Fuad Hassan: Pak Harto Meramu Inteligensi dengan Intuisi, Penalaran, dan Perasaan

Meramu Inteligensi dengan Intuisi, Penalaran, dan Perasaan[1]

Fuad Hassan [2]

Saya tidak ingat, bila tepatnya awal perkenalan saya dengan Pak Harto; yang pasti dalam situasi dan saat yang sangat kritis, segera setelah meletusnya peristiwa G-30-S yang sekarang dikenal juga sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), yaitu suatu gerakan yang dilancarkan oleh PKI dengan tujuan merebut kekuasaan dan mengunggulkan ideologi komunis di Indonesia. Ini berarti juga mengubah dasar falsafah negara Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga dengan demikian pada analisa·akhirnya juga mengganti UUD 1945.

Betapa gawat dan tegangnya keadaan waktu itu sulit kiranya dibayangkan apalagi dihayati oleh mereka yang tidak mengalami sendiri hari demi hari yang serba tidak pasti itu. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa saat itu nyata sekali terjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan sejalan dengan itu tentu juga krisis kepemimpinan dan kewibawaan pemerintahan.

Universitas Indonesia selama beberapa tahun sebelum meletus peristiwa G-30-S/PKI selalu dijadikan bulan-bulanan cemooh dan fitnah oleh PKI dan organisasi lain yang sehaluan. Maka civitas academica Universitas Indonesia menggalang diri sebagai kekuatan penentang golongan kiri dan kekiri-kirian. Sekurang-kurangnya dua organisasi dalam tubuh UI jelas komunis coraknya: CGMI yang menghimpun mahasiswa komunis serta Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) yang —sekalipun tidak terang-terangan— berhaluan komunis pula. Setidak-tidaknya kedua organisasi ini bergerak paralel dengan garis politik PKI.

Dalam situasi demikian itu sejumlah unsur dosen UI secara teratur mengadakan pertemuan-pertemuan di kantor Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Leknas-LIPI) yang terletak di Jalan Gondangdia Lama No. 39, Jakarta. Dalam pertemuan-pertemuan ini tidak dibuat catatan atau tulisan apapun; papan tulis digunakan untuk memperagakan berbagai pemikiran dan bagan —-sering dengan kata-kata sandi— lalu di antara kami ada yang ditugasi untuk menuangkannya kedalam makalah ilmiah yang bersifat interdisipliner dan komprehensif. Himpunan makalah ini ternyata kemudian amat besar gunanya. Sebab setelah meletusnya G-30-S/PKI, Ialu Pak Harto ditetapkan sebagai Pangkopkamtib, dan selanjutnya menjadi Ketua Presidium Kabinet, maka himpunan makalah tersebut merupakan sumber bahan bagi kami guna menyusun berbagai memoranda yang biasanya disertai sejumlah rekomendasi berupa saran kebijaksanaan dan saran tindak.

Memoranda ini kita usahakan agar aman sampai ke tangan Pak Harto. Jelas kiranya bahwa Pak Harto yang waktu itu masih dibebani oleh tugas pemulihan keamanan dan ketertiban serta ketenangan sosial perlu mendapat masukan mengenai hal-ihwal non militer yang tidak kurang pentingnya untuk diatasi demi pulihnya ketenteraman umum.

Dalam pertemuan-pertemuan ini kita melakukan analisa dan evaluasi terhadap perkembangan keadaan, dan berusaha merumuskan berbagai saran guna menanggulangi permasalahan politik, ekonomi dan sosial (poleksos). Saran-saran tersebut juga kita bahas dengan beberapa perwira Seskoad, khususnya Kolonel Soewarto (Wadan Seskoad saat itu), maka berkembanglah telaah kita meliputi spektrum yang makin luas: ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya (ipoleksosbud). Himpunan telaah pertama itu diterbitkan oleh Leknas dengan judul “IPOLEKSOSBUD” (saya tidak ingat lagi tepatnya tanggal terbitnya dan sayang saya tidak memiliki lagi buku ini).

Spektrum liputan itu kemudian makin berkembang lagi meliputi bidang militer dengan masukan dari kalangan Seskoad yang diterima melalui Kolonel Soewarto. Maka liputan yang·semula bidang “poleksos” akhirnya berkembang menjadi “ipoleksosbudmil” (sekarang singkatan mil menjadi hankam).

