PRESIDEN RI BERTANGGUNG-JAWAB KPD MPR ’71 ATAU MPR ’77? [1]
Oleh: Tarmizi Rosen SH __ FHUNAND
Jakarta, Sinar Harapan
Permasalahan pertanggunganjawab Presiden kpd MPR akhir2 ini merupakan problema yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Berbagai-bagai tanggapan dan pandangan diketengahkan yang masing2nya sama-sama mempunyai alasan dalam menunjang pendapat mereka. Ada yang berpendapat Presiden harus memberikan pertanggungan jawab kepada MPR hasil Pemilu ’71, oleh karena MPR inilah yang memilihnya. Dengan arti adalah logis MPR yang memilih dan seterusnya kepadanya disampaikan pertanggungan jawab.
Memperhatikan masa jabatan Presiden yang sekarang ini dimana dinyatakan selama lima tahun (pasal 7 UUD) maka akan berakhir kira2 bulan Maret 1978. Oleh sebab Presiden dipilih oleh MPR hasil Pemilu ’71 pada bulan Maret 1973. Jadi berarti bahwa Presiden baru akan memberikan pertanggungan jawabnya pada bulan Maret 1978 dan sudahjelas kepadaMPR ’77, disebabkan pada masa tersebut MPR ’71 sudah digantikan oleh MPR hasil Pemilu 1977.
Sebelum kita sampai pada jawaban mengenai masalah kepada MPR mana Presiden memberikan pertanggungan jawabnya ada baiknya dan tentu harus diperhatikan ketentuan yang mengaturnya, baik ketentuan yang terdapat didalam UUD 45 berikut penjelasannya maupun ketentuan2 pada ketetapan2 MPR.
Didalam pasal 1 ayat2 UUD menyebutkan;
“Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Kedaulatan disini berarti bahwa wewenang yang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam negara. Jadi jelaslah menurut UUD bahwa rakyatlah yang mempunyai wewenang tertinggi danmenentukan melalui MPR dinegara R.I. ini.
Sejalan dengan maksud ini didalam Penjelasan UUD, tentang sistim Pemerintahan angka III dijelaskan bahwa Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara dan tunduk serta bertanggungjawab kepada Majelis. Ia adalah “mandataris” dari Majelis, dan wajib menjalankan putusan2 Majelis.
Untuk terjelmanya wakil2 rakyat sebagaimana dimaksudkan UUD, kita telah menyelenggarakan dua kali Pemilu, pertama pada 3 Juli ’71, kedua tanggal 2 Mei 1977.
Pemilihan tersebut dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk didalam Lembaga perwakilan seperti, MPR, DPR, DPRD baik: tk. I maupun tk. II. MPR ini terdiri dari anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah2 dan golongan2 menurut aturan yang ditetapkan Undang2.
Oleh karena pertanggung-jawab yang akan diberikan Presiden (dipilih MPR) bam untuk pertama kali, sedangkan pengaturannya didalam Ketetapan2 MPR sendiri kurang jelas dan tegas, hal inilah yang mungkin menimbulkan perbedaan2 pendapat dikalangan masyarakat. Sebetulnya disamping kepada MPR mana Presiden harus bertanggungjawab, juga mengenai arti pertanggungan-jawab itu sendiri yang kurang jelas.
Tanggung-jawab berarti pertanggungan-jawab Presiden/Mandataris secara keseluruhan selama ia memegang dan menjalankan roda Pemerintahan.
Menurut UUD 1945 kekuasaan Presiden dapat dibagi dalam tiga hal:
- dalam bidang eksekutif
- dalam bidang legislatif dan
- sebagai Kepala Negara (Moh. Kusnardi SH dan Harmaily Ibrahim SH; Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia hal, 93. 1976). Tentunya mengenai hal ini juga termasuk tanggung-jawab dalam arti secara keseluruhan yang disampaikan Presiden kepada MPR.
Sejarah telah mencatat bahwa dulu Presiden Soeharto pemah memberikan pertanggungan-jawabnya dalam Rapat Paripurna 12 Maret 1973 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1973. Dan MPR (71) menerima baik pertanggungan-jawab tersebut.
Dari pendapat2 yang timbul tadi a.l disampaikan oleh Menteri Sekneg (Harian Sinar Harapan, 7 Juli 1977) yang mengatakan bahwa lebih objektif jika Presiden memberikan pertanggungan-jawabnya sebagai mandataris MPR bulan Maret.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan dinamik yang hidup dalam masyarakat yang selanjutnya tanggung-jawab tersebut merupakan salah satu faktor yang menentukan terpilih-tidaknya kembali ia menjadi Presiden.
Dan baru2 ini Presiden sendiri menyampaikan pesan dari Kuala Lumpur (7 Agustus 1977) bahwa beliau akan memberikan pertanggungan jawabnya kepada MPR 77.
Dengan memperhatikan pasal 9 UUD; “Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat…… dst”. Dan juga didalam penjelasan UUD angka VII, bahwa kedudukan DPR adalah kuat.
Dewan ini tidak bisa dibubarkan Presiden. Anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR. Oleh karena itu DPR senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan Negara yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan-jawab kepada Presiden.
Selama ini belum ada atau pemah suara2 dari DPR tentang hal2 yang diterangkan dalam penjelasan UUD angka VII tersebut diatas.
Kesimpulan dan Saran
Setelah penulis melihat dasar hukum dari pertanggungan-jawab Presiden dewasa ini sebagaimana telah diketengahkan sebelumnya, maka untuk saat ini penulis berpendapat bahwa pertanggungan-jawab Presiden boleh atau dapat diberikanbaik kepada MPR hasil Pemilu 71 atau kepada MPR 77.
Sebagai saran kepada MPR 77, adalah agar supaya MPR ini untuk selanjutnya mengatur tentang pertanggungan-jawab Presiden R.I. dgn jelas dan selengkap2nya.
Sumber: SINAR HARAPAN (29/08/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 408-410.