Semangat Kebersamaan
Akbar Tandjung (Menteri Negara Pemuda dan Olahraga dalam Kabinet Pembangunan V)
Ketika PKI melancarkan Gerakan 30 September dan menculik serta membunuh pimpinan Angkatan Darat, perasaan saya pun ikut terombang-ambing, terutama sebelum diketemukannya jenazah mereka. Munculnya Panglima Kostrad Mayjen. Soeharto mengambilalih pimpinan Angkatan Darat dan keberaniannya menumpas aksi makar dan pengkhianatan PKI itu, telah melegakan seluruh masyarakat. Di tengah-tengah kegalauan situasi dan kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi, menggemanya suara Pak Harto melalui RRI pada tanggal 1 Oktober malam, tidak ubahnya seperti seberkas cahaya yang menerangi kegelapan suasana. Dari pengumuman Pak Harto di depan corong RRI itu, seluruh masyarakat merasa seolah-olah dibebaskan dari tabir yang menutup situasi.
Tampilnya Mayjen. Soeharto dari kegelapan situasi itu, betul-betul menimbulkan kesan tersendiri dalam perasaan saya. Sebagai seorang anak muda dan anggota HMI yang merasa ikut menjadi bulan bulanan PKI, adalah wajar apabila pada diri saya, dalam situasi terdesak dan sangat kritis itu, tumbuh kecenderungan untuk merindukan seorang pahlawan dan sikap kepahlawanan. Oleh karena itu, ketika menyaksikan penglepasan jenazah para Pahlawan Revolusi di halaman MBAD pada pagi hari 5 Oktober 1965, saya berusaha memperhatikan baik-baik sosok Panglima Kostrad yang, terus terang; namanya baru terngiang di relung telinga saya sejak beberapa hari sebelumnya.
Berseragam tempur warna loreng, berkacamata hitam dan tanpa senyum, Pak Harto saya lihat berdiri mendampingi Menko Hankam/Kasab Jenderal AH Nasution, yang baru saja lolos dati penculikan G-30-S/PKI. Waktu itu, di mata saya Pak Harto kelihatan sangat berwibawa. Pantas beliau mampu memulihkan dan mengendalikan suasana, demikian kira-kira pikiran yang terlintas di benak saya saat itu. lmpresi itu nampaknya bukanlah sekadar kesan sesaat yang muncul karena dorongan kepentingan yang merasa dibela dan dilindungi dari ancaman musuh yang sama PKI.
Sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan situasi, Pak Harto makin menunjukkan sosok keptibadian dan gaya kepemimpinan yang baru dan khas dalam percaturan kehidupan kenegaraan kita. Selama ini citra seorang pemimpin bangsa selalu didominasi oleh gambaran yang katismatik, penuh pesona dan gegap gempita di tengah-tengah luapan massa. Kala itu pemimpin harus mampu memukau dan menahan jubelan ratusan ribu manusia yang berdiri berjam-jam, seolah-olah tersihir oleh suatu tenaga gaib yang mempesona. Citra tersebut adalah citra yang sangat romantik dan revolusioner, yang dalam kenyataannya mampu membuat orang melupakan untuk sesaat masalah-masalah nyata yang tengah menimpa bangsa, baik berupa kegawatan ekonomi maupun kekacauan sosial dan politik.
Citra dan gaya kepemimpinan baru yang ditampilkan Pak Harto sejak pemunculannya di panggung sejarah Indonesia, sama, sekali jauh dari gambaran itu. Tidak banyak bicara, tetapi penuh dengan pemikiran dan keatifan yang ditandai oleh pertimbangan akal sehat (common sense) yang tinggi yang mampu menjawab kebutuhan dan tuntutan nyata dati masalah-masalah yang dihadapi, merupakan citi-ciri dari gaya kepemimpinan baru itu. Sikap rendah hati dan arif kiranya menjadi jiwa dari sikap diam yang tidak ba yak bicara.
