Palembang, 23 September 1998
Kepada
Yth. Bapak H. Soeharto beserta keluarga
di Jakarta
BADAI PASTI BERLALU [1]
Assalamu’ alaikum wr. Wb.
Sebagai rasa simpati dan hormat kepada Bapak sekeluarga, sehubungan dengan berita yang kami monitor dari TV dan surat khabar, kami sebagai warga negara RI yang berprofesi sebagai PNS kecil di daerah, tetap bersimpati. Kami mengharap dan berdoa ke hadirat Allah Swt, semoga Bapak beserta seluruh keluarga tetap tegar dan tabah serta selalu dalam lindungan-Nya. Kami yakin badai ini pasti akan segera berlalu.
Kami secara pribadi tetap mengakui kepribadian Bapak sebagai seorang pengayom bangsa, Bapak Pembangunan yang berhasil membawa bangsa Indonesia dari jurang yang gelap ke puncak yang terang. Gambar Bapak yang berukuran besar masih tetap saya pajang di atas dinding di ruangan kerja saya, di kantor Kelurahan.
Badai yang menerpa kehidupan Bapak sekeluarga merupakan usaha segelintir manusia yang haus dan rakus yang ingin berkuasa dengan mengatasnamakan rakyat kecil yang tak tahu apa-apa dengan menggunakan mahasiswa yang masih hijau dalam percaturan politik di negara ini.
Semua cuma pandai berbicara tanpa ada upaya nyata untuk berbuat sesuatu mengatasi kemelut yang terjadi, terutama masalah sembako dan keamanan.
Terimalah salam hormat kami. Tak ada yang dapat kami bantu kecuali harapan dan doa, semoga Bapak sekeluarga selalu dalam lindungan Allah Swt. Amin. (DTS)
Hormat saya,
Syaiful Bakhri
Palembang
[1] Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 616. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto mengundurkan diri. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.