PEMBANGUNAN (BAGIAN V) (Dikutip dari Buku “Pak Harto, Pandangan dan Harapannya”)
Jakarta, Pelita
Tujuan perjuangan kita dalam jangka panjang tidak pernah berubah, ialah terwujudnya masyarakat adil dan makmur materi dan spiritual, yang di dalamnya terdapat demokrasi politik dan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila bagi seluruh Rakyat.
Cara untuk mencapai tujuan tadi, juga telah jelas ialah musyawarah untuk membuatkan pendapat serta bergotong-royong dan bekerja keras untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama-sama dengan cara-cara yang tertib dan menggairahkan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar, cara-cara tadi itu akan kita wujudkan dengan melaksanakan sistem konstitusional, menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat dan menegakkan hukurn.
Masyarakat yang kita cita-citakan adalah masyarakat dengan kesejahteraan lahir dan bathin, dimana setiap wanita dan laki-laki dapat bekerja dengan gembira dan menikmati hasil pekerjaan, setiap keluarga hidup bahagia, bebas dari ketakutan dan tekanan, anak-anak bersekolah dan pemuda-pemudi dapat mengembangkan bakatnya, kebudayaan yang berkembang dan ilmu pengetahuan yang maju, setiap orang dapat menjalankan ibadah agamanya menurut keyakinan masing-masing. Setiap warga negara sadar akan haknya dan besar rasa tanggung jawabnya, hidup rukun dan bergotong royong, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
ltulah cita-cita kita di hari depan, dan untuk mencapainya, kewajiban kita adalah bekerja keras dan teratur di hari sekarang.
“Untuk itu kita harus membangun, membangun rumah-tangga kita, membangun kampung dan desa kita, membangun daerah kita. Kita membangun Bangsa dan Negara ini, dari Sabang sampai ke Merauke”.
Dalam kamar kerja di Rumah Sakit Pangkalan Angkatan Udara Abdul Rachman Saleh Malang, saya terpaku mendengarkan kata demi kata yang diucapkan oleh Pak Harto. Pikiran menerawang kembali ke Jakarta mengenang peristiwa-peristiwa yang saya terlibat di dalamnya sejak meletusnya pemberontakan G30S/PKI.
TERNGIANG-NGIANG kembali suara Pak Harto tanggal 1 Oktober 1965 setelah pasukannya menguasai kembali keadaan, suaranya yang mengharukan hati setelah diketemukan jenazah para Pahlawan Revolusi, korban pembunuhan keji yang dilakukan PKI di Lubang Buaya.
Dalam tahun 1967 dan di awal tahun 1968 sampai pada detik-detik RRI menyiarkan pidato bersejarah Pak Harto di Jawa Timur, bahaya PKI masih mengancam. Peristiwa Blitar Selatan yang didalangi PKI, baru ditumpas.
Di tempat-tempat lain dijumpai ruba-ruba (terowongan bawah tanah mengikuti model operasi Viet Kong di Vietnam). Sementara wajah kerusakan warisan masa Orde Lama masih terpampang. Jalan antara Pangkalan menuju ke kota Malang rusak berat. Bahkan jalan-jalan raya di kota dingin itu bopeng dan berlubang-lubang.
Pertama kali ke kota itu dalam tahun 1967 untuk bertugas dalam dinas kesehatan Angkatan Udara saya jumpai Malang yang nasibnya masih tetap malang. Sosok kota yang di zaman normal dulu terkenal ramah dan sejuk telah muram akibat kerusakan demi kerusakan yang melandanya di zaman Orde Lama.
Meskipun demikian sudah mulai terasa angin dan iklim baru yang bertiup dan menyelimuti daerah dan kota ini dalam bentuk kegairahan masyarakat yang hidup dalam suasana baru.
Setelah Repelita ke II berjalan dan memasuki tahun ke III saya mengunjungi Malang lagi dalam kapasitas sebagai anggota DPR-RI. Mengikuti rombongan Gubernur Moh. Noer pada waktu itu dan mengunjungi desa satu ke desa yang lain di Kabupaten Malang, membikin saya tercengang melihat perubahan yang telah terjadi. Jalan-jalan aspal yang licin, jembatan-jembatan baru, sarana angkutan yang bermacam jenis, gedung-gedung sekolah, Rumah-Rumah Sakit dan proyek-proyek irigasi yang sudah dan sedang dibangun.
Gubernur yang sangat merakyat itu dalam setiap kesempatan bertemu dengan rakyatnya di desa-desa yang sedang mekar, ia selalu berdialog, bertanya dan memancing pendapat mereka, kemudian memberikan motivasi dan dorongan untuk terus bangkit dan ikut serta dalam pembangunan.
Dalam mobil mini bus yang ber-AC, saya bertanya pada Gubernur mengapa rakyat di Kabupaten Malang begitu bergairah dan rajin membangun, Moh. Noer menjawab dengan wajah tersenyum, “Telah terjadi perobahan dalam cara berpikir masyarakat. Sebagai pimpinan daerah, saya hanya memanfaatkan momentum ini”.