Sebagai mahasiswa UI yang aktif dalam KAMI, semenjak Oktober 1965 itu, kegiatan utama saya dan rekan-rekan mahasiswa lainnya adalah berdemonstrasi menuntut agar PKI dibubarkan dan keadilan serta kebenaran ditegakkan. Tuntutan-tuntutan itu mencapai puncaknya ketika KAMI, pada tanggal 10 Januari 1966 mengumandangkan Tritura: bubarkan PKI dan organisasi-orgarnisasi massanya, turunkan harga, bersihkan Kabinet Dwikora.
Lambatnya Bung Karno sebagai Presiden/Pemimpin Besar Revolusi mengambil keputusan terhadap Tritura itu bukanlah tanda dari kehati-hatian beliau. Sikap itu lebih merupakan cermin dari keinginan untuk mengulur-ulur waktu, meredam suasana, karena memang tuntutan itu tidak sejalan dengan aspirasi dan cita-citanya, baik menyangkut “Persatuan Nasakom” maupun “Revolusi belum selesai”. Kalaupun ada keputusan dan tanggapan, hal itu lebih merupakan reaksi yang justru menganggap tuntutan mahasiswa sebagai upaya mendongkel kepemimpinannya.
Sebagai jawaban, pada tanggal15 Januari 1966 massa mahasiswa dari Jakarta, Bandung, dan Bogor melancarkan demonstrasi besar-besaran di Istana Bogor, tempat berlangsungnya sidang paripurna Kabinet Dwikora. Sambil mengantar 10 pimpinan KAMI yang diundang untuk menghadiri sidang kabinet itu, massa mahasiswa pun menyampaikan tuntutan-tuntutannya. Kohflik fisik antara massa mahasiswa dan pasukan pengawal istana, Resimen Cakrabirawa, hampir saja tak dapat dihindarkan. Massa mahasiswa tidak beranjak mundur sedikit pun, walaupun Pasukan Cakrabirawa melepaskan tembakan “salvo” secara sembrono.
Di tengah-tengah saat yang kritis, kembali Pak Harto (yang ketika itu telah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat) muncul bersama Menteri/Panglima Angkatan Laut, Laksamana RE Martadinata, dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian, Sutjipto Judodihardjo. Berdiri di atas pilar Istana Bogor, Pak Harto diterpa oleh tuntutan puluhan ribu mahasiswa yang membahana: ”Bubarkan PKI“. Dengan tegas, tapi penuh kesabaran dan ketenangan, Pak Harto menjawab: “PKI sudah bubar, pulanglah dengan tenang” .
Di luar dugaan pimpinan mahasiswa sendiri, seperti kemudian dilihatkan kepada kami, massa mahasiswa yang tadinya hiruk pikuk itu mendadak menjadi tenang dan menerima seruan Pak Harto. Mereka menjawab seruan tersebut dengan berbondong-bondong meninggalkan Istana Bogor kembali ke Jakarta sambil meneriakkan secara berulang-ulang dan gegap gempita: “PKI sudah bubar”.
Kalau didepan ribuan mahasiswa, ketenangan dan ketegaran beliau mampu mengendalikan emosi yang meluap-luap, maka yang menonjol dari sikap kepemimpinan beliau pada pertemuan-pertemuan terbatas dengan aktifis mahasiswa adalah kearifan dan akal sehat.
Ketika beliau sudah menjadi Waperdam Bidang Hankam Kabinet Dwikora yang disempurnakan, dalam suatu pertemuan (yang juga saya hadiri sebagai pimpinan Yon Yani Lasykar Ampera Arief Rachman Hakim), Pak Harto memberikan pandangannya dan mengajak kami berpikir jauh ke depan.
Dalam pertemuan itu beliau mengungkapkan keprihatinan beliau akan aksi-aksi mahasiswa yang seolah-olah tidak ada hentinya sampai-sampai mendapat julukan “Parlemen Jalanan”. Padahal waktu itu Pak Harto sedang menata kembali sendi-sendi dasar kehidupan kita berbangsa dan bernegara, sementara mahasiswa pun sudah mulai pula kembali ke bangku kuliah. Antara lain Pak Harto berkata:
”…Kalau kalian berdemonstrasi terus-terusan, tuntutan kalian untuk memperbaiki keadaan ekonomi tidak akan tercapai. Maka itu, marilah kita ciptakan ketenangan dan ketertiban agar Pemeritah dapat menunaikan tugasnya sebaik-baiknya”.
