MINYAK MEKSIKO DAN VENEZUELA
Jakarta, Suara Karya
Presiden Soeharto beserta rombongan sejak hari Selasa 19 November 1991 telah meninggalkan Indonesia menuju ke lima negara yakni Meksiko, Venezuela, Senegal, Zimbabwe dan Tanzania. Kunjungan kenegaraan ini sudah bisa diperkirakan akan banyak memperoleh manfaat baik bagi Indonesia maupun lima negara itu. Bukan saja menyangkut kepentingan politik bagi negara-negara berkembang, apalagi tahun depan di Indonesia akan diadakan Konferensi Nonblok, yang juga cukup penting dalam upaya kerja sama saling menguntungkan dalam perdagangan dan ekonomi.
Dari lima negara itu memang ada dua negara yang banyak kaitannya dengan pasaran dan harga minyak dunia. Pertama adalah Meksiko yang bukan anggota OPEC, dan kedua adalah Venezuela yang pada bulan September 1960 berhasil bersama Arab Saudi, Iran, Irak dan Kuwait mendirikan OPEC.
Dalam tulisan ini penulis mencoba melihat bagaimana potensi minyak dan gas bumi di dua negara itu yang akan dikunjungi Presiden Soeharto. Dua negara itu berada di kawasan Amerika Utara yakni Meksiko dan kawasan Amerika Selatan yakni Venezuela. Nampaknya produksi minyak Meksiko perlu mendapat perhatian, walau harus diakui perkembangan produksinya tidak bisa lepas dari keberhasilan OPEC sejak perang Oktober 1973 di Timur Tengah dalam hal produksi dan harga. Apalagi kelompok negara-negara penghasil minyak Arab melakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat dan sekutunya. Akibatnya harga minyak melonjak tinggi begitu cepat dan tingginya. Gara-gara harga minyak mahal itulah, apalagi banyak negara yang tergabung dalam OECD waktu itu merasa khawatir jika kelompoknegara Arab terus memainkan produksi, maka wajar jika banyak negara OECD yang menanam modalnya di luar OPEC. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya minyak di luar OPEC bermunculan.
Meksiko bisa dianggap sebagai negara yang mampu memanfaatkan keadaan pasaran dan harga minyak yang sejak Oktober 1973 naik terus hingga tahun 1981. Tidaklah heran jika produksi minyak Meksiko yang pada tahun 1973 hanya berproduksi 525 ribu barel per hari kemudian terus meningkat dan pada tahun 1984 bisa mencapai 2,76 juta barel lebih per hari. Pada tahun 1990 produksi minyak mentah Meksiko mencapai 2,64 juta barel per hari dan produksi gas buminya mencapai 3.651 milyar kaki kubik per hari.
Jumlah minyak mentah yang diekspor Meksiko pada tahun 1990 sekitar 1,28 juta barel per hari. Cadangan minyak yang terbukti diperkirakan sebesar 44,56 milyar barel cadangan kondensatnya sebanyak 6,738 milyar barel dan cadangan gas buminya sekitar 71,508 trilyun kaki kubik.
Dengan kemampuan mengekspor minyak sekitar 1,3 juta barel per hari, berarti mampu pula mempengaruhi pasaran minyaknya terutama ke beberapa negara terdekat seperti keAmerika Serikat.
Kalau saja Meksiko menginginkan agar pasaran dan harga minyak yang diperjuangkan OPEC bisa berhasil, maka wajar jika Meksiko juga harus mendukung perjuangan OPEC. Karena Meksiko juga harus menyadari apa artinya produksinya bisa ditingkatk:an sebcsar 20%, sekiranya harga minyaknya akan turun lebih dari 20%. Apalagi jika mengingat Meksiko termasuk negara yang sangat banyak utangnya, terutama untuk dunia perminyakannya yang dilola oleh perusahaan milik negaranya yakni Pemex.
Kalau harga minyak dunia merosot tajam, mau tak mau harga minyak Meksiko seperti minyak Isthmusnya juga ikut turun. Sebaliknya kalau harga minyak dunia naik harga minyak Isthmusnya juga naik. Sebagai gambaran pada minggu keempat bulan Juli 1990 harga minyak Isthmus di pasaran tunai hanya 13.53 dolar perbarel, tetapi karena terjadi perang Teluk Persia antara Irak dan Kuwait yang didukung tentara PBB maka pada bulan Agustus 1990 minggu kelima harga minyak Isthmus naik menjadi 24,50 dolar AS perbarel. Bahkan pada minggu kelima bulan Oktober 1990 harganya terus naik menjadi 33,61 dolar per barel.
Begitu juga Venezuela yang pendiri OPEC, negara ini sejak lama sangat berkepentingan dengan harga minyak. Oleh karena itu, bersama dengan negaranegara di Timur Tengah, Venezuela ikut membentuk OPEC.
Venezuela bisa dianggap sebagai anggota OPEC yang lebih mementingkan harga. Terlihat dari perkembangan produksi minyak mentahnya yang pada tahun 1973 mencapai jumlah 3,37 juta barel per hari kemudian tipe dikendalikan atau menurun. Terbukti pada tahun 1955 Venezuela hanya memproduksi minyak mentah sekitar 1,54 juta barel lebih per hari. Pada kwartal I tahun 1991 produksi OPEC diperkirakan sebesar 12 juta barel, Venezuela hanya 2,353 juta barel lebih per hari.
Harga minyak Venezuela jenis Tia Juanna Light yang pada minggu keempat Juli 1990 hanya 14,41 dolar AS per barel di pasaran tunai, berkat adanya Perang Teluk bulan Agustus maka pada minggu kelima Agustus 1990 harganya naik menjadi 22,63 dolar AS per barel dan terus naik hingga 31,26 dolar AS per barel pada minggu kelima Oktober 1990.
Cadangan minyak mentah Venezuela pada akhir tahun 1990 diperkirakan sebanyak 60,1 milyar barel dan cadangan gas buminya 121,1 trilyun kaki kubik.
Dari gambaran itujelas sekali dua negara Meksiko dan Venezuela yang dikunjungi Presiden Soeharto beserta rombongan termasuk pula punya kekuatan dalam penentuan pasaran dan harga minyak dunia.
Bachrawi Sanusi adalah Ketua Pusat Kajian Strategi dan Pengembangan Ekonomi NU, staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta.
Sumber : SUARA KARYA (21/11/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 463-465.