Kontak berkala dengan Seskoad —teristimewa Kolonel Soewarto— ini kemudian membuka jalur hubungan teratur antara kelompok kami (antara lain Widjojo Nitisastro, Moh. Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, Selo Soemardjan) dengan Mayjen. Soeharto, Panglima Kostrad waktu itu. Kita harus berhati-hati menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang sepaham dan sependirian, sebab baik di kalangan sipil maupun militer masih sulit ditegaskan siapa di pihak mana. Maka hubungan dengan Pak Harto pun dilakukan secara terbatas; kontak langsung dilakukan melalui Prof. Widjojo. Hubungan ini, menurut hemat saya, adalah awal hubungan kerja yang makin lama makin efektif; bahkan makin mewujudkan pola kerja yang ditandai saling percaya.

Semua kegiatan tersebut di atas merupakan pendahuluan yang amat penting untuk menciptakan iklim politik yang sebaik-baiknya guna menumbuhkan suatu wawasan baru tentang berbagai permasalahan negara dan bangsa Indonesia. Untuk ini diperlukan pendekatan yang menyeluruh —sebagai terliput dalam singkatan “ipoleksosbudmil”— dan dalam saling keterkaitan. Maka diselenggarakanlah suatu forum akademik yang multidisipliner dan menyertakan kalangan masyarakat luas. Bagi dunia akademik —kali ini terutama bagi warga UI— peristiwa ini merupakan peluang. emas untuk mengutarakan pendapat yang selama ini terpendam, sekalipun rasional dan obyektif dapat dipertanggungjawabkan. Dalam suasana politik dan keamanan yang masih serba rawan kala itu Universitas Indonesia menyelenggarakan Simposium ”Kebangkitan Semangat ’66: Menjelajah Tracee Baru“.

Mengakhiri sambutannya pada Simposium itu Pak Harto. berpesan:

“Semoga seluruh hasil simposium yang telah saudara-saudara usahakan dengan penuh kesungguhan  dan keinsafan ini dapat mendjadi perangsang berupa garis penegak dan garis pelurus dari semua tjita-tjita perdjoangan, Pantjasila chususnja.”

Ketahuilah, bahwa sambutan itu diucapkannya dalam kedudukan sebagai Wakil Perdana Menteri bidang Pertahanan-Keamanan ad interim dan Panglima Angkatan Darat. Maka pernyataan tersebut sangat memberi semangat bagi kalangan akademik untuk mengutarakan pandangan mereka secara bebas dan bertanggungjawab. Katakanlah, suatu iklim segar meliputi dunia akademik. Maka kelompok kami yang sejak di Leknas bersibuk diri dengan permasalahan dalam bidang “ipoleksosbud” pun kian berpeluang menggalang basis yang luas di kalangan akademisi.

Ketika kelompok kami ditugaskan sebagai Tim Ahli/Staf Pribadi Ketua Presidium (Pak Harto), maka mantaplah hubungan dan pola kerja itu. Sejak itu pula saya mulai menyaksikan langsung cara Pak Harto memimpin rapat, membahas masalah, menilai keadaan, dan sebagainya.

Sebagai rekaman pertama maka saya ingat sekali betapa beliau penuh konsentrasi bila mendengarkan suatu uraian dan penjelasan; masih terbayang dalam ingatan saya saat Prof. Widjojo memberikan expose tentang ekonomi dan keuangan. Terkadang expose itu cukup panjang; dan kalau diadakan siang hari —sesudah makan nasi bungkus— nampak beberapa orang mulai mengantuk, sedang Pak Harto tidak menyusut kesegarannya. Sebagai pendengar yang baik dengan konsentrasi yang tinggi maka daya serap dan daya rekamnya berfungsi optimal. Maka tidak mengherankan bila suatu masalah yang disajikan dalam suatu expose dengan mudah dipertautkannya dengan apa yang pernah disajikan sebelumnya .