Nasihat beliau itu sangat logis, sehingga mampu membuat yang hadir terdiam memikirkan kebenarannya. Kami disadarkan oleh kebenaran itu, agar tidak terlena dan mabuk oleh rasa kepahlawanan yang akhirnya dapat membuat kami lupa akan tugas utama, yaitu menyelesaikan studi dan terhindar dari kecenderungan menjadi “demonstran profesional”, sebagaimana yang dikuatirkan banyak pihak pada waktu itu.
Sebagai kelanjutan aksi-aksi mahasiswa pada awal kebangkitan Orde Baru dengan Trituranya, kepedulian mahasiswa akan keadaan masyarakat sekitarnya masih tetap melekat. Oleh karena itu maha siswa memberikan perhatian terhadap masalah korupsi, sebagai penyakit sosial yang dirasakan sangat meyakitkan hati rakyat, kendati sudah ada Tim Pemberantas Korupsi. Dalam hubungan ini, sekitar tahun 1970, mahasiswa kembali mengadakan aksi di Jakarta; melalui Komite Anti Korupsi (KAK) mereka menuntut agar korupsi secepat mungkin diberantas. Kehadiran KAK yang dibantu oleh gencarnya pemberitaan oleh media-massa lbukota itu memang cukup menyibukkan pemerintah.
Menghadapi aksi-aksi ini Pak Harto ternyata cepat tanggap; beliau berkenan menerima para mahasiswa untuk berdialog tentang upaya pemberantasan korupsi. Sebagai salah seorang eksponen KAK waktu itu, saya dapat merasakan betapa Pak Harto sangat antusias dan dengan penuh kearifan ”mau mendengarkan” suara para mahasiswa yang menghadapnya. Bahkan Pak Harto berkenan “membuka praktek” setiap hari Sabtu, menerima keluhan masyarakat luas, khususnya mengenai terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintah. Sikap seperti ini menunjukkan perhatian beliau terhadap aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari bawah.
Sikap tanggapPak Harto dalam menanggapi tuntutan mahasiswa itu antara lain tercermin dalam pembentukan Komisi Empat. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo SH, dengan anggota yang terdiri atas IJ Kasimo, Prof. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto, ditambah dengan Dr. Moh. Hatta sebagai penasihat. balam Keppres no. 12/1970 ditetapkan bahwa Komisi Empat bertugas memberikan saran kepada Presiden tentang cara-cara pemberantasan korupsi. Sikap tanggap yang demikian juga terlihat didalam Keppres no. 52/ 1970 tentang wajib daftar kekayaan bagi pejabat tinggi golongan IVIc ke atas dan perwira tinggi ABRI. Sikap tanggap ini mendapat bentuk yang lebih tegas lagi ketika kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 3/1971 tentang pemberantasan korupsi.
Jadi, Pak Harto senantiasa tanggap serta mau mendengarkan keluhan masyarakat terhadap korupsi dan berbagai jenis penyelewengan lain. Beliau selalu berusaha untuk memperbaiki serta meningkatkan daya guna dan hasil guna aparatur pemerintah. Dan sikap ini tetap dipertahankan sampai sekarang.
Kesan lain yang juga sangat membekas pada diri saya tentang Pak Harto adalah besarnya perhatian beliau terhadap generasi muda. Sebagai salah seorang aktifis pemuda yang sejak awal mengikuti dan terlibat dalam proses pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) pada tahun 1973, saya sudah merasakan betapa besar perhatian dan harapan Pak Harto kepada Pemuda Indonesia.
Sebagai kelanjutan dari tradisi kehidupan pemuda zaman Orde Lama, semangat terkotak-kotak mengikuti pola aliran dan semangat kesetiaan sempit atau primordial kembali tumbuh subur pada awal dekade 1970-an. Semangat persatuan dan kesatuan pemuda yang tadinya nampak begitu kuat dan kental pada waktu demonstrasi Tritura di tahun 1966, kini seolah-olah hilang begitu saja.
