuk seluruh bangsa. Rasa bahagia Pak Harto terbagi rata kepada rakyatnya. Untuk memberikan makna tentang hal itu,maka Pak Harto membuat duplikat-duplikat medali tersebut dan dibungkus dengan bahan akrilik (bahan seperti kaca) yang bermutu tinggi. Kepada pembantunya, para menteri diberikan seorang sebuah.

Pada waktu saya menerima bingkisan dan menemuk an dalam amplop ke presidenan kalimat yang berbunyi , “Atas hasil pengabdian saudara dalam pembangunan”. Saya merasakan riak-riak kebahagiaan dan harga diri lalu melambung dan serta merta merasakan hidup ini begitu bermakna. Teringat kembali apa yang pernah disampaikan oleh Pak Harto pada para pemuda kita dalam tahun 1979, bahwa pembangunan yang kita lakukan tidak dimaksudkan hanya untuk mempertahankan hidup,melainkan untuk mengisi dan memberi makna pada hidup kita, baik sebagai manusia maupun sebagai bangsa .

Pada saat Indonesia berswasembada pangan, pembangunan melalui Pelita demi Pelita telah berlangsung selama satu setengah dasawarsa. Keberhasilan menaikkan tingkat produksi beras yang belum pernah terjadi sebelumnya itu benar-benar menumbuhkan kebanggaan. Lebih jauh dari itu yang mulai berkecukupan, jasmani dan rohani, bagi orang-orang lndonesia jelas memberikan makna tentang hidup dan kehidupan. Makna itu begitu kentara di tengah-tengah kehidupan orang-orang desa di Ternate yang saya jumpai setelah berjalan dua Pelita.

Pada saat Indonesia mencapai tingkat swasembada pangan, dalam tahun 1984, Pembangunan Berencana Lima Tahunan telah berjalan selama satu dasawarsa. Perjalanan pembangunan menuju ke titik itu bukan tidak mengalami berbagai rintangan. Rintangan yang bersifat ekonomis maupun politis, seperti krisis Pertamina, krisis pangan, peristiwa Malari, dan resesi dunia yang berkepanjangan jelas merupakan penghalang yang menghambat pembangunan. Tapi seperti kata Prof .Widjojo, semua dapat diatasi, berkat komitmen Pak Harto yang amat kuat.

Dalam tahun 1986 di kala keuangan negara bertambah sulit, Pak Harto mengingatkan para gubernur yang bertemu dengan Presiden di Bina Graha agar dalam menghadapi keadaan yang sulit kita jangan berkecil hati, karena kita adalah bangsa pejuang. Memang, perjuangan menegakkan kemerdekaan telah mewariskan nilai-nilai luhur pantang menyerah dan berputus asa menghadapi cobaan.

Arti bangsa pejuang terletak di sini. Keadaan memang sulit dan tantangan yang menghadang dalam melanjutkan pembangunan tidaklah semakin ringan. Kita sadar, bahwa upaya menegakkan dan mengangkat harkat bangsa hanya dapat dicapai melalui pembangunan. Kemajuan-kemajuan yang telah dicapai telah memberikan keyakinan akan kebenaran arah dan tujuan pembangunan, maka semua tantangan dan rintangan terus dijawab dalam semangat yang tetap tinggi.

Dalam tahun 1984 laju pertumbuhan ekonomi kita 6,1%, lebih baik dibanding dengan Muangthai yang hanya 4,7% dan jauh, jauh lebih baik dari Philipina yang cuma 5,5%, Singapura dalam tahun yang sama memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di negara-negara ASEAN, yaitu 8,2%. Tetapi di kala resesi dunia makin mencekam, Singapura sangat terpukul, sehingga setahun kemudian yakni dalam tahun 1985 pertumbuhan ekonominya yang tinggi itu anjlok menjadi negatif (-1,7%) sementara Indonesia meskipun turun, tapi tidak sampai negatif. Hanya dari 6,1% turun menjadi 2,3%.