Sebagai seorang prajurit yang meniti karir militer jenjang demi jenjang, saya dapat membayangkan betapa beratnya tugas baru yang dipikulnya sebagai Ketua Presidium, nota bene dalam situasi yang begitu kritis. Serta merta beliau harus menangani sejumlah permasalahan yang jauh dari bidang kemiliteran; serentak beliau dihadapkan pada permasalahan dari berbagai bidang yang menuntut penyelesaian segera, baik bersifat urgency maupun emergency. Mungkin pengalaman inilah antara lain yang menjadi pertimbangan beliau semula untuk menolak diusulkan sebagai Presiden Rl. Orang terkadang lupa, bahwa beliau bertahan sebagai Ketua Presidium selama hampir dua tahun, sekalipun desakan untuk mengambilalih jabatan kepresidenan itu terus ditujukan kepada beliau. Liputan koran dan notulen rapat-rapat menjelang Sidang Umum Istimewa MPRS 1968 memberikan gambaran tentang hal ini.

Sidang yang amat bersejarah itu antara lain diharapkan akan membahas juga masalah kepemimpinan nasional. Masih teringat saya pada diskusi yang terjadi antara mereka yang mendesakkan pendapat perlunya Presiden Soekarno diganti oleh Pak Harto dengan mereka yang beranggapan perlunya dipikirkan suatu cara untuk memberikan kesempatan kepada Presiden Soekarno untuk mengubah penilaian dan sikap politiknya terhadap tragedi G-30-S yang dilancarkan PKI. Pembahasan ini berlarut-larut, karena Pak Harto nampaknya tetap tidak bersedia mengambil alih jabatan presiden. Di lingkaran staf inti situasi tarik tambang ini dibicarakan dengan bahasa sandi —sekarang kiranya boleh diceriterakan— yaitu sebagai proses yang bergerak dari 0 ke + 1 atau -1. Saking sulitnya kadang-kadang juga disebutkan variasi +1/2 atau-1/2.

Hasilnya: Pak Harto bersedia sebagai Pejabat Presiden dan Bung Karno tetap sebagai Presiden yang non-aktif. (Sekarang orang sering lupa, bahwa ada periode dimana beliau menjadi “Pejabat Presiden” sebelum memangku jabatan presiden sepenuhnya). Demikianlah maka segala modus yang dirumuskan secara sandi itu ternyata tidak ada yang dapat diterapkan. Bahkan orang-orang yang konon·adalah tokoh terdekat pada Pak Harto tidak tepat “ramalannya”.

Terjadinya hal demikian itu bukan satu-dua kali. Maka sejak itu kelompok kami berkesimpulan, bahwa Pak Harto memang mendengar dan merekam semua masukan yang disampaikan kepadanya, tetapi selanjutnya mengolah sendiri masukan itu untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Oleh karenanya maka istilah “orang dekat” yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan Pak Harto seringkali lebih merupakan hasil pembentukan citra (image building) ketimbang kenyataannya. Hal ini makin kentara pada saat menjelang pembentukan kabinet; selalu penuh spekulasi, dan ada saja “orang dekat” yang dianggap sebagai “sumber yang dapat dipercaya”; tetapi akhirnya ternyata informasi dari “orang dekat” itu meleset pula. Mungkin saja ada mereka yang dianggap termasuk lingkaran dalam (inner circle), akan tetapi hal ini tidak lantas berarti ada sosok bayangan yang secara pribadi dapat membentuk visi dan opini Pak Harto. Saya lebih menduga bahwa bagi Pak Harto —mungkin sebagai akibat karir militer yang dibinanya— kecenderungan bekerja menurut pola telaah staf komprehensif lebih memberikan kemantapan. Dengan karirnya sebagai perwira penyandang “tali merah”, maka tidaklah mengherankan jika Pak Harto sebagai pucuk pimpinan menjelmakan gaya kepemimpinan commander-in-chief yang meramu inteligensi dengan intuisi.

Maka muncullah istilah “faktor X” —sebagai lambang aljabar untuk sesuatu yang tidak/belum diketahui— manakala kita membuat memorandum disertai saran-kebijaksanaan atau saran-tindak yang pengambilan keputusannya terpulang kepada Pak Harto. “Faktor X” menunjukkan bahwa saran atau rekomendasi yang diajukan kepadanya dipelajari serta diolah kembali oleh beliau sendiri. Dalam pengolahan selanjutnya ”faktor X” —faktor yang sulit diketahui— yang memberi bentuk final pada pengambilan keputusan beliau. Terkadang timbul kesan bahwa proses pengambilan keputusan itu berlangsung lama; namun berlatar pada proses demikian itulah maka pengambilan keputusannya mantap. Itu pula sebabnya kita mendapat kesan, bahwa sulit sekali untuk mengusulkan perubahan sedikitpun pada sesuatu keputusan yang telah diambilnya.