Organisasi-organisasi pemuda seolah-olah pulang kembali ke induknya masing-masing, menjadi “onderbouw” kekuatan sosial politik seperti pada masa Orde Lama. Rupanya persatuan dan kesatuan dalam kesatuan-kesatuan aksi seperti KAMI, KAPPI, dan KAPI, lebih merupakan persatuan yang bersifat sementara, yang tumbuh hanya karena didorong oleh semangat untuk menentang “musuh bersama”. Begitu “musuh bersama” itu menghilang dari peredaran zaman, maka ikatan persatuan itu mengendor, bahkan bubar, kembali seperti sediakala. Agaknya, organisasi kepemudaan belum siap menghadapi perubahan yang sedang terjadi, sekalipun mereka sendiri turut memunculkan perubahan itu.
Orde Baru telah bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dan melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Namun dalam kenyataannya, tidak setiap pemuda dan organisasi pemuda menyambut perubahan yang dibawa situasi baru itu dengan tekad dan sikap yang sama. Bahkan tidak sedikit yang menanggapinya dengan semangat dan pola pikir lama. Mereka menentang dan anti terhadap setiap hal yang datang dari pemerintah Orde Baru, sehingga potensi pemuda yang begitu besar terbuang secara sia-sia, habis dalam pertengkaran yang tidak jelas ujung pangkalnya. Pertengkaran itu tampaknya hanyalah sekadar media untuk memuaskan “egosentrisme” dan gengsi serta kebanggaan diri yang tidak jelas maknanya.
Untunglah, di tengah-tengah suasana seperti itu, beberapa eksponen pemuda, yang kemudian dikenal sebagai Eksponen ’66, tidak tinggal diam. Mereka mengambil prakarsa melakukan dialog dan diskusi yang lebih intensif agar pemuda dapat kembali memainkan peranan penting dalam proses pembangunan bangsa, sebagaimana yang dilakukan oleh•para pemuda pad a zaman perintis kemerdekaan serta zaman merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Begitulah, setelah melalui pergulatan pemikiran yang melelahkan, akhirnya Eksponen ’66 berhasil melahirkan tekad dan kesepakatan pemuda, yaitu dengan ditandatanganinya’ Deklarasi Pemuda Indonesia pada tanggal 23 Juli 1973.
Deklarasi ini menandai dan mengantarkan munculnya babak baru peranan pemuda Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk lahirnya KNPI. Dengan singkat dan padat, deklarasi ini merumuskan tanggapan pemuda terhadap cita-cita dan tekad Orde Baru dalam slogan:“Pemuda, Pembangunan dan Masa Depan”. Pemuda dan pembangunan adalah masa depan itu sendiri Mempersiapkan pemuda melalui pembangunan berarti membangun masa depan, akan tetapi turut sertanya pemuda dalam pembangunan juga menentukan keberhasilan tersebut.
Pak Harto sangat gembira dengan perkembangan baru ini. Kegembiraan itu agaknya karena prakarsa tersebut justru datang dari kesadaran pemuda sendiri, dan bukan dari yang lainnya. Dan secara konsisten Pak Harto tidak jemu-jemunya mengulang dan menyadarkan pemuda Indonesia akan tugas-tugas dan tanggungjawab sejarahnya. Tidak bosan-bosannya Pak Harto membangkitkan semangat dan kesadaran pemuda serta menunjukkan jalan hidup yang seharusnya mereka tempuh. Kegigihan beliau itu, kiranya bertolak dari keyakinan bahwa masa depan adalah miliknya kaum muda. Pemuda hari ini akan menjadi manusia Indonesia dan pemimpin Indonesia masa depan. Karena itu pemudalah sebagai generasi penerus yang paling berkepentingan dengan pembangunan masa depan itu. Dengan perkataan lain, tanggungjawab untuk membangun Indonesia di masa depan, berdasarkan Pancasila, yang maju dan modern, mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa maju lainnya, adalah tanggungjawab generasi penerus.
Besarnya harapan dan perhatian Pak Harto kepada generasi muda, tidak hanya ditunjukkan beliau melalui anjuran dan himbauan saja. Pada tahun 1978, setelah Sidang Umum MPR merumuskan GBHN, beliau memandang sudah waktunya untuk membentuk lembaga Menteri Muda Urusan Pemuda dalam Kabinet Pembangunan. Lembaga Menteri Muda Urusan Pemuda inilah yang kemudian menyusun kebijaksanaan nasional tentang kepemudaan secara menyeluruh dan terpadu sebagaimana ditugaskan oleh GBHN. Bahkan kemudian, dalam Kabinet Pembangunan IV, lembaga itu ditingkatkan beliau menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga.
