PRESIDEN KELUARKAN PERPU NO. 1/1984 PELAKSANAAN UU PPN 1984 DITANGGUHKAN
Presiden Soeharto Sabtu kemarin memutuskan menangguhkan pelaksanaan UU No. 8/1983 UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang sedianya mulai berlaku 1Juli 1984 menjadi sampai selambat-lambatnya 1 Januari 1986.
Keputusan ini diumumkan Mensesneg Sudharmono bersama Menmud Sekretaris Kabinet Moerdiono kemarin siang seusai pertemuan konsultasi Presiden Soeharto dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Keputusan tertuang dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Perpu No. 1/1984.
Menurut Mensesneg, penangguhan masa berlakunya UU PPN 1984 itu disebabkan belum siapnya berbagai pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan UU tadi, mulai 1 Juli, baik aparatur perpajakan sendiri maupun masyarakat, terutama pengusaha yang terkena pajak tersebut.
Sekalipun sejak UU itu ditetapkan akhir tahun lalu segala upaya untuk mewujudkan kesiapan pelaksanaannya telah dilakukan, namun dinilai upaya ini masih perlu ditingkatkan. Sehingga nantinya tidak akan timbul beda interpretasi dalam pelaksanaannya dan sebagainya.
Sudharmono menjelaskan, mengingat UU PPN 1984 mempunyai peranan, jangkauan dan pengaruh besar terhadap perkembangan perekonomian dan pembangunan nasional, maka penundaan tadi dinilai lebih baik daripada dipaksa untuk dijalankan pada 1 Juli 1984, meskipun penundaan itu sendiri membawa konsekuensi terhadap rencana pendapatan negara yang direncanakan untuk tahun anggaran sekarang.
Sebab bila tetap dijalankan sementara persiapan belum matang, sangat dikhawatirkan akan dapat menimbulkan gangguan terhadap stabilitas dan pelaksanaan pembangunan pada umumnya.
"Seperti yang dirasakan belakangan ini dengan naiknya harga barang-barang menjelang 1 Juli," kata Mensesneg.
Perpu No 1/1984
Menurut Sudharmono, mengingat keputusan penangguhan itu berarti mengubah isi suatu UU, maka perubahan itu pun seharusnya ditetapkan pula dengan UU, atau peraturan lain yang dimungkinkan UUD 1945.
Tetapi mengingat tanggal 1 Juli sudah begitu dekat, maka sempit sekali waktu untuk menyiapkan Undang-Undang baru. Secara konstitusional, Presiden memang berhak mengeluarkan Perpu.
Pengganti UU perpu No 1/1984 yang isi pokoknya menangguhkan mulai berlakunya UU PPN 1984 dari 1 Juli 1984 sampai selambat-lambatnya 1 Januari 1986.
Secara konstitusional, Presiden memang berhak mengeluarkan Perpu sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, yaitu Pasal 22 ayat 1, yang berbunyi "Dalam hal-ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti UU".
Menurut ayat, Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, sedang ayat 3 menyatakan jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
Mensesneg mengingatkan Perpu ini dikeluarkan karena keadaan memang mendesak dan selama ini pun Presiden Soeharto baru pernah sekali mengeluarkan Perpu karena alasan sama, sempitnya waktu, yaitu suatu Perpu tentang bintang jasa yang kemudian juga terus dimintakan persetujuan DPR.
Usulan konsultasi dengan pimpinan DPR kemarin. Presiden juga meminta agar Perpu No 1/1984 ini mendapat prioritas pembahasan begitu DPR bersidang lagi sesudah reses yang dimulai 24 Juni nanti.
Semua fraksi hendaknya segera menyiapkan diri Pimpinan DPR yang hadir kemarin adalah Ketua H. Amir Machmud dengan para Wakil Ketua H. Amir Moertono, H. Nuddin Lubis dan H. Hardjantho Sumodisastro, sedang Wakil Ketua M. Kharis Suhud tidak dapat hadir.
Menurut Sudharmono, pimpinan DPR menyatakan dapat memahami dikeluarkannya Perpu itu dan mengakui hal ini adalah konstitusional mereka pun menyatakan DPR akan menangani secepatnya Perpu itu sesuai ketentuan konstitusi pula.
Pengaruhi Pemasukan
Mensesneg menegaskan, dalam Perpu No 1/1984. isi UU No 8/1983 sama sekali tidak ada yang diubah, kecuali soal jadwal pelaksanaannya saja.
"Mudah-mudahan dengan keluarnya Perpu ini, semua pihak akan terang dan tidak timbul macam-macam seperti kenaikan harga barang yang dimana sebagainya," demikian Sudharmono.
Sebab meskipun UU PPN 1984 ini tampaknya hanya menyangkut sementara pihak khususnya pengusaha, "namun dampaknya akan terasa pada masyarakat luas."
Dalam rencana APBN 1984/85 penerimaan dari pelaksanaan UU PPN 1984 disasarkan sekitar Rp. 958.2 milyar. Jumlah ini lebih besar dibanding tahun sebelumnya karena UU perpajakan yang baru itu menekankan unsur kesederhanaan dan kepastian dalam pengenaan pajaknya. Sehingga diharapkan mendorong kesadaran wajib pajaknya.
Dalam sistem baru ini tarif yang ditetapkan hanya dua jenis yaitu 0 persen dan 10 persen, sedang bagi barang mewah dikenakan tambahan tarif pajak khusus 10 persen dan 20 persen.
Tetapi berdasarkan pertimbangan ekonomi, kebutuhan dana untuk pembangunan serta pengendalian pola konsumsi mewah, pemerintah punya wewenang mengubah tarif pajak pertumbuhan nilai tersebut menjadi serendahÂrendahnya 5 persen dan setinggi-tingginya 15 persen, serta mengubah tarif penjualan atas barang mewah menjadi setinggi-tingginya 35 persen.
Sedang dalam sistem lama, tarif pajak penjualan bervariasi antara delapan jenis tarif yaitu nol persen, satu persen, 2.5 persen, 5 persen, 7,5 persen, 10 persen dan 20 persen, sedang tarif tertinggi 40 persen (antara lain untuk kendaraan berbahan bakar solar).
1 Januari atau 1 April 1985
Mensesneg Sudharmono menegaskan, pengertian selambat-lambatnya 1 Januari 1986 bukanlah berarti berlakunya pada tanggal itu.
"Jika memang semua sudah siap pada tanggal 1 Januari 1985 maka bidang dimulai pada tanggal itu atau mungkin juga pada 1 April 1985, bersamaan dengan tahun anggaran yang baru. Semua itu tergantung kesiapan semua pihak," demikian Mensesneg. (RA)
…
Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (17/06/1984)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VII (1983-1984), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 732-734.