Erat kaitannya dengan caranya dalam mengambil keputusan itu kentara dari sikap beliau saat akan mencantumkan tandatangannya; meskipun apa yang akan ditandatangani itu sudah dalam wujud final (misalnya dokumen, piagam, prasasti, dan sebagainya), terkesan kecenderungannya untuk mencermati lagi isinya. Prasasti yang formatnya sudah baku pun sambil ancang-ancang untuk membubuhkan tandatangan dibaca dulu isinya. Hal ini juga nampak manakala beliau akan membacakan sesuatu naskah pidato; sekalipun dapat dipastikan bahwa seberkas bahan pidato yang diserahkan oleh ajudan tentu sudah diteliti dan clear untuk dipergunakan, namun beliau masih memeriksanya sekilas dan terkadang juga seperti menghitung lagi jumlah lembarannya.

Kecenderungan untuk berlaku teliti dan cermat ini juga saya alami manakala saya menyampaikan berkas laporan berkala berkenaan dengan Departemen P dan K. Mengingat besarnya volume dan banyaknya ragam permasalahan yang masuk guna dipelajarinya, maka agar tidak terlalu menyita waktu beliau, saya selalu menandai bagian-bagian laporan yang penting dengan penggaris bawahan atau pewarnaan. Maka beliau dapat segera memusatkan perhatian pada inti masalahnya; namun seringkali tanggapan beliau menunjukkan bahwa perhatian juga ditujukan pada bagian-bagian lain yang tidak di tandai. Demikianlah, maka dari pengamatan secara umum maupun pengalaman secara pribadi saya dapat menyimpulkan bahwa beliau adalah seorang yang memiliki daya konsentrasi tinggi, serta kecenderungan kuat untuk bertindak cermat dan teliti.

Karakteristik tersebut sepintas lalu mungkin tidak terlalu istimewa; namun kalau hal ini melatari tugas serta tanggungjawab dalam pengambilan keputusan, maka dapat diperkirakan bahwa proses pengambilan keputusan itu tidak berlangsung tergesa-gesa, malahan boleh jadi mengesankan kelambatan. Akan tetapi sekali keputusan telah diambil, maka teguhlah hasrat untuk melaksanakannya. Dengan keteguhan demikian itulah maka sebagai pemimpin jajaran dan gugus tugas beliau pun tanggap untuk memberikan pengarahan. Dalam hal ini juga kentara kecenderungannya untuk mematuhi peraturan yang berlaku. Pernah saya mengajukan permohonan perpanjangan masa tugas bagi dua orang pejabat eselon I yang akan memasuki usia pensiun. Pada kasus pertama tanggapan beliau:

“Coba usahakan dulu mencari penggantinya.”Beberapa bulan kemudian kasus kedua saya majukan, dan jawaban beliau: “Kalau kita punya peraturan hendaknya ditaati dan dilaksanakan.”

Jawaban yang kedua ini menjadi isyarat bagi saya untuk tidak lagi mengajukan kasus serupa itu. Padahal ada seorang lagi pejabat eselon I yang saya harapkan dapat kita pertahankan, dan perpanjangan masa tugasnya memerlukan persetujuan Presiden. Pejabat ini diperlukan demi kesinambungan realisasi sejumlah program dalam bidang tugasnya; dedikasinya tinggi dan diakui oleh semua kalangan di dalam negeri dan badan-badan internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Terus terang saya sangat berharap mendapat persetujuan untuk memperpanjang masa tugasnya; akan tetapi saya pun ragu-ragu untuk mengajukan permohonan untuk kasus ini, mengingat tanggapan Pak Harto pada dua kasus sebelumnya. Di lain pihak saya merasa yakin, bahwa alasan yang rasional serta kondisi yang obyektif niscaya dapat diterima beliau sebagai bahan pertimbangan. Maka dengan itikad baik saya majukan juga kasus itu kepada beliau, dan ternyata setelah mempertimbangkan berbagai alasannya, beliau memberikan persetujuan. Akan tetapi persetujuan tersebut tetap dalam batas peraturan yang berlaku yaitu per satu tahun, disertai juga catatan agar dicari dan disiapkan penggantinya.

