Saya Sebagai Elemen Angkatan ’45[1]
Belakangan ini saya lebih sering merenungkan kembali segala pengalaman dan sejarah pengabdian Angkatan ’45, seperti halnya juga mereka yang lainnya yang pernah terlibat dalam perjuangan angkatan itu. Hal ini lumrah dan patut-patut saja. Saya merenungkan kekuatan dan kelemahan Angkatan ’45, keberhasilan dan kesulitan-kesulitannya. Dalam merenungkan itu saya berhasrat memberi sumbangan yang terbaik kepada bangsa dan generasi-generasi selanjutnya, dalam bagian-bagian akhir dari pengabdian perjuangan Angkatan ’45 kepada generasi-generasi selanjutnya.
Menginjak tahun 1988 berarti hampir setengah abad lamanya Angkatan ’45 menyumbangkan dharma baktinya pada perjuangan bangsa. Kehadiran suatu generasi dalam sejarah bangsa biasanya hanya berlangsung setengah abad. Karena itu, kurun waktu sekarang (1988) jelas merupakan bagian-bagian akhir dari dharma bakti Angkatan ’45 kepada bangsa Indonesia. Dalam meninggalkan panggung sejarah bangsa, Angkatan ’45 memang harus bertekad untuk tidak meninggalkan masalah-masalah pelik yang akan membahayakan Generasi Penerus dan generasi-generasi selanjutnya. Tekad inilah yang dihayati oleh setiap unsur Angkatan ’45 —yang pasti oleh saya sebagai elemen Angkatan ’45— terutama karena dorongan tanggung jawabnya sebagai pejuang untuk terus mengabdi kepada negara yang kita tegakkan, yang kita pertahankan, yang kita bangun dan kita cintai bersama agar seterusnya dapat dilanjutkan, ditingkatkan dan disempurnakan oleh generasi demi generasi yang akan datang sepanjang masa.
Dengan sendirinya saya menempatkan diri sebagai Angkatan ’45. Saya memang elemen Angkatan ’45. Sejarah memanggil saya sampai terlibat dalam perjuangan Angkatan ’45. Itu berarti mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, menegakkan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan itu dengan melaksanakan pembangunan jangka panjang yang pertama. Itu berarti membuat landasan setidak-tidaknya kerangka landasan dari masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dengan pengalaman ini kita tidak perlu menuntut. Kita bertolak dengan rela, dengan hati yang tulus ikhlas, dan tidak ada yang menyuruh. Saya merasa patut bicara mengenai Angkatan’45. Dan lebih penting untuk diketahui oleh mereka yang terhitung dalam generasi sesudah saya.
Angkatan ’45 memandang tugas sejarah itu dengan tanggung jawab yang sebesar-besarnya. Dan dengan rendah hati, Angkatan ’45 dilahirkan oleh sejarah. Sama halnya dengan angkatan-angkatan sebelumnya di tahun 1908 dan di tahun 1928. Tapi adanya angkatan-angkatan itu tidak berarti ada perasaan lebih atau perasaan kurang di antara angkatan yang satu dengan yang lain. Adanya angkatan-angkatan itu menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan kita merupakan perjuangan yang sangat panjang, tahap yang satu disusul oleh tahap yang lain.
Tiap-tiap generasi dari bangsa pejuang mempunyai masalah dan tantangan perjuangan tersendiri. Jawabannya pun berlain-lainan. Jawaban dalam satu tahap perjuangan tidak mungkin hams sama dengan tahap perjuangan yang lain, karena masalah dan tantangan yang dihadapi juga berlainan. Sejarahlah yang memberi kesempatan kepada Angkatan ’45 untuk melahirkan, menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan nasional yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Hasil perjuangan besar yang gilang gemilang pun bukan hasil perjuangan Angkatan ’45 sendiri, sebab sebelumnya telah dirintis oleh Sumpah Pemuda di tahun 1928, dan sebelumnya lagi benih-benihnya telah ditanamkan oleh Kebangkitan Nasional ditahun 1908.
Begitu saya memandang kemerdekaan nasional kita sebagai perjuangan panjang seluruh rakyat Indonesia dari generasi ke generasi, dari tahap yang satu meningkat ke tahap yang lain. Dalam rangka itulah Angkatan ’45 sepatutnya menempatkan dirinya dalam proses sejarah perjuangan bangsa kita. Karena itu pula, seperti saya katakan di muka, Angkatan ’45 memandang tugas sejarahnya sebagai tanggung jawab yang besar dan dengan rendah hati.
Sama halnya dengan setiap manusia, Angkatan ’45 juga menyadari bahwa di samping kekuatan-kekuatannya juga ada kelemahan kelemahannya, di samping keberhasilan-keberhasilannya juga ada kesulitannya. Kekuatan dan kelemahannya, keberhasilan dan kesulitannya itu merupakan bagian dari pengabdiannya yang tulus kepada rakyat, bangsa dan negara.
Angkatan ’45 memang patut merasa sangat berbahagia karena sejarah telah memberi kesempatan kepadanya untuk menjadi Generasi Pendobrak dan Pembebas, yang membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah sehingga menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat. Setelah merampungkan tugasnya merebut, menegakkan dan mempertahankan Republik Proklamasi, Angkatan ’45 telah dapat mengantarkan bangsanya ke era pembangunan.
