Jakarta, 23 September 1998
Kepada
Mantan Presiden RI ke-2
Jenderal Besar Purn.
di Jakarta
BAPAK BERLAKU ARIF [1]
Dengan hormat,
Saya seorang pengagum Bapak Soeharto. Adanya hujatan-hujatan pada Bapak yang tidak henti-hentinya akhir-akhir ini sangat menyakitkan hati saya, dengan tidak mengabaikan Bapak sebagai manusia yang tidak sesempurna Nabi kita.
Saya alumni Fakultas Ekonomi VI tahun 1967 angkatan 66, sekarang pensiunan salah satu Bank Pemerintah.
Saya masih ingat ketika hari Sarjana VI 1967, Bapak Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera menghadiri pertemuan tersebut di halaman depan aula Salemba 4. Waktu upacara berlangsung turun hujan lebat, dan Bapak kena percikan hujan dan tetap tenang mengikuti upacara sampai selesai. Saya bersyukur sekali ada Bapak Soeharto sebagai Panglima Kostrad yang menumpas G.30.S/PKI. Seandainya Bapak tidak mengambil alih pimpinan TNI Angkatan Darat, entah apa jadinya Republik yang kita cintai ini.
Selama kepemimpinan Bapak banyak sekali hal-hal yang sangat membanggakan saya sebagai warga negara. Telah banyak pembangunan baik phisik maupun religius terutama Islam. Begitu juga bidang militer. Sebagai contoh saya masih ingat betul langkah-langkah yang Bapak lakukan untuk mencopot Letjen KKO Hartono sebagai Panglima KKO dan Wakil KASAL saat itu sangat pro Bung Karno, yang terkenal dengan ucapannya, “Hitam kata Bung Kamo hitam kata KKO dan putih kata Bung Karno putih tindakan KKO”. Kalau Bapak tidak arif dan hati-hati betul saat mencopot Jenderal Hartono mungkin terjadi sesuatu antara KKO/AL dengan Angkatan Darat.
Sekarang ada tulisan di Mass Media yang menyatakan bahwa G.30.S/PKI skenarionya adalah Soeharto. Saya sangat jijik membacanya. Kemungkinan besar itu adalah antek-antek PKI dan PNI ASU.
Kalau kebebasan seperti sekarang diikuti dengan kemerosotan ekonomi dan rakyat makin miskin tidak bisa diatasi oleh pemerintah, PKI akan muncul lagi. Sebagai sumber kupasan mengenai PKI akhir-akhir ini tepat sekali tulisan Letjen Agum Gumelar “Komunis tak pemah menyerah” dalam majalah SENA No.9 tahun VIII tanggal 30 September 1998 dengan sampul luar Awas Komunis Bangkit Lagi.
Saya menyesali kenapa Bapak tidak menggunakan hak-hak istimewa Bapak sebagai presiden/mandataris MPR untuk mengatasi persoalan yang kacau di tanah air. Kalau Bapak menggunakannya, akibatnya tidak seperti saat ini.
Saya menulis surat ini kepada Bapak dengan penuh kesadaran dan tetap menghormati Bapak sebagai mantan presiden ke-2 RI dan Jenderal besar berbintang 5 dan hanya ada 2 (dua) di Indonesia.
Akhirnya saya sebagai seorang muslim mendoakan agar Bapak diberi iman yang tegar dalam menghadapi hujatan-hujatan terhadap Bapak dan keluarga Bapak.
Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan yang baik dan usia lanjut kepada Bapak sebagai mantan presiden RI ke-2.
Terima kasih atas kesediaan Bapak membaca surat saya ini. Saran saya kalau Bapak diundang menghadiri Hari ABRI tanggal 5 Oktober 1998 pakailah pakaian militer lengkap bintang 5. (DTS)
Hormat saya,
H.A. Rafli Nurham
Duren Sawit – Jakarta
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 184-185. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.