Tidak sekali dua kali saya amati keteguhan beliau berpegang pada peraturan atau ketentuan yang berlaku. Sekalipun demikian, alasan rasional dan kondisi obyektif selalu diterima sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, keteguhan berpegang pada peraturan itu masih menyediakan apertura yang memberikan peluang untuk suatu pertimbangan, apabila alasan yang mendasarinya rasional dan obyektif.

Persepsi Pak Harto tentang tugas dan tanggungjawab seseorang yang diandalkan untuk memikulnya juga memberi kesan tersendiri. Dalam berbagai kesempatan —antara lain dalam sidang kabinet paripurna—, diharapkan oleh beliau agar setiap petugas mengurusi bidang masing-masing dan tidak mencampuri urusan di bidang lain yang bukan tugasnya. Saya pernah mendapat teguran dalam hubungan ini dan semenjak saat itu saya berusaha untuk tidak mencampuri urusan di luar lingkup tugas saya. Teguran itu berkenaan dengan suatu peristiwa yang berkaitan dengan kebijaksanaan yang mulai berlaku dalam lingkungan pendidikan tinggi. Waktu itu saya masih bertugas sebagai Kepala Badan Litbang Departemen Luar Negeri. Pada suatu kesempatan ramah tamah di Istana Negara saya dipanggil Pak Harto. Beliau menanyakan sejauh mana keterlibatan saya dengan peristiwa yang ada hubungannya dengan ditetapkannya kebijaksanaan tersebut. Dengan penuh perhatian beliau mendengarkan penjelasan saya; dan saya gembira merasa didengar oleh beliau. Betapa tidak, selama mendengarkan uraian saya itu beliau mengangguk-angguk mengesankan pengertian, bahkan diselingi senyum. Akan tetapi segera sesudah itu beliau menanggapi secara singkat:

“Baik, tapi selama bertugas di Departemen Luar Negeri pusatkan saja perhatian pada masalah-masalah luar negeri; itupun sudah banyak.”

Dari jawaban tersebut —diperkuat oleh apa yang diceritakan beberapa teman dengan pengalaman serupa— saya menarik kesimpulan bahwa beliau lebih suka kalau tiap orang memusatkan perhatiannya pada penanganan permasalahan dalam bidang penugasannya, dan tidak mencampuri urusan yang menjadi tugas orang lain. Lebih dari itu, dalam jawaban itu tersirat pesan: lebih baik memusatkan diri pada pelaksanaan tugas sendiri sebaik mungkin ketimbang mencampuri apa yang menjadi tugas orang lain. Persepsi demikian terhadap tugas mungkin adalah ciri khas dalam dunia kemiliteran yang dibagi dalam berbagai satuan tugas, masing masing dengan deskripsi tugas yang jelas serta peran yang lugas. lbaratnya, satuan zeni jangan mencampuri urusan kavaleri, dan kavaleri jangan mencampuri urusan infantri. Sekalipun demikian, dalam suatu operasi keseluruhannya harus utuh sebagai satu jajaran tugas; dan keutuhan itu terjaga oleh koordinasi yang baik dan terkendali dari pusat tertentu.

Gaya kepemimpinan demikian itu seringkali terpantul melalui saran beliau agar sesuatu masalah dibicarakan dengan instansi terkait sebelum sesuatu keputusan diambil. Pengarahan demikian itu tidak satu-dua kali saya alami manakala saya mengusulkan penyelesaian sesuatu soal yang ada konsekuensinya pada kegiatan instansi lain. Pertanyaan beliau ”apakah sudah dibicarakan dengan ….” atau saran beliau “bicarakan dulu dengan ….” demikian seringnya, sehingga sebelum saya mengajukan usul penyelesaian sesuatu masalah saya pelajari dulu ada tidaknya kaitan dan konsekuensinya pada instansi lain. Dengan demikian saya akan dapat menghindari jawaban negatif seandainya ditanya apakah sudah membicarakan masalah itu dengan instansi yang terkait. Sebab kalau jawabnya negatif, hampir pasti beliau akan menangguhkan saran penyelesaian masalahnya.

