Sragen, 1 Juli 1998

Kepada

Yth. Bapak H.M. Soeharto

di Wisma Cendana

SIAPA YANG SALAH, PAK? [1]

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saya hanya rakyat biasa yang tidak begitu mengenal dunia politik maupun ekonomi. Tetapi saya rajin mengikuti perkembangan dunia, terutama negara Indonesia tercinta. Sebagai rakyat, saya bangga kepada Bapak selama menjadi pemimpin bangsa dan Negara. Banyak kemajuan yang kami nikmati dan rasakan.

Melihat TV pada acara pengunduran diri Bapak sebagai Presiden, saya menangis. Saya trenyuh dan merasa kehilangan seorang Bapak. Apalagi prosesnya karena didesak masa.

Setelah Bapak mengundurkan diri, keadaan ekonomi semakin menggila. Harga-harga bersaing ke atas, sehingga tak terjangkau oleh kaum bawah. Orang-orang desa sangat merasakan hidup yang sulit saat ini. Contoh saja ya Pak, harga sebuah buku tahun lalu Rp 500,­sekarang menjadi Rp 3.000,-. Dalam hal ini siapa yang salah ya Pak? Belum lagi harga minyak, gula dan lain-lain. Dengan segala kerendahan hati, saya memohon kepada Bapak Soeharto kiranya berkenan memberi bantuan kepada kami. Bantuan apapun akan kami terima sekaligus akan menjadi kebanggaan yang tak terlupakan sampai kapanpun.

Kami berharap semoga keadaan ini akan berubah, walau entah sampai kapan. Semoga juga Bapak berkenan memberi petunjuk (walaupun sekarang tidak berhak) kepada Bapak-Bapak pemimpin supaya jangan berjalan sendiri-sendiri, tetapi bersatulah demi negara Indonesia. (DTS)

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Hormat saya,

Sumini

Jawa Tengah

[1]       Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 603-604. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.