Sampai dengan selesainya masa bakti Kabinet Pembangunan IV itu, semua kesan yang saya dapat tentang Pak Haro lebih banyak secara tak langsung. Kalaupun ada yang bersifat langsung, itupun saya terima dalam kedudukan dan tanggungjawab yang sama seperti umumnya warganegara lainnya. Pengalaman lain yang semakin memperkaya kesan dan wawasan saya tentang kepemimpinan Pak Harto adalah ketika saya mendapat kesempatan menghadap beliau pada tanggal 2 Maret 1988 di Istana Negara.
Sebagai Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan (FKP) di MPR ketika itu, saya mendampingi Ketua dan Wakil Ketua FKP, Bapak RH Sugandhi dan Ir. Sarwono Kusumaatmadja, berkonsultasi dengan Pak Harto sehubungan dengan maksud FKP untuk mencalonkan kembali beliau menjadi Presiden RI masa bakti 1988-1993. Selain menyampaikan niat itu, yang sebenarnya sudah menjadi keinginan seluruh masyarakat jauh sebelum Sidang Umum MPR, Fraksi Karya Pembangunan MPR juga membicarakan dengan Pak Harto tentang siapa yang kiranya pantas menjadi pendamping beliau sebagai Wakil Presiden.
Keteguhan Pak Harto pada semangat untuk menghormati prinsip konstitusional nampak sekali ketika beliau menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Pimpinan FKP itu. Beliau dengan tegas mengatakan bahwa wewenang untuk mengangkat Wakil Presiden ada di tangan Majelis. Beliau merasa tidak mempunyai hak untuk memilih, apalagi mengangkatnya. Oleh sebab itu beliau tidak menyebutkan sesuatu nama, melainkan justru melemparkan lima kriteria yang seyogianya menjadi tolok ukur calon Wakil Presiden. Kelima kriteria itu adalah bersikap mental serta berideologi Panca sila dan UUD 1945; memiliki integritas pribadi; cakap; mempunyai prestasi yang dibuktikan dengan karya; dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat yang dinyatakan dengan dukungan kekuatan sosial politik yang dominan.
Dengan kriteria itu Pak Harto telah menunjukkan sikap kenegarawanan beliau yang sangat demokratis. Beliau tidak mau apabila ketentuan untuk memilih Wakil Presiden itu didasarkan pada sikap like and dislike, senang atau tidak senang terhadap sese orang. Kemudian ternyata bahwa kriteria ini juga disampaikan beliau kepada fraksi-fraksi MPR lainnya.
Kesan saya terhadap sikap kenegarawanan Pak Harto yang sangat demokratis itu semakin mantap lagi, setelah beberapa hari kemudian beliau memberikan pendapat ketika ditanyakan tentang masalah pemilihan Wakil Presiden itu oleh Pengurus Yayasan 17 Agustus 1945. Pak Harto menyarankan agar Wakil Presiden dipilih dengan suara bulat, dengan cara menghindari voting (pemungutan suara), sekalipun pemungutan suara itu dibolehkan oleh UUD 1945. Dalam pandangan beliau, pemungutan suara hanya menunjukkan ketidakmampuan kita mencapai mufakat melalui musyawarah sebagai upaya mempertemukan perbedaan pendapat sesuai dengan semangat Demokrasi Pancasila yang menjadi landasan dan tuntutan kita dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dengan perkataan lain, diatas semangat kebebasan untuk berbeda pendapat yang ditunjukkan oleh voting itu, maka Demokrasi Pancasila memandang bahwa inti semangat demokrasi adalah keselarasan. Dengan demikian kebebasan individu tidaklah bersifat mutlak, melainkan harus senantiasa diselaraskan dengan tanggungjawab sosial. Didalam kebebasan itu harus selalu melekat dengan sendirinya tanggungjawab terhadap kepentingan umum dan kepentingan bersama.