Disamping hubungan kerja, ada saat-saat —tidak banyak, tapi cukup mengesankan— informal yang saya alami. Dalam saat-saat itu Pak Harto lebih terungkap kesejatiannya sebagai pribadi seutuhnya yang tidak terkekang oleh pembatasan protokoler. Dalam saat-saat seperti itu kesan beliau sebagai seorang introvert mudah terdesak oleh spontanitas dan keterbukaan; bahkan kata dan gerak beliau makin ekspresif. Itulah saat yang tepat untuk “membaca” pandangan dan pendirian beliau mengenai sesuatu hal. Pada saat-saat demikian itulah Pak Harto tampil mengesankan sebagai seorang yang memadukan ciri manusia-Indonesia-orang Jawa sebagai kesejatian pribadinya; seorang dengan rasa nasionalisme yang tinggi tanpa mengabaikan unsur-unsur bumi dan budaya Jawa sebagai lingkungannya yang paling awal untuk menjalani proses personalisasi dan sosialisasi. Inilah, boleh jadi, yang membuat beliau peka dan tanggap terhadap upaya pelestarian hal-hal yang memiliki nilai budaya dan kesejarahan, sekaligus kuatnya aspirasi untuk menggerakkan upaya kemajuan yang seiring dengan kondisi universal yang mutakhir. Wawasan beliau kentara melalui ungkapan beliau yang sering menekankan perlunya dipelihara keseimbangan. Dinamisme tidak perlu mengakibatkan terganggunya equilibrium. Ditengah gencarnya pelaksanaan pembangunan nasional perlu diusahakan terjaganya keserasian; perubahan yang terjadi sebagai konsekuensi pembangunan tidak harus berakibat disharmoni. Demikian pula kemajuan dan pembaharuan sosial sebagai konsekuensi dari upaya pembangunan nasional umumnya hendaknya tidak berakibat ketimpangan dan kesenjangan sosial yang meresahkan masyarakat; pembaharuan sosial tidak harus berakibat desrupsi atau destruksi terhadap tertib sosial.

Maka memasyarakatlah tiga kata itu·seolah-olah menjadi panji dalam pelaksanaan pembangunan nasional serta pembaharuan sosial: keseimbangan, keserasian, keselarasan. Demikiaq pula kiranya apa yang terpantul sebagai aspirasi figur Soeharto dalam melaksanakan ikhtiar memajukan kehidupan bangsa Indonesia melalui pelaksanaan pembangunan dan pembaharuan. Cara pandang beliau memberikan kesan sebagai berikut: membangun tanpa merusak warisan alam dan budaya, yang memang perlu dilestarikan, serta memperbaharui tanpa berakibat keterasingan dari identitas kebangsaan sendiri yang justru harus dikukuhkan.

Ada beberapa peristiwa lain yang saya alami dan rasanya penting tmtuk melukiskan kepribadian Pak Harto, antara lain peristiwa berikut ini. Ketika dilangsungkan upacara peresmian sebuah monumen yang didirikan untuk suatu peristiwa yang ada kaitannya dengan sejarah perjuangan beliau sendiri, Pak Harto tampak sangat memperhatikan berbagai segi bangunan itu, termasuk juga biaya pembangunannya. Jumlah dana yang disebutkan cukup besar, bahkan ditambahkan pula berupa anggaran yang dibutuhkan untuk pemeliharaannya. Kami semua mendengar jumlah yang disebutkan sebagai biaya pemeliharaan; kami semua pun tercengang, dari mana dana sebesar itu dapat diperoleh dan diandalkan tersedia secara teratur Namun Pak Harto nampak tenang saja dan sedikitpun tidak menampakkan kekecewaan terhadap para pengelola proyek tersebut. Selesai upacara kebetulan saya diajak sekendaraan dengan beliau; tak berapa lama kemudian beliau dengan nada rendah berucap: “Itu bagaimana membangun proyek ‘kok tidak memperhitungkan biaya perawatannya hampir satu juta rupiah tiap harinya; dari mana?” Beliau berkata demikian itu tanpa tampak kesal, melainkan tetap senyum sambil geleng-geleng kepala mengesankan keprihatinan.

