Usaha Mewujudkan Amanat Pasal 33 UUD ’45

Usaha Mewujudkan Amanat Pasal 33 UUD ’45[1]

Pada tanggal 30 Desember 1987, dalam sidang paripurna terakhir Kabinet Pembangunan IV, saya lontarkan, atau mungkin tepatnya harus disebut lagi-lagi melontarkan pikiran dan dorongan mengenai usaha mewujudkan amanat pasal 33 UUD’45. Penjelasan saya itu sebenarnya saya tujukan kepada para pejabat eselon I, II dan III, karena para pejabat inilah yang akan terus-menerus menggumuli masalah ini. Presiden, Wakil Presiden dan para menteri cuma bertugas selama lima tahun. Tapi para pejabat eselon I, II dan III itu akan terus bertugas, kecuali yang menemukan masa pensiunnya. Dan hendaknya para pejabat eselon I, II dan III itu melanjutkan terus gagasan dan tugas ini kepada bawahan-bawahannya. Hendaknya semua mereka itu benar-benar merupakan satu korps yang bertanggung jawab.

Hal yang saya lontarkan itu bertitik tolak pada tekad Orde Baru untuk menyukseskan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan nasional. Landasan idiilnya ialah Pancasila, landasan konstitusionalnya ialah UUD ’45, landasan operasionalnya ialah GBHN.

Sekarang, pembangunan dalam bidang ekonomi sudah kita lakukan, sementara kita memasuki akhir Repelita IV. Dalam Repelita V akan kita mantapkan kerangka landasan. Nanti, dalam Repelita VI kita sudah harus benar-benar bisa mempergunakan landasan yang sudah mantap itu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dengan kemampuan sendiri. Repelita VI adalah masa tinggal landas kita.

Apa yang jadi masalah dalam hal ini? Rupanya kita masih agak melupakan para pelaku ekonomi. Mereka harus disesuaikan dengan amanat pasal 33 UUD ’45, yakni pemerintah, swasta dan koperasi. Dalam mewujudkan dan mengembangkan demokrasi ekonomi, kita harus benar-benar membangun pelaku-pelaku ekonomi sesuai dengan pasal 33 UUD ’45 itu. Inilah rupa-rupanya yang belum dengan benar­benar kita sadari. Selama ini kita hanya membangun pertanian, industri, prasarana dan sebagainya. Tapi pelaku-pelaku ekonominya belum benar-benar kita sesuaikan. Artinya, walaupun telah ada pikiran kita tentangnya, akan tetapi kita belum sampai pada kebulatan tekad. Persamaan pendapat pun di antara kita mengenai hal ini belum kita temukan.

Bolehlah kita sebutkan bahwa kita sudah mempelajari dan mendalami pasal 33 UUD ’45 itu melalui penataran dan sebagainya. Tetapi rupanya kita belum menemukan persamaan pengertian. Cara berpikir kita, apalagi dalam langkah pelaksanaannya, mengenai hal ini belum mantap. Kita sudah di ambang Repelita V, sudah 20 tahun dihitung sejak permulaan Repelita I, tapi toh mengenai hal ini kita belum terasa mantap. Jangan-jangan, baru nanti sesudah jauh perjalanan bangsa Indonesia akan mengatakan “kok enggak cocok dengan apa yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD’45” Menjaga jangan sampai hal itu terjadi, maka dari sekarang saya menegaskan kembali soal ini.

Hendaknya mereka yang mengetahui teori ekonomi, memahami ilmu ekonomi, ingat pada pasal 33 UUD ’45. ltulah yang harus kita wujudkan. Memang sulit. Disebabkan antara lain oleh karena belum adanya contoh dari atau di negara lain.

Tetapi itu tidak berarti, bahwa karena tidak ada contoh dari atau di negeri lain maka kita meninggalkan amanat itu. Justru kita harus mengusahakan sedemikian rupa, sehingga nanti bentuk ekonomi Indonesia yang sesuai dengan amanat itu benar-benar berwujud. ltulah yang mesti kita selami dan kita usahakan mewujudkannya. Dan dalam hal ini bukari. saja para menteri, yang setiap lima tahun diganti, yang harus melaksanakannya, melainkan terutama para petugas eselon I, II III dan seterusnya.