Sasaran Pembangunan Lima Tahun yang pertama-lagi-lagi sangat berbeda dengan Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun yang sasarannya muluk-muluk adalah sederhana. Sasarannya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak yaitu pangan, sandang, perluasan perumahan, lapangan kerja, prasarana dan kesejahteraan rokhani.
Susunan perencanaannya pun sederhana tapi realistis. Pak Harto mengakui dalam pidato 31 Maret 1968 bahwa secara sadar penyusunan rencana yang sederhana itu dilakukan, karena bersikap realistis dalam melangkah mencapai cita-cita dan disesuaikan dengan kemampuan riil.
Rencana Pembangunan yang realistis dan sasaran-sasaran sederhana inilah yang membikin Repelita I berhasil. Sedangkan rancangan Pembangunan Delapan Tahun Berencana di masa lalu, mengalami kegagalan, atau tidak dapat dilaksanakan karena disusun tidak sesuai degan kemampuan negara, terlalu besar yang hendak dicakup dengan sasaran menaikkan pendapatan perkapita sebesar 12% pada akhir pembangunan yaitu setelah 8 tahun. Lagi pula rancangan ini belum mampu menggerakkan aparat-aparat yang mendukungnya.
Penyusunan tahap-tahap pembangunan ekonomi untuk jangka waktu delapan tahun itu kurang tepat, karena secara ekonomi nasional kemampuan memperkirakan sasaran-sasaran ekonomi yang sifatnya terperinci untuk jangka waktu delapan tahun kurang akurat lagi. Batas-batas kemampuan memperkirakan tersebut pada umumnya akan didukung oleh data-data yang lebih akurat, bila waktu hanya empat sampai lima tahun, bahkan tiap tahun perlu disesuaikan.
Lebih-lebih dalam negara berkembang penyusunan rencana menghadapi berbagai tantangan hal-hal yang kurang pasti dan ciri-ciri kelemahan negara-negara berkembang seperti Pertanian yang terkebelakang, cara kerja yang masih tradisional, aparat-aparat Pemerintah yang belum terlatih baik, tingkat inflasi yang tinggi setiap tahun, pemasaran yang tidak efisien, pemasaran luar negeri tidak sepenuhnya dikuasai dan lain-lain.
Dipandang dari segi ini mungkin penetapan waktu delapan tahun oleh penyusunan Rancangan Pembangunan 8 Tahun Semesta Berencana di waktu lalu, tidak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi rasional.
Juga kurang rasional menyusun satu rencana pembangunan yang bersandar pada simbol dan fantasi. Rancangan Pembangunan Delapan Tahun tersebut susunannya dibagi menurut angka keramat 17-8-1945 – 8 buku terdiri dari 17 jilid mengandung 1945 item.
Keberhasilan Repelita ke satu, dua dan tiga selain realistis tapi yang jelas syaratÂsyarat pelaksanaannya sangat diperhatikan dan sejauh mungkin dipenuhi seperti gerak dan kerja keras serta partisipasi rakyat, sikap mental, stabilitas, program yang jelas, dukungan dana, pengendalian dan pengawasan, juga yang penting, kepemimpinan pembangunan.
Selaku pemimpin pembangunan Pak Harto dengan jelas mengemukakan hal-hal ini dalam tahun 1969.”Kita sekarang telah memilik Rencana Pembangunan Lima Tahun, yang menjadi pegangan untuk melangkah maju dalam lima tahun mendatangini. Kita juga lelah memiliki program pelaksanaan untuk tahun pertama seperti tercermin dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1969/1970, yang di dalamnya menggambarkan sektor-sektor, program-program dan bahkan proyek-proyek fisik secara terperinci, termasuk sarana biaya yang disediakan untuk melaksanakan proyek tersebut.
Sementara itu, Pemerintah lebih melakukan berbagai usaha dan langkah persiapan-persiapan lanjutan untuk melaksanakan tahun pertama REPELITA ini, sepanjang kemampuan-kemampuannya yang ada.
Usaha-usaha memantapkan stabilitas politik dan ekonomi terus dilakukan. Selain bulan-bulan pertama tahun 1969 ini-biasa disebut bulan-bulan paceklik-yang pada tahun-tahun yang lalu selalu terjadi kegoncangan-kegoncangan harga yang mencemaskan, untuk tahun ini tidak terjadi, bahkan dalam minggu-minggu terakhir ini terlihat kemantapan yang lebih meyakinkan, sehingga mernpakan keadaan ekonomi yang sangat menguntungkan bagi pelaksanaan pembangunan.
Demikian pula, keadaan stabilitas politik, semangat persatuan dan kesatuan berdasarkan Pancasila dapat tetap terpelihara, berkat pengertian dan kewaspadaan dari seluruh rakyat dan tindakan-tindakan cepat yang dilakukan oleh alat-alat negara yang berwenang.
Sumber : PELITA (05/04/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 116-119.