Pengalaman lain ialah ketika RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional sedang dalam pembahasan bersama DPR. Saya sangat menyadari betapa beratnya tugas ini. Selain substansi yang kompleks, saya harus peka dan tanggap terhadap kepentingan berbagai pihak, akan tetapi kesemuanya harus dibawa bermuara pada kepentingan umum, ya kepentingan nasional. Untuk pertama kalinya saya menghayati betapa beratnya tugas membahas sesuatu RUU. Apa manouvre yang sebaiknya; bagaimana menghindari terjadinya blunder yang akibatnya akan terpulang pada saya; dan sejumlah pertanyaan lain mendesing di benak saya. Dalam suasana itu konsultasi dengan Pak Harto memberikan ketenteraman Setiap kali saya berkonsultasi, Pak Harto menunjukkan pengertian yang sungguh-sungguh. Saya tidak akan melupakan pengarahan belilau yang pertama menjelang dibahasnya RUU termaksud.

“Prosesnya biar berlangsung demokratis, yaitu demokrasi Pancasila yang menekankan pentingnya cara musyawarah dan mufakat. Unggulkan persamaan diatas perbedaan (pendapat). Memang, perlu kesabaran.”

Pengarahan ini jelas memberikan pedoman dan sekaligus clearance untuk bekerja dengan rasa percaya diri yang teguh dan nurani yang bening. Sesudah itu, tiap konsultasi pada beliau berjalan lancar. Seingat saya, satu-satunya yang beliau sungguh-sungguh sarankan ialah supaya diusahakan mengubah kata “Dewan” dalam sebutan “Dewan Pertimbangan Pendidikan Nasional”; substansinya tidak menimbulkan soal, akan tetapi beliau begitu mendesak agar kata Dewan diganti. “Pokoknya asal jangan menggunakan kata Dewan atau Majelis.” Syukur semua fraksi akhirnya bersetuju menggunakan kata “Badan”, sehingga kini menjadi “Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional”.

Lebih dari itu tidak banyak yang menjadi persoalan. Bahkan dari beliaulah saya peroleh dukungan pertama terhadap perumusan pasal tentang kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi perguruan tinggi sebagai lembaga keilmuan; perumusan itu kini tercantum sebagai pasal 22 UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dari rangkaian konsultasi selama pembahasan Rancangan Undang Undang tersebut saya mendapat pengalaman, betapa benar arti yang terkandung dalam kandungan pribahasa lnggris tentang orang yang cenderung bersikap more royal than the king.

Bagi saya berlakunya UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan saat yang paling melegakan sejak saya memikul tugas di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Betapa tidak; bidang pendidikan begitu luas lingkupnya serta amat strategis kedudukannya dalam keseluruhan upaya pembangunan bangsa. Lagi pula terus terang saya tidak menduga akan mendapat tugas itu; karena saya merasa telah dimantapkan dalam tugas diplomatik dan urusan luar negeri. Bahkan Menteri Luar Negeri (kala itu) Mochtar Kusumaatmadja telah menyebutkan Ottawa sebagai tempat penugasan saya berikutnya.

Jadi ketika beberapa hari kemudian saya menerima panggilan Untuk menghadap Pak Harto di kediaman (tanggal26-7-1985; pukul 20 00), saya sama sekali tak menduga bahwa saat itu bidang penugasan saya akan beralih dari Departemen Luar Negeri ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mendahului pemberitahuan tentang penugasan yang baru itu, Pak Harto memberikan uraian yang komprehensif tentang pembangunan nasional; ringkas tapi jelas. Sesudah itu beliau mulai berbicara tentang bidang pendidikan, dari wawasan yang umum sampai dengan program-program yang lebih khusus. Saya terheran oleh penguasaan beliau terhadap materi dan permasalahan di bidang ini; bukan saja mengenai angka dan anggaran, tetapi juga tentang letak berbagai program pada skala prioritas untuk pembangunan bidang pendidikan. Uraian beliau berurut sistematis dari gambaran keseluruhan sampai dengan perinciannya; sehingga setiap detail tampil bermakna dalam satu latar cakrawala. Dengan cara demikian, maka menjadi jelaslah saling keterkaitan berbagai detail dalam satu panorama yang utuh. Saya terkesan sekali oleh kemampuan beliau menyajikan tour d’horizon.

Pada saat-saat seperti itu tampillah Pak Harto sebagai sosok ahli strategi yang mawas keseluruhan tanpa melengahkan rinciannya, dan tidak pula terpukau oleh suatu detail sehingga kehilangan wawasan terhadap keseluruhan. Begitulah mungkin penjelmaan naluri seorang perwira penyandang tali merah yang sangat menyadari arti semboyan: a good commander can loose a battle but not caught by surprise.