Ada tiga masalah yang perlu kita perhatikan dalam melaksanakan pasal 33 UUD’45 itu. Pertama, ekonomi nasional kita harus kita bangun atas dasar usaha bersama dan kekeluargaan. Dus, usaha bersama dan kekeluargaan inilah yang harus menjadi pegangan. Kedua, cabang-cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak, rakyat banyak, yang penting bagi negara, harus dikuasai oleh negara.

Ketiga, air, bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara. Untuk apa? Ini yang sering-sering dilupakan. Jawabnya: untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi, kita harus berani untuk membenahi, meluruskan, selama penguasaan atas hal-hal itu, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sekarang, dalam mendefinisikan penguasaan itu, bagaimana? Apakah perlu kita kuasai secara langsung sehingga semua itu diurus oleh negara? Kita pernah mengalami seperti itu. Dan kita tidak akan menim negara komunis. Saya pikir, ada beberapa kemungkinan dalam hal ini. Yakni, bisa secara langsung dikuasai oleh negara, tapi bisa juga melewati policy atau melewati perundang-undangan.

Ini tidak sesuai dengan negara-negara maju (Barat). Tapi memang kita tidak ingin meniru negara-negara Barat. Kita ingin membangun ekonomi nasional berdasarkan pasal 33 UUD ’45. Dalam melaksanakan salah satu dari ketiga kemungkinan itu, timbul kritik yang menyebut-nyebut adanya monopoli dan sebagainya. Tetapi lalu kritik itu mengendor. Yang mesti jadi ukuran dalam melaksanakan ketiga kemungkinan itu adalah: untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan berpegang kepada ini kita harus berani untuk mengambil keputusan, apakah perlu langsung dikuasai oleh negara, atau bisa dengan policy, atau melewati undang-undang.

Dalam melaksanakan pasal 33 UUD’45 jangan kita merasa minder, merasa rendah diri karena tidak cocok atau tidak sesuai dengan di negara-negara lain. Memang kita tidak akan meniru negara lain. Dalam mewujudkan demokrasi ekonomi kita, berpegang kepada pasal 33 UUD ’45 itu ada disebutkan, bahwa produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota­anggota masyarakat. Tujuannya? Untuk kemakmuran masyarakat, bukan untuk kesejahteraan orang per orang. Kesejahteraan masyarakatlah, atau orang-orang banyaklah yang harus diutamakan. Dan bentuk yang paling cocok atau sesuai dengan ini adalah koperasi.

Nyatanya sekarang kita masih saja belum dengan benar membentuk tiga pelaku ekonomi nasional kita itu, terutama koperasi itu. Jalannya koperasi kita masih turun naik. Dalam keadaan demikian kita telah mengambil satu langkah, satu fase di mana kita memanfaatkan potensi yang ada pada swasta sebelum koperasi mengambil peranan penting.

Tadi, memang dengan sengaja kita gerakkan swasta sementara kita belum mampu menghimpun kekuatan masyarakat kita dalam wadah koperasi. Selama koperasi belum kuat, dalam rangka pembangunan ekonomi nasional yang kita cita-citakan, kita membuka jalan bagi swasta supaya ia bisa meningkat, di jalur untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Boleh dibilang ini adalah fase atau tahap pertama.

Bagaimana tahap berikutnya? Tahap berikutnya adalah tentunya koperasi harus memegang peranan penting dalam melaksanakan amanat pasal 33 UUD ’45. Koperasi akhirnya harus tumt memiliki perusahaan-perusahaan swasta itu.

Sekarang, di negara-negara maju, dalam rangka pemerataan dan keadilan, perusahaan-perusahaan itu melakukan “go public.” Masyarakat diajak untuk turut serta di dalamnya. Tetapi saya sekarang (1987) berpikir, untuk di sini, di negeri kita sekarang, tidak bisa hanya dititikberatkan pada “go public”. Dengan begitu karena masyarakat belum kuat, karena rakyat belum kuat “go public” itu hakekatnya hanya akan jatuh pada perseorangan yang kuat.

Maka saya pikir, koperasi-koperasi yang harus diberitahu dan diajak ikut serta. Koperasi harus masuk dan memiliki pemsahaan-perusahaan itu. Tetapi itu pun belum bisa sekarang, karena koperasi itu sendiri belum berjalan sebagaimana yang kita harapkan. Sebab itu kita harus membenahi dulu koperasi, membenahinya lagi.

