Jejak Pembangunan Pak Harto di Lampung Selatan
LAMPUNG — Pemanfaatan Sungai Way Sekampung dan Way Pisang di Kabupaten Lampung Selatan sebagai sumber pengairan lahan pertanian, dengan dibangunnya proyek Rawa Sragi, telah berlangsung sejak Orde Baru.
Pembangunan proyek Rawa Sragi merupakan upaya Presiden Soeharto memajukan sektor pertanian untuk meraih swasembada pangan. Proyek irigasi Rawa Sragi dengan pembangunan saluran irigasi tersier dan pemanfaatan sungai, merupakan bagian dari Pembangunan Lima Tahun III (Pelita III), yakni sejak 1979 hingga 1984.
Tonggak sejarah pembangunan di zaman Presiden kedua RI tersebut masih kokoh berdiri, yakni berupa Tugu Pak Tani, di Kecamatan Palas di dekat akses jalan Desa Bandanhurip. Tugu tersebut dibangun pada masa Menteri Pekerjaan Umum Suyono Sosrodarsono. Tugu Pak Tani yang dibangun pada Mei 1985 ini bahkan menjadi pelengkap bangunan irigasi saluran primer, sekunder dan tersier ke ribuan hektare lahan pertanian di wilayah Kecamatan Sragi dan Palas.
Proyek infrastruktur di era Presiden Soeharto, dirasakan betul manfaatnya oleh warga transmigran, salah satunya Suhaimi (45), warga transmigran asal Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Juga transmigran lainnya asal Banten, Marfuah (50) dan Barial (40), yang sebagian merupakan generasi kedua dari ratusan transmigran yang ditempatkan di wilayah Lampung Selatan dan Lampung Timur.
Lokasi yang dekat dengan sungai dan laut, membuat sebagian besar warga di daerah itu berprofesi sebagai petani dan nelayan pembudidaya, serta nelayan tangkap.
Suhaimi, yang dikenal sebagai pemilik usaha tambak udang vaname (litopenaeus vannamei), ikan air tawar jenis lele sangkuriang (clarias sp) dan kepiting bakau (scylla), menyebutkan, ketika menjadi transmigran di wilayah Kecamatan Sragi, kala itu wilayah tersebut masih menjadi daerah administratif Kecamatan Palas.
Menurutnya, setiap transmigran saat itu mendapatkan jatah lahan garapan sekitar dua hektare sebagai lahan pertanian padi pada 1979. “Mayoritas warga di sini merupakan generasi kedua yang merupakan transmigran asal Pulau Jawa, yang datang secara mandiri dan sebagian mengikuti program transmigrasi di wilayah Lampung Selatan dan Lampung Timur,” terang Suhaimi, warga Dusun Umbul Besar, Desa Bandaragung, Kecamatan Sragi, saat ditemui Cendana News baru-baru ini, di area tambak budi daya udang vaname, kepiting bakau dan lele sangkuriang miliknya.
Suhaimi memilih kepiting sesuai ukuran untuk dijual ke pemesan lokal dan ekspor ke Taiwan dan Singapura
Suhaimi mengaku sebagian keluarganya dari wilayah Banten juga bersama transmigran lain asal Pati, Jawa Tengah, dan Banyuwangi, menempati sebagian wilayah Labuhan Ratu, wilayah yang kini menjadi bagian dari Lampung Timur.
Menurutnya, semula sebagian warga transmigran di wilayah yang berada di dekat area tanggul penangkis dan sejumlah saluran irigasi di era Presiden Soeharto, membuka lahan pertanian padi.
Sebelum menjadi lahan pertanian padi dan tambak pada 1980 hingga 1990, kawasan yang kini ditempati warga merupakan hutan lebat dan rawa yang membentang di dekat pesisir Timur Lampung dan sepanjang Sungai Way Sekampung.
Ia menyebutkan, awalnya masyarakat didominasi para transmigran yang mengembangkan sektor pertanian, khususnya di wilayah dekat Sungai Way Sekampung. Namun, kondisi pasang air laut kerap menyebabkan lahan pertanian terkena air laut yang memiliki sifat payau.
“Masyarakat mulai belajar pola perubahan pasang surut air laut, musim hujan dan kemarau yang tepat untuk bertani atau memelihara udang dan ikan,” terang Suhaimi.
Pola perubahan cuaca, kata Suhaimi, juga membuat warga memilih melakukan penanaman padi sejak bulan Maret hingga September. Selanjutnya warga melakukan budi daya ikan dan udang. Pola tersebut menyesuaikan keberadaan tanggul penangkis dan klep pengatur air yang sudah dibangun sejak zaman Presiden Soeharto.
Sebagian kawasan sejauh 30 kilometer dari muara sungai di sepanjang alur Sungai Way Sekampung, bahkan sebagian secara permanen dijadikan lahan pertambakan.
Sukses Tekuni Usaha Perikanan Budi Daya
Suhaimi mengatakan, pergeseran pola pertanian menjadi usaha tambak mulai terjadi pada 1990. Mula-mula, warga melakukan budi daya udang windu (penaeus monodon). Akibat serangan penyakit jenis white spot (WS) pada 2000, petambak seperti Suhaimi mulai beralih membudidayakan udang vaname.
Saat awal budi daya udang vaname, Suhaimi mengaku menjadi pelopornya budi daya udang kecil-kecil itu. Ia bahkan sempat dicemooh petambak lain yang masih membudidayakan udang windu, dengan perbedaan ukuran yang mencolok tersebut. Kala itu, ia mengaku harga udang vaname masih dijual pada kisaran Rp20.000 per kilogram.
“Saya sempat dicemooh, karena udang kecil-kecil kok dibudidayakan, bahkan hanya udang sayur berbeda dengan udang windu yang berkelas restoran,” kenang Suhaimi.
Berbekal pengalaman bekerja pada sebuah perusahaan budi daya udang, Suhaimi mengaku ingin menjadi transmigran sukses. Ia pun mulai mengembangkan sistem budi daya tradisional dan selanjutnya menerapkan sistem bagongan atau membuat kincir air untuk sirkulasi oksigen dalam tambak.
Setelah serangan virus WS membuat petambak udang windu tumbang, sebagian petambak akhirnya mulai melirik usaha budi daya udang vaname yang ditekuninya.
Sumber : https://www.cendananews.com/2018/03/jejak-pembangunan-pak-harto-di-lampung-selatan.html