Ini membuktikan, bahwa Indonesia mampu mengendalikan pengaruh kemelut ekonomi dunia Kemajuan yang telah diraih dalam Pelita-Pelita sebelumnya telah meletakkan dasar dan daya tahan perekonomian yang memadai dalam menghadapi kegoncangan ekonomi dunia, di samping itu tadi sebagai bangsa pejuang, Indonesia mampu mengatasi berbagai tantangan. Kemajuan demi kemajuan telah memberikan keyakinan dan keyakinan telah memperkuat semangat juang untuk mempertahankan dan meningkatkan pembangunan di tengah-tengah suasana global yang mencekam.

Situasi minyak di pasaran internasional tidak menggembirakan sejak 1982. Hal ini menyebabkan tertekannya sumber terbesar penerimaan negara. Sementara itu kelesuan permintaan dunia terhadap komoditi ekspor di luar minyak terus membayangi sebagai akibat resesi yang berkepanjangan. Keadaan ini dipertajam lagi oleh sikap dan langkah-langkah protektionistis yang diambil oleh negara-negara industri.

Latar belakang perkembangan di atas telah mewarnai periode memasuki Pelita IV. Pengaruhnya makin terasa tampak akhir tahun kedua Pelita IV, juga masih terasa di kala bangsa Indonesia memasuki tahun anggaran 1986/1987 sebagai pelaksanaan tahun ketiga Pelita IV. Resesi dunia yang tak menentu kapan berakhirnya di satu pihak, dan di pihak lain lonjakan kenaikan harga minyak telah berlalu,  merupakan pertanda bahwa dalam dasa warsa 80-an perkembangan ekonomi dan politik dunia telah memasuki cara baru yang menuntut kewaspadaan kita yang tinggi. Ini perlu ditanggapi dengan tekad dan orientasi baru oleh semua unsur pembangunan nasional demi kelanjutan dan peningkatan pembangunan.

MENGHADAPI segala tantangan baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri yang menghadang proses pembangunan telah merupakan sifat yang melekat dalam perjuangan Orde Baru. Kebijaksanaan di bidang ekonomi, ditopang oleh terpeliharanya stabilitas politik dan sosial yang bermuara kepada Trilogi Pembangunan, menjadikan Indonesia sebagai satu negara bangsa yang tetap tegar dalam melaksakan dan melanjutkan pembangunan.

Pak Harto yang mengendalikan pembangunan nasional mengambil berbagai langkah kebijaksanaan di bidang ekonomi yang didasarkan kepada pengamatan permasalahan yang cermat serta sikap hati-hati. Kebijaksanaan dilaksanakan dalam acuan menanggulangi berbagai kesulitan atau pengaruh yang tidak diinginkan. Sekaligus sebagai upaya untuk lebih meningkatkan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan yang pada gilirannya menghindarkan Indonesia dan jebakan kesulitan hutang sebagaimana dialami oleh beberapa negara berkembang lainnya.

Beberapa langkah kebijaksanaan ekonomi yang penting dan mendasar telah diambil oleh Pemerintah sejak memasuki Pelita IV dalam rangka mengamankan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dari ruang lingkup suasana global yang tidak mendukung. Seperti diketahui dalam Pidato IV dituangkan terciptanya kerangka landasan bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang terus yang kemudian dimantapkan dalam Repelita V, sehingga dalam Repelita VI nanti bangsa Indonesia dapat tinggal landas untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri menuju terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Dalam tahun 1982 setelah berbuka puasa bersama di kediaman Presiden Jl. Cendana Jakarta, kepada pemimpin-pemimpin Pemuda KNPI dan eksponen 66 Pak Harto menyampaikan pandangannya tentang tinggal landas itu.

Berkata Pak Harto: “Kita telah menilai kemampuan kita bahwa landasan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, bisa kita capai setelah lima enam kali Repelita. Kita masih meraba-raba apakah lima atau enam kali Repelita. Setelah kita melaksanakan pembangunan lima tahun tiga kali dan akan memasuki Repelita IV nanti kita harus berani memutuskan, lima kali atau enam kali Repelita”.