Secara mendasar masalah-masalah pelik itu sudah kita lampaui dan sudah kita rampungkan secara tuntas, dengan penegasan kita semua bahwa Pancasila adalah satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demikian pula penegasan kita bahwa pembangunan nasional kita laksanakan sebagai pengamalan Pancasila. Ini merupakan jaminan bahwa pembangunan bangsa kita selanjutnya di tengah-tengah peradaban umat manusia yang akan penuh cobaan karena kemajuan ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi akan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan yang kita anggap luhur, yang diamanatkan oleh pendahulu-pendahulu kita.
Saya, yang terlibat dalam Angkatan ’45, merasa lega bahwa tuntasnya masalah yang sangat mendasar ini justru berlangsung di tengah-tengah kurun waktu Angkatan ’45 masih menyumbangkan pikiran dan tenaga kepada bangsa dan negara kita. Dengan penegasan kita bahwa pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancasila, maka kita dapat menghindarkan diri dari ekses ekses pembangunan masyarakat modern. Ekses-ekses itu berupa pendangkalan kehidupan di bidang spiritual, yang dapat memerosotkan harkat dan martabat manusia. Ingat, dalam Pancasila terkandung sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan mengamalkan sila Persatuan Indonesia; benturah-benturan kepentingan yang merupakan salah satu ekses pembangunan masyarakat modern akan dapat kita hindarkan. Pengamalan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengharuskan kita. Angkatan ’45 dan generasi-generasi selanjutnya, untuk terus menerus mengembangkan sistem Demokrasi Pancasila yang kita yakini merupakan kekuatan hidup bangsa kita. Dan dengan mengamalkan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita pasti akan dapat mengatasi kesenjangan sosial yang cenderung menyertai pembangunan masyarakat modern.
Angkatan ’45 juga merasa berbahagia, karena pada bagian-bagian akhir pengabdiannya kepada bangsa dan negara, masih ada kesempatan untuk ikut mengantarkan bangsa Indonesia memantapkan landasan dalam Repelita V yang akan datang. Apabila semua itu terjadi, karena rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa, maka Angkatan ’45 telah mengantarkan bangsanya merampungkan Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun pertama, sebagai ancang-ancang untuk memasuki proses tinggal landas dalam Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun kedua.
Dalam bagian-bagian akhir dari pengabdiannya, Angkatan ’45 perlu meneruskan nilai-nilai kejuangan kepada generasi yang lebih muda. Ini berarti pengalihan nilai-nilai. Hal ini penting, sebab pembangunan juga kita anggap sebagai perjuangan, ialah sebagai kelanjutan dan pengisian perjuangan kemerdekaan dahulu. Dan sebenarnya tiap generasi menggunakan kesempatan dalam alih generasi itu sendiri, baik dengan jalur formal maupun non-formal.
Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai kejuangan nasional. Nilai- nilai kejuangan nasional kita itu merup kan nilai-nilai kejuangan yang lahir dan berkembang dalam perjuangan bangsa Indonesia dari zaman ke zaman. Nilai-nilai kejuangan yang kita miliki itu telah terbukti keampuhannya dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang kita proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dalam perjuangan kita hingga sekarang. Karena itu nilai-nilai kejuangan tadi perlu terus kita lestarikan, agar dapat menjadi landasan, kekuatan dan daya dorong bagi perjuangan bangsa kita selanjutnya. Yakni perjuangan mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia tidak sampai putus di tengah jalan karena kehilangan kekuatan dan semangat, kehilangan elan pembangunan.
Nilai-nilai kejuangan dan elan itu tetap penting dalam tahun-tahun pembangunan di hadapan bangsa kita. Sebab tahun-tahun itu nanti akan penuh dengan ujian dan tantangan berat, terutama karena berbagai perkembangan ekonomi dunia yang tidak menguntungkan pembangunan kita. Saya sudah melihat masalah-masalah dan rintangan-rintangan yang akan kita hadapi dalam masa-masa pembangunan berikutnya. Melihat kenyataan itu mungkin ada diantara kita yang diliputi keragu-raguan apakah kita dapat mencapai sasaran-sasaran strategis jangka panjang yang kita tetapkan? Kita memang harus menyadari dan secara realistik menghadapi masa-masa yang sulit sekarang ini dan yang akan datang. Tetapi hal ini tidak boleh membuat kita kehilangan wawasan strategis jangka panjang. Sebagai pejuang kita harus melihat masa-masa sulit dewasa ini dan yang akan datang sebagai tantangan perjuangan yang harus dapat kita tundukkan. Di situ perlunya elan, perlunya semangat kita.
Ingat, kita pernah mengalami masa-masa sulit dan berat dalam perjuangan kita di masa-masa silam. Dengan semangat yang tidak kenai menyerah yang dilandasi oleh nilai-nilai kejuangan nasional, dan dengan persatuan yang kukuh, kita telah berhasil melampaui masa-masa yang sulit dan berat itu dengan selamat. Dengan semangat demikian dan dengan bekerja keras, kesulitan-kesulitan di bidang ekonomi yang kita hadapi dewasa ini sedikit demi sedikit juga telah mulai dapat kita atasi. Penyesuaian-penyesuaian kebijaksanaan ekonomi yang kita adakan telah berhasil membawa dampak yang positif terhahap perkembangan ekonomi kita.
Saya bersama sesama Angkatan ’45 yakin, bahwa dengan semangat sebagai pejuang, dengan persatuan yang kukuh dan dengan bekerja keras sekuat tenaga, kita pasti akan berhasil mengatasi masalah-masalah dan tantangan-tantangan yang masih akan kita hadapi. Saya mohon kekuatan lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam perjuangan kita melanjutkan pembangunan ini. Saya memohon petunjukNya.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 556-560.