Pertemuan malam itu amat berkesan pada diri saya; mendapat kepercayaan untuk mengelola bidang pendidikan yang sangat majemuk dan sarat dengan tuntutan dan tantangan itu sesungguhnya terasa sebagai amanat. Untuk menanggung amanat ini bukan saja diperlukan kesanggupan, melainkan terlebih lagi rasa percaya diri. Ketabahan menanggung tugas ini terpupuklah oleh kata-kata beliau menjelang akhir pertemuan malam itu:

“Pembangunan adalah upaya jangka panjang; hasilnya pun tidak selalu dapat dialami segera. Sedangkan hasil setiap tahapnya akan menumbuhkan tuntutan dan harapan baru; kita harus sabar dan tabah menghadapinya. Begitu juga dengan pembangunan bidang pendidikan.”

Sebelum saya mohon diri beliau berpesan, agar saya tidak memberitahukan kepada siapa pun perihal penugasan yang baru ini: “Resminya nanti akan diumumkan hari Senin yang akan datang”. Waktu itu hari Kamis. Ini berarti saya harus “membisu” selama tiga hari. Malam itu saya salat istikharah, sebagaimana lazim dilakukan seorang muslim sebelum menerima suatu tugas yang dipercayakan kepadanya. Diluar dugaan saya, ternyata keesokan harinya Menteri Sekretaris Negara mengumumkannya kepada pers, sekaligus tanggal pelantikan saya.

Bagi saya suasana upacara pelantikan di Istana Negara pada tanggal 31 Juli 1985 meninggalkan kesan tersendiri. Sudah sering saya hadir pada berbagai peristiwa di lstana Negara; akan tetapi kali ini perasaan saya bercampuran. Saya berdiri seorang diri di tengah ruang besar berpagar para tamu undangan; dan dalam kesendirian itu saya merasakan perlunya mencari sumber kekuatan. Ketika itu terbayang wajah ibu saya yang baru tutup usia seratus hari sebelumnya; doa ibu adalah sumber kekuatan dan keselamatan. Dalam hati saya suarakan pula doa kepada Allah sumber awal segala daya.

Ketika pembawa acara memberitahukan: “Bapak Presiden beserta lbu dan Bapak Wakil Presiden beserta lbu tiba di ruang upacara”, maka ruang besar itu tiba-tiba hening. Pandangan Pak Harto tenang tapi menerawang. Tertatap oleh pandangan itu saya merasa mendapat dukungan kepercayaan beliau bahwa saya akan mampu melaksanakan tugas baru ini. Hal itu pun diungkapkan dalam pidato pelantikan yang hingga kini saya simpan baik-baik; dari pidato itu ketulusan beliau kentara melalui kutipan berikut ini:

“……tugas Saudara di tahun-tahun mendatang bukan tugas yang ringan. Karena itu, dengan mengangkat Saudara sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saya tidak memberi kedudukan yang enak dan nyaman kepada Saudara. Sebaliknya, saya minta Saudara untuk mengemban tugas. Namun saya percaya bahwa dengan bekal pengalaman Saudara yang luas, baik di bidang pendidikan maupun di bidang politik yang Saudara arungi selama ini, Saudara tentu akan dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.”

Mendengar kata-kata tersebut dalam suasana yang demikian khidmat itu dalam hati saya menyahut: insya Allah.

Memang, tanpa kesabaran dan ketabahan —dan kepala dingin— mengelola bidang pendidikan niscaya akan terasa sebagai pekerjaan Hercules; yang lebih sering diamati adalah apa yang belum terselesaikan ketimbang apa yang sudah dihasilkan Namun betapa berat pun sesuatu tugas, kepercayaan tulus yang diberikan pada pelaksananya sudah merupakan sumber kekuatan serta rasa percaya diri. Itulah pula arti yang saya hayati dari kutipan pidato tersebut. Membangkitkan rasa percaya diri untuk menunaikan tugas yang berat dengan bahasa yang lugas —bukan basa-basi— ada seninya sendiri. Tapi mungkin selain menguasai seninya juga diperlukan kadar karisma tertentu. Dan inilah yang nampak terpantul melalui Presiden dan pribadi Soeharto.

***



[1] Fuad Hassan, “Meramu Inteligensi Dengan Intuisi, Penalaran, Dan Perasaan”, dalam buku “Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 258-271.

[2] Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Pembangunan V.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.