Ada yang Salah Kira[1]
Ada kejadian sedih yang beruntun. Ali Murtopo meninggal pada tanggal 15 Mei 1984. Lalu Pak Adam Malik. Kemudian Sudjono Humardani permulaan 1986 di Tokyo. Memang pada suatu waktu kita akan kembali kepada Tuhan. Kita tidak bisa mengelak.
Ali Murtopo banyak dibicarakan orang semasa hidupnya. Begitu pun waktu ia meninggal. Tetapi dipikir lagi, wong mati kok diributkan. Kalau sudah waktunya, siapa yang bisa menghalang-halangi?. Sesungguhnya dengan meninggalnya Ali Murtopo, bagi orang yang percaya kepada Tuhan, tinggallah ia mengucapkan “Innalillaahi wainna ilaihi raajiun,” bahwasanya kita akan kembali kepada Tuhan Allah.
Sebelum Ali Murtopo meninggal, ada orang yang suka menilai, bahwa Ali Murtopo itulah yang menentukan. Karena apa? Mungkin karena ia pandai bicara, berani, atau dinilainya sebagai Aspri, sehingga merupakan pembantu utama saya yang terdekat dan segala sesuatunya bergantung pada dia. Dengan menilainya seperti ini, orang mengira bahwa pemerintah tidak bisa mengambil keputusan tanpa dia. Karena Ali Murtopo memimpin CSIS[2] yang di Tanah Abang itu, maka orang mengira bahwa lembaga itulah dapurnya pemerintah. Itu tidak benar! Buktinya? Setelah Ali Murtopo meninggal, pemerintah tetap bisa berjalan. Kalau bergantung pada Ali Murtopo, akan berarti, kalau Ali Murtopo meninggal, pemerintah tidak akan bisa jalan. Kenyataan menunjukkan bahwa dengan meninggalnya Ali Murtopo, pemerintah tetap bisa berjalan. Dan saya bisa memimpin. Maka tidaklah benar bahwa segalanya itu bergantung pada dia.
Waktu saya akan menetapkan kebijaksanaan menaikkan harga minyak dari Rp 4,- menjadi Rp 16,- per liter, pada tahun ’67 atau ’68, Ali Murtopo bingung. Ia sampai-sampai menangis di depan saya, sambil mengatakan agar saya jangan mengambil keputusan demikian.
“Kalau mengambil keputusan seperti itu,” katanya, “rakyat pasti memberontak dan pemerintah bisa jatuh.” “Kita ingin mempertahankan Pak Harto,” katanya. “Kalau tetap akan diambil keputusan menaikkan harga minyak, itu akan menghancurkan pemerintah Orde Baru.” Begitu kata Ali Murtopo yang “rasional” itu.
Saya katakan, “Saya sudah menghitung keseluruhannya.” Memang saya sudah menghitung dari segala segi dalam mempersiapkannya. Waktu itu saya sudah mendapat gambaran babwa orang membeli satu liter teh botol saja, satu gelas teh kental saja, berani membayar Rp 25,-. Membeli satu. glek-glekan orang sanggup membayar Rp 25,-. Masa’ untuk satu liter minyak orang tidak sedia membayar Rp 16, padahal satu liter minyak itu bisa dinikmati dalam sekian kilometer dan oleh orang banyak. Jadi, mengapa kita harus takut akan timbul pemberontakan? Maka saya yakin, tidak akan terjadi apa-apa. Saya tidak was-was. Saya tidak mundur. Dalam rangka melaksanakan pembangunan, saya putuskan kenaikan harga minyak itu, bertentangan dengan saran Ali Murtopo. Dan ternyata, tidak terjadi apa-apa.
Tentang Sudjono Humardani terdengar orang bicara, seperti ia lebih tahu daripada saya mengenai kebatinan. Padahal Djono sendiri biasa sungkem pada saya. Ia menganggap saya lebih tua dan lebih mengetahui soal ilmu kebatinan.
Ya, kebatinan bagi saya, bukanlah kebatinan seperti anggapan sementara orang. Seperti sudah saya kemukakan di depan, kebatinan itu ialah ilmu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang lain mengatakan bahwa kebatinan itu, ya begitu, ya begini, dan kemudian berguru dan sebagainya. Itu tafsiran orang lain. Bagi saya, sekali lagi, ilmu kebatinan itu adalah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Memang benar, Djono suka datang pada saya dengan membawa buku berisi tulisan. Dia mempunyai kepercayaan. Maka ia suka menyampaikan sarannya. Saya terima saja sarannya, untuk menyenangkan hatinya. Tidak saya telan begitu saja sarannya itu.
Saya analisa. Saya pertimbangkan, apakah rasional atau tidak sarannya itu. Jika rasional, jika masuk akal, maka saya terima. Jika tidak, maka tentulah tidak saya pakai sarannya itu.
Jadi, yang mengira bahwa Djono itu guru kebatinan saya, kecele. Sangkaan begitu tidak benar. Mengenai ilmu kebatinan, Sudjono lebih banyak bertanya kepada saya daripada sebaliknya. Ia sendiri pernah berkata, “Saya berguru kepada Pak Harto.”
***