Dua puluh tahun kita sudah membenahi koperasi. Sejak Repelita I kita tetapkan pentingnya koperasi. Pengorganisasiannya sudah rupa-rupa. Mulai berada di Departemen Perdagangan, lalu ditetapkannya Menteri Muda untuk urusan itu sampai sekarang ada Menteri Koperasi dengan departemen sendiri.

Rakyat kita adalah rakyat petani, 85% dari rakyat kita adalah petani. Produksi mereka ada di bidang pertanian. Maka rakyat yang bergerak di bidang produksi pertanian itulah yang harus bergabung. Kita harus mendorong mereka supaya membuat wadah koperasi.

Berdaya upaya ke arah ini, kita sudah membentuk KUD, sewaktu ada keinginan pada kita supaya kita segera bisa berswasembada pangan. Tidak mudah mengusahakan KUD itu, sampai-sampai pegawai-pegawai negeri kita tunjuk untuk menjadi pengurus koperasi itu. Itu disebabkan karena rakyat memang belum mampu melaksanakannya.

Tetapi lambat laun kita adakan pembahan. Lambat laun para petani itu sendiri diajak ikut serta mengurus koperasi itu. Koperasi harus tumbuh dari bawah. Di tengah perjalanan itu terjadi angka-angka fiktif mengenai areal Bimas. Banyak kredit yang tidak kembali, karena memang tidak sampai pada para petani. Ternyata banyak pengurus KUD yang tidak beres. Sampai-sampai akhirnya pernah Kredit Bimas di stop.

Pengalaman kita mencatat bahwa banyak kredit yang macet berhubungan dengan KUD itu. Jumlah keseluruhan kredit, dihitung sejak mulainya KUD-KUD itu sampai sekarang (Desember 1987) mencapai sekitar 1 trilyun 26,3 milyar rupiah. Tunggakan Rp 170 milyar per 30 November 1987. Tapi saya yakin, kalatu kita terus berusaha keras, kredit yang macet itu bisa kembali. Dan hendaknya kita ketahui bahwa kebanyakan kredit itu tidak jatuh pada para petaninya, dan kemacetan itu tidak pada para petaninya. Kemacetan itu kebanyakan disebabkan oleh para pengurus KUD, yang bukan petani. KUD-KUD pernah tidak berfungsi lagi. Ini satu setback, kemunduran dengan koperasi di desa-desa itu.

Tetapi pengalaman ini tidak boleh menyebabkan kita berhenti dengan mengusahakan koperasi bagi para petani kita itu. Kita bangkitkan kembali KUD-KUD. Tidak tepat kalau kita tinggalkan KUD-KUD itu. KUD adalah yang bakal jadi tulang punggung kehidupan ekonomi kita.

Sekarang memang jumlah KUD sudah banyak, tetapi isinya masih belum seperti yang kita harapkan. Menteri yang mengurusi soal ini dan saya sudah berusaha dengan segala cara untuk membenahi koperasi-koperasi ini. Tapi kalau tidak ada bantuan dari para pejabat dan instansi, tentu tidak akan ada kemajuan. Sebab itu saya sangat berpesan kepada para pejabat eselon satu, dua dan tiga, agar serempak mengadakan perubahan dan penyempurnaan dalam hal ini. Kita secara keseluruhan harus membenahi soal ini.

Kalau kita biarkan KUD-KUD kita itu seperti sekarang, barangkali sampai pada waktu tinggal landas pun mereka tidak akan siap. Sebab itu, kita harus mengusahakan dengan sebaik-baiknya agar nanti dalam Repelita V koperasi-koperasi unit desa itu benar-benar menjadi pelaku ekonomi utama dalam rangka ekonomi nasional, dalam melaksanakan demokrasi ekonomi kita.

Saya tidak akan mencari kesalahan pada siapa dengan mundurnya KUD itu. Tidak akan menyalahkan Menteri. Saya tahu, ia sudah berusaha keras. Tapi saya tahu pula, tanpa dukungan dari semua pihak koperasi kita tidak akan bisa maju. Karena itulah kita memerlukan dukungan dari semua pihak. Minimal moral untuk melaksanakan semua gagasan mengenai ini. Jangan malahan mengambil langkah-langkah yang mempersulit jalannya koperasi-koperasi itu.