Pandangan dan keyakinan Pak Harto tentang semangat kebersamaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan yang lebih mementingkan keselarasan hak individu dengan tariggungjawab sosial itu lebih-lebih lagi menumbuhkan rasa kagum dan hormat saya terhadap kepemimpinan Pak Harto. Di atas ketentuan formalitas, beliau juga memandang pentingnya semangat yang menjiwai ketentuan itu, sekalipun ketentuan formalitas itu menguntungkan beliau.
Pada pemilihan Wakil Presiden misalnya, Tap MPR Nomor II/MPR/1973 jelas-jelas mencantumkan sebagai suatu keharusan bahwa Presiden harus dapat bekerjasama dengan Wakil Presiden. Bahkan ditetapkan pula bahwa Wakil Presiden harus menyatakan kesanggupannya bekerjasama dengan Presiden secara tertulis. Jika hanya ketetapan ini saja yang beliau jadikan pegangan, maka dengan rnudah masalah itu dapat dipecahkan. Namun beliau dengan teguh berpegang pada prinsip konstitusi, sehingga menghimbau fraksi-fraksi agar melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat bulat. Apalagi beliau yakin bahwa karena seluruh fraksi sudah menerima Eka Prasetia Pancakarsa, maka mereka akan sanggup mengorbankan kepentingan diri dan golongan demi kepentingan negara dan bangsa:
Saya sungguh sangat beruntung dapat mendengar serta mengikuti sendiri pandangan dan sikap Pak Harto menyangkut masalah pemilihan Wakil Presiden itu. Pandangan beliau sungguh merupakan pelajaran sangat berharga yang memperkaya wawasan serta semakin mengokohkan kepercayaan dan keyakinan saya terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Terutama, ia berkenaan dengan niJai demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta nilai persatuan dan kesatuan.
Selain pengalaman sebagai Sekretaris FKP dalam Sidang Umum MPR 1988 tersebut, masih dalam bulan yang sama, saya pun mendapat pengalaman yang secara pribadi sangat mempengaruhi dan menentukan perjalanan hidup saya selanjutnya. Pada pertengahan bulan Maret 1988, saya menerima telepon dari ajudan Presiden agar datang menghadap Bapak Presiden di Jalan Cendana. Berbagai macam perasaan dan pikiran hinggap pada saya. Namun diatas segala perasaan dan pikiran itu, inilah kesempatan pertama bagi saya secara khusus diterima menghadap Bapak Presiden. Kiranya hal ini yang sedikit banyak menimbulkan kegalauan perasaan itu. Perasaan saya campur aduk, antara rasa bangga dengan was-was mengenai apa yang akan disampaikan Pak Harto kepada saya.
Barulah di tempat kediaman Bapak Presiden semua pertanyaan yang pernah melintas di benak saya terjawab dengan jelas. Saya diterima Pak Harto bersamaan dengan Ir. Siswono Judohusodo, yang juga salah seorang rekan saya sebagai fungsionaris DPP Golkar. Pak Harto menjelaskan kepada kami berdua tentang tugas tugas yang diberikan kepada beliau sebagai Mandataris MPR sebagaimana digariskan GBHN 1988. Untuk melaksanakan amanat rakyat itu, maka adalah menjadi tugas Presiden untuk menyusun Kabinet Pembangunan V dan menunjuk pembantu-pembantu beliau dalam kabinet tersebut.
Khusus kepada saya, Pak Harto menjelaskan tugas-tugas pembinaan dan pengembangan generasi muda serta pembinaan olahraga kita. Kembali beliau mengingatkan pentingnya arah, tujuan serta fungsi dan peranan pembinaan generasi muda kita bagi pembangunan bangsa dan negara. Begitu pula dengan bidang olahraga. Beliau menegaskan bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga sangat besar peranannya, baik dalam membangun manusia pembangunan maupun sebagai bagian dari upaya untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Bahkan beliau mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan olahraga, yang ditunjukkan oleh prestasi olahragawan kita, sangat menentukan harkat dan martabat serta kebanggaan bangsa dan negara di arena pergaulan antar bangsa.
