PRESIDEN SOEHARTO: PEMBANGUNAN EKONOMI MERUPAKAN HAK FUNDAMENTAL SEMUA BANGSA
Rio de Janeiro, Kompas
Perlindungan terhadap lingkungan hendaknya jangan mengorbankan pembangunan karena pembangunan ekonomi merupakan hak fundamental semua bangsa dan negara. Ini berarti, kekayaan alam di negara berkembang jangan dipandang sebagai milik dunia, sementara pola konsumsi di negara maju dibiarkan terus meningkat. Jika terjadi demikian, tanggung jawab lingkungan akan dialihkan secara tidak adil ke negara-negara berkembang di Selatan. KTT Rio merupakan langkah awal bagi terciptanya kemitraan global yang menciptakan suatu pola baru pembagian kerja antar bangsa.
Hal ini ditegaskan Presiden Soeharto dalam Sidang Pleno KTT Bumi (Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan, UNCED) di Rio Centro, Rio de Janeiro, Brasil, Jumat sekitar pukul 17.00 waktu setempat atau pukul 03.00 WIB dinihari, Sabtu, seperti di laporkan wartawan Kompas Anselda Lopez, Denny Sutoyo dan Maria Hartiningsih dari Rio de Janeiro, Brasil. Presiden Soeharto berada di urutan ke-21 dari pertemuan kedua yang berlangsung pukul 15.00-19.00 waktu setempat, dengan waktu tujuh menit. Presiden AS George Bush menyampaikan pidatonya sekitar pukul 15.00, dan satu-satunya yang diberi waktu berpidato 15 menit.
“Indonesia menjadikan perpaduan antara pembangunan, lingkungan, dan kependudukan sebagai dasar dari kebijaksanaan nasional. Keprihatinan kami tidak saja mengenai laju pettumbuhan penduduk, tetapi juga kualitas kehidupan masyarakat, tingkat pendidikan, serