PEMBANGUNAN (BAGIAN VI) (Dikutip dari Buku “Pak Harto, Pandangan dan Harapannya”)
Jakarta, Pelita
Selanjutnya langkah-langkah persiapan mental dan teknis pembinaan bagi aparatur pelaksana telah dilakukan pula. Presiden sendiri akan terus menerus melakukan pengendalian dan mengikuti pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang telah ditetapkan, pengawasan pelaksanaan juga akan diintensifkan, yang dalam hal ini Presiden dibantu oleh Menteri Negara Pengawasan Pembangunan.
Tata kerja dan hubungan kerja antara aparatur Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah telah lebih ditegaskan, sehingga kesimpang siuran bekerja akan dapat dikurangi. Perincian secara lebih teliti dari setiap proyek yang ditetapkan dalam APBN tahun 1969/1970 akan dilakukan pula sehingga pada saat ini telah dapat diketahui dengan pasti, dimana letaknya, berapa besar dan macam-macam biaya yang diperlukan, siapa penanggungjawabnya, perkiraan taraf-taraf penyelesaian setiap triwulan dan waktu selesainya dari setiap proyek, menurut Departemen/Lembaga yang bersangkutan.
Mengenai peranan pemerintah dan keikut-sertaan rakyat, di bagian lain pidatonya Pak Harto mengatakan:
“Tanggung jawab pelaksanaan, pernbangunan mernang bukan semata-mata terletak di tangan Pemerintah, dan Pemerintah juga tidak mungkin akan menguasai sendiri semua sektor ekonomi dan tidak melaksanakan sendiri semua sektor pembangunan. Pemerintah hanya melaksanakan pembangunan pada sektor-sektor strategis dan vital, terutama yang belum dapat dilakukan atau tidak menarik pihak swasta.
Pemerintah akan terus berusaha mengambil segala langkah yang dapat mendorong kegairahan dan membangkitkan kekuatan ekonomi swasta.
Pelaksanaan pembangunan ini telah ditunggu-tunggu oleh sebagian besar rakyat. Pemerintah menyadari sepenuhnya atas hasrat yang sangat besar itu dan telah siap pula untuk melaksanakannya. Seperti antara lain yang saya uraikan di atas, diharapkan persiapan dan kesiapan Pemerintah ini akan dapat menggerakkan masyarakat untuk ikut serta secara sadar melaksanakan dan mensukseskan pembangunan ini.”
REPELITA I yang rencananya tampaknya sederhana, tetapi pelaksanaannya jelas tidak sederhana. Diperlukan kegiatan, gerak dan pengerahan tenaga serta fikiran bahkan pengorbanan-pengorbanan. Dengan anggaran pembangunan yang berjumlah hanya 118 milyar rupiah untuk tahun pertama (1969/1970) pelaksanaan Repelita satu, hanya melalui kerja keras sajalah hasil-hasilnya makin menggembirakan. Dari angkaangka Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara yang grafiknya menaik dari tahun ke tahun, siapapun akan tiba pada kesimpulan, bahwa pembangunan lima tahun kita itu berhasil.
Di lapangan, secara jelas tampak hasil-hasil pembangunan itu, seperti yang diutarakan di muka tentang keadaan kota Malang dan sekitarnya yang saya lihat dalam tahun 1967 dan kembali menyaksikan perubahan besar di pertengahan pelaksanaan Repelita II tahun I 1970-an.
Dalam tahun 1966, saya memimpin delegasi KAMI pusat ke Maluku Utara. Dibandingkan dengan keadaan sebelumnya semasa saya bersekolah di SMP Ternate perubahan kota itu relative kecil sekali. Pendidikan misalnya, sarananya belum juga bertambah, SMP Negeri untuk Maluku Utara masih yang dulu juga, SMA baru sebuah di Ternate itupun guru-gurunya serba kurang. Sarana angkutan baik darat maupun laut apalagi angkutan udara sangat menyedihkan.
Setelah Malang, saya berkunjung ke Ternate dalam tahun 1976. Tidak lagi menggunakan kapal laut dari Bitung seperti 10 tahun lalu (menunggu kesempatan ini saja berhari-hari), tapi dengan pesawat perintis Merpati. Mendarat di Bandar Udara Babullah dengan mulus, membikin hati jadi bangga. Menginjakkan kaki lagi di ibu kota kabupaten yang penuh dengan segudang kenangan masa kecil itu benar-benar mendatangkan satu perasaan tersendiri. Dan perasaan yang menonjol bukan lagi
nostalgia tapi kepercayaan pada diri dan keyakinan tentang kemampuan bangsa yang digambarkan oleh perubahan sosial yang besar di kota Temate.
Sarana pendidikan jumlah Sekolah Dasar. Sekolah Menengah Tingkat Pertama dan Atas telah bertambah jumlahnya. Bahkan sudah ada Universitas yang meskipun dikelola oleh swasta telah berkembang dengan baik. Sarana kesehatan puskesmaspuskesmas berdiri di mana-mana yang sebelumnya tidak ada sama sekali. Desa-desa di sekitar pulau telah berganti wajah.
Terasa hadirnya kemajuan desa baik masyarakat maupun prasarana. Jalan-jalan telah beraspal mengelilingi pulau Ternate dan listrik tidak menjadi monopoli kota saja tapi sudah menyebar dan menerangi desa.
Kepada salah seorang Kepala Desa saya tanyakan sumber dana dari mana ia peroleh untuk pembangunan desanya. Ia jawab tanpa ragu, bahwa kemajuan desanya berkat dana Inpres Desa.
Bantuan kepada desa ini untuk pertama kali dalam sejarah pembangunan di Indonesia diperkenalkan oleh Pak Harto atas prakarsanya sendiri sebagai tahap awal mengambil jalan pintas pemerataan pembangu nan.Untuk pertama kali pula saya dengar melalui RRI tahun 1969 suara Pak Harto yang menegaskan.
“Dalam kesempatan ini saya beritahukan bahwa dewasa ini telah tersedia di Bank Rakyat di daerah-daerah- sementara ini baru di Jawa uang bantuan Pemerintah untuk menghidupkan kegotong-royongan dan inisiatif rakyat desa-desa sebesar Rp 100.000, setiap desa.”
Belasan tahun kemudian pada Prof. Widjojo saya tanyakan latar belakang lahirnya gagasan bantuan desa ini. Sambil mengenang masa itu dan dengan tawanya yang berderai-derai Widjojo mengawali penjelasannya dengan kata-kata yang serius.
“Hebat, hebat Pak Harto itu.” Komplimen Prof. Widjojo kepada seorang
pemimpin yang ia kenai betul jelas pikirannya tentang pembangunan, terutama mengenai jalan terobosan yang diambil Pak Harto untuk langsung membantu rakyat kecil di daerah pedesaan, memang sangat beralasan. Widjojo menerangkan, bahwa pada waktu itu dana dari hasil penjualan minyak dianggap cukup untuk keperluan ini. Pengalokasiannya tidak melalui Departemen tertentu tapi langsung kepada rakyat kecil, sehingga terhindar dari birokrasi yang bertele-tele.
Di negara lain menurut Widjojo pembangunan proyek-proyek besar didahulukan untuk kemudian hasilnya dialirkan ke desa. Sementara ahli ekonomi, kita cenderung untuk menganut teori ini “Trickle Down Theory”. Terhadap pendapat mereka ini Prof Widjojo tidak sependapat bahkan mengatakan, bahwa mereka itu terlalu banyak membaca analisa ekonomi pembangunan di negara lain tanpa melihat keadaan dan kenyataan-kenyataan yang ada pada kita.
Dengan Inpres kita buktikan tidak bergantung pada teori ini. Artinya tanpa menggunakan Trickle Down Theory kita toh berhasil, karena bantuan itu ternyata cocok bagi satu masyarakat yang dalam dirinya semangat gotong royong itu berkobar kuat, sehingga nilai Rp 1.00.000,- secara nominal dapat berlipat, ganda menghasilkan sesuatu bagi kepentingan masyarakat di pedesaan disebabkan perolehan nilai tambah dari nilai kegotong-royongan yang hidup dalam masyarakat itu.
Tahun I Repelita satu, jumlah desa yang memperoleh bantuan, sebanyak 44.478 buah dengan jumlah bantuan seluruhnya Rp 2,6 milyar. Tahun terakhir jumlah bantuan melonjak menjadi Rp 5,7 milyar untuk 45.303 desa.
Karena hasilnya yang demikian positip dan dirasakan langsung oleh orang-orang kecil di desa, maka Pemerintah menambah lagi jumlah bantuan dari Rp 100 ribu menjadi Rp 200 ribu per desa untuk tahun I Repelita II bagi 45.303 desa. Bantuan itu dari tahun ke tahun pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun terus saja naik sehingga pada tahun anggaran 1981/1982 telah menjadi bulat satu juta rupiah, untuk jumlah desa yang juga bertambah yaitu 64.650.
Tiga tahun berturut-turut setelah itu angka bertambah lagi menjadi 1.250 ribu rupiah dan sejak tahun anggaran 1985/1986 Inpres desa ditingkatkan lagi jumlahny a menjadi 1.350 ribu rupiah setiap desa untuk 67.448 desa di seluruh Tanah Air, dengan catatan 250 ribu rupiah untuk PKK di setiap desa.
Pada tahun ke II Repelita I bantuan Pemerintah yang langsung ini juga mulai diberikan kepada Kabupaten (Inpres Kabupaten ), sedangkan untuk Daerah Tingkat I baru mulai diberikan bantuan pada awal permulaan pelaksanaan Repelita II. Kalau bantuan pada desa ukurann ya per desa, maka untuk kabupaten dan propinsi ukurannya per jiwa.
Mengingat penyebaran penduduk Indonesia yang tidak merata, maka bagi Daerah tingkat II yang penduduknya tidak banyak diberikan pula bantuan minimum sedangkan untuk Daerah Tingkat I dialokasikan bantuan minimum maupun maksimum. (Bersambung)
Sumber : PELITA (06/04/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 119-122.