Setelah menguraikan seluruh ruang lingkup tugas-tugas itu secara jelas, sistematis, danterarah, pada akhirnya Pak Harto menutup pembicaraan beliau dengan mengatakan bahwa saya ditunjuk dan diangkat oleh beliau sebagai pembantu beliau untuk melaksana kan tugas-tugas dan tanggungjawab pembinaan dan pengembangan generasi muda dan olahraga. Tegasnya, sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah raga dalam Kabinet Pembangunah V.
Terharu dan bangga, barangkali itulah kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan saya saat itu. Saya terharu atas kepercayaan yang demikian besar yang dilimpahkan Pak Harto kepada. saya. Akan tetapi saya juga bangga, karena dari sekian banyak aktifis organisasi kemasyarakatan, khususnya KNPI, Pak Harto memilih saya sebagai pembantu beliau di bidang pembinaan pemuda dan olahraga tersebut.
Namun bersamaan dengan rasa haru dan bangga itu, secara perlahan-lahan terbersit pula perasaan lain, yaitu apakah saya mampu melaksanakan tugas yang demikian besar dan berat itu? Akhirnya, setelah dapat menguasai perasaan-perasaan itu, saya menyadari bahwa inilah pilihan dan kesempatan yang diberikan nasib kepadasaya. Karenanya, tantangan berat namun mulia itu sekaligus juga merupakan kesempatan bagi saya untuk membuktikan diri dapat berbuat sebaik-baiknya bagi bangsa dan negara. Dengan kesadaran itu, saya pun membulatkan tekad dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar saya senantiasa diberi-Nya kekuatan untuk melaksanakan amanat Pak Harto tersebut.
Sebagai pembantu beliau adalah wajar apabila saya selalu berusaha melaksanakan petunjuk-petunjuk Pak Harto dalam melaksanakan tugas dan tanggunjawab yang beliau amanatkan kepada saya. Wajar pula kiranya bahwa bilamana saya menemui halangan ataupun hambatan yang sulit saya atasi sendiri didalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, saya menghadap beliau untuk mendapatkan pettinjuk petunjuk selanjutnya.
Dalam hal ini adalah sangat membesarkan semangat saya, bahwa setiap saya menghadap, beliau selalu tanggap terhadap perkembangan keadaan dan masalah yang saya laporkan. Dengan sabar dan penuh sikap kebapakan beliau mendengarkan sebelum beliau memberikan pandangan dan penilaian, yang dilanjutkan dengan petunjuk-petunjuk jalan keluarnya.
Akhirnya, banyaknya pengalaman dan tingginya kesadaran serta besarnya tanggungjawab beliau terhadap keselamatan dan kesejahteraan bangsa dan negara, kiranya telah melahirkan kearifan yang mendalam pada beliau dalam menghadapi setiap permasalahan. Oleh karena itu, diatas segala ketaatan terhadap setiap aturan perundang-undangan, Pak Harto senantiasa menganjurkan kepada pembantu-pembantunya agar selalu melandasi tindakan pada semangat kebersamaan. Hal itu nampak dalam penghargaan beliau yang tinggi kepada prinsip konstitusional dan kepada kemampuan untuk selalu mengadakan koordinasi, bahkan keterpaduan dalam melaksanakan kebijaksanaan nasional oleh pembantu-pembantu beliau.
Menurut pandangan beliau, kita harus menyadari bahwa sebagai manusia kita ditakdirkan penuh dengan kekurangan dan kelemahan, selain memiliki kelebihan dan kekuatan. Oleh karena itu, menurut Pak Harto, hanya dengan kerjasama dan semangat kebersamaan kita dapat memperkecil kelemahan dan kekurangan serta memperkuat kelebihan dan kekuatan. Sepanjang pengalaman saya sejak melihat, mendengar, membaca, dan akhirnya mengenal Pak Harto dari dekat, kiranya kearifan beliau inilah yang menimbulkan kesan yang paling mendalam pada diri pribadi saya.
***
_____________
Akbar Tandjung, “Semangat Kebersamaan”, dikutip dari buku “Di Antara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun” (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009), hal 411-422. Red: Menang Tanpa Ngasorake (Jawa): “Menang tanpa pihak lawan merasa terkalahkan/terendahkan/terlecehkan”.