Sementara kami yang hadir dengan sungguh-sungguh mengikuti, Pak Harto melanjutkan: “Menurut situasi danpenilaian saya,perkembangan Pelita kesatu, kedua dan ketiga dan memasuki Repelita IV, maka saya dapat menarik kesimpulan dan memberanikan diri untuk menyatakan Repelita ke IV harus dapat kita gunakan sebagai kerangka landasan masyarakat adil dan makmur dan dalam Repelita V kerangka itu tinggal memantapkan saja, dan dalam Repelita keenam Insya-Allah akan “take off” Persoalan tinggal landas ini untuk pertama kali dilontarkan oleh Pak Harto dalam tahun 1971 di Solo di kala meresmikan Pasar Klewer. Menanggapi isu nasional itu, oleh sementara ahli ekonomi kita-kemudian mengaitkan pandangan Pak Harto itu dengan teori Rostow yang ditulis dalam bukunya ”The Stages of Economic Growth” dalam tahun 1960. Padahal, jelas terdapat perbedaan antara keduanya.

Dr. Rusian Abdulgani, dalam bulan September tahun 1984 menulis di Harian Merdeka tentang teori Rostow dan pandangan Pak Harto. Ia tiba pada kesimpulan bahwa kita tidak meniru konsepsi orang lain. Dari Prof. Widjojo Nitisastro, saya peroleh penjelasan (dalam tahun 1987) bahwa ‘take off’nya Rostow hanya di bidang ekonomi sedangkan tinggal landasnya kita tidak saja ekonomi tapi juga politik, sosial budaya dan Hankamnas.

Pada waktu laju pertumbuhan ekonomi makin merendah akibat resesi ekonomi dunia, sementara mulai meragukan apakah kita akan berhasil mencapai tahap tinggal landas dalam Repelita VI. Dalam bulan Oktober 1987 saya berkesempatan menanyakan langsung kepada Pak Harto bagaimana pendapatnya tentang keraguan sementara pihak dalam masyarakat itu.

Dengan tegas Pak Harto menjawab, bahwa kita jangan ragu sebab kita telah berhasil menciptakan suasana dan kondisinya serta syarat-syarat landasan bagi tinggal landas baik di bidang politik ,bidang ekonomi,bidang sosial budaya dan Hankamnas.

“Orang jangan lupa, kata Pak Harto, tinggal landasnya kita bukan seperti teori Rostow. Waktu saya lontarkan pikiran ini (tinggal landas) dalam tahun 1971 banyak orang menyangka saya gunakan teori Rostow. Tidak”.

“Kita hanya berketetapan hati bahwa masyarakat yang kita cita-citakan itu akan dapat diwujudkan setelah kita dapat menciptakan landasannya yang kokoh. Ini yang harus kita capai. Yang dicapai dalam Repelita VI nanti adalah landasannya, belum masyarakat adil dan makmur,” tegas Pak Harto.

Pak Harto kemudian menunjuk kembali kepada apa yang telah disampaikan kepada rakyat Indonesia melalui pidato kenegaraan pada tanggal 15 Agustus 1987. Dalam pidato itu Pak Harto menegaskan kembali tentang hakekat tinggal landas dan kondisi-kondisinya.

“Kita percaya dan berketetapan hati bahwa masyarakat yang kita cita-citakan itu akan dapat kita wujudkan setelah kita dapat menciptakan landasan yang kokoh kuat, yang Insya-Allah, akan dapat kita rampungkan dalam Repelita ke-V nanti.

Tanpa landasan yang kokoh kuat baik di bidang ekonomi, bidang politik maupun di bidang-bidang lainnya tidak mungkin kita tinggal landas mewujudkan masyarakat yang kita cita-citakan. Jika untuk menciptakan landasan yang kokoh kuat itu diperlukan waktu 25 tahun 5 kali Repelita maka untuk mewajibkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, jelas diperlukan waktu yang jauh lebih panjang lagi. Namun setidak-tidaknya dalam kurun waktu 25 tahun pertama itu kita sudah memiliki landasan yang kuat untuk tinggal landas mencapai sasaran-sasaran antara dalam pembangunan jangka panjang, untuk selanjutnya bangsa kita melanjutkan perjalanan sejarahnya menuju sasaran akhir”. (Bersambung) (SA)

 

 

Sumber : PELITA (9/04/1989)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku X (1988), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 129 – 133

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.