Kalau mau menimpakan kesalahan, timpakanlah pada saya. Saya sendiri harus bertanggung jawab. Mungkin pula karena keterbatasan kemampuan saya, sehingga saya belum bisa mendapatkan pengertian dari yang lain. Saya bersyukur, kalau dengan ini yang lain akhirnya paham, bahwa melaksanakan ini adalah melaksanakan panggilan, melaksanakan amanat UUD ’45.

Tahun terakhir Repelita IV hendaknya benar-benar kita manfaatkan, sehingga Repelita V nanti benar-benar tinggal kita mantapkan, dan waktu kita menginjak Repelita VI nanti, kita sudah menggunakan landasan itu dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, di mana pelaku-pelaku ekonomi, terutama KUD-KUD memegang peranan penting.

Jika kita usaha dengan sungguh-sungguh, saya yakin KUD-KUD, dengan para petani di dalamnya, akan mampu berdiri dengan kukuh dan jalan dengan baik. Dan nantinya koperasi-Koperasi itu akan mampu membeli saham-saham perusahaan-perusahaan yang ada. Pemerintah bisa menentukan, supaya setiap perusahaan swasta menjual sahamnya sampai 50% kepada koperasi-koperasi unit desa itu.

Begitulah pikiran saya mengenai pemerataan dan keadilan, yang akan bisa dirasakan oleh kebanyakan rakyat kita. Dengan begitu, sistem perekonomian kita benar-benar akan sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD ’45, terdiri dari tiga pelaku: negara, koperasi dan swasta.

*

Saya masih harus bicara lagi mengenai koperasi kita itu. Koperasi harus memperhatikan hukum-hukum ekonomi yang rasional, justru agar koperasi benar-benar menjadi kekuatan ekonomi di zaman modern sekarang. Perjalanan empat puluh tahun koperasi kita sudah menempuh waktu yang cukup untuk secara berani melakukan mawas diri dan mengadakan introspeksi.

Dalam hal ini kita semua harus secara jujur, berani, secara jernih melihat kekuatan yang telah dapat kita bangun, dan sekaligus juga kelemahan-kelemahan apa yang masih kita derita. Kita harus secara jelas melihat kemajuan yang kita capai, dan bersamaan dengan itu juga melihat kekurangan-kekurangan yang masih ada. Menyadari kelemahan dan kekurangn itu justru merupakan kekuatan bagi kita untuk maju lebih lanjut, sebab kita dapat menghilangkan kelemahan dan memperbaiki kekurangan kita.

Dalam terus membangun koperasi, masalah pengelolaan, keuangan, produksi, pemasaran dan hal lainnya yang menjadi syarat bagi usaha ekonomi harus diperhatikan. Dan koperasi sebagai kekuatan ekonomi harus ikutserta dalam gerakan efisiensi dan produktivitas nasional yang sedang diusahakan bersama.

Koperasi harus benar-benar menjadi gerakan dari bawah, dari akar­akarnya masyarakat, yang tumbuh dan berkembang dengan penuh kegairahan dan semangat kemandirian. Pengalaman kita dengan PKK[2] tak ternilai harganya. Itu patut dicontoh berkenaan dengan mengembangkan koperasi. Bagaimana mulanya PKK? Saya lihat kebutuhannya yang hidup di bawah. Tapi mereka tidak tahu jalan keluarnya. Maka kita gerakkan. PKK saya nilai sebagai gerakan dari bawah yang kita beri jalan. Ternyata nilainya amat tinggi.

Saya tahu, masyarakat luas sekarang seperti meragukan, apakah koperasi dapat berkembang baik. Bahkan masyarakat melihat, koperasi kita —sementara mengalami pasang surutnya— lebih banyak surutnya daripada pasangnya. Keragu-raguan demikian jadinya memang ada alasannya. Tetapi hendaknya diingat, cita-cita memang tidak bisa dicapai secara sekaligus, perjuangan tidak bisa mencapai hasilnya dengan secara sekali jadi.

Kita harus kukuh dalam memperjuangkan hidupnya dan bangunnya koperasi kita. Ingat, ini adalah amanat UUD ’45. Tidak bisa lain, kita harus terus memperjuangkannya.

***



[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 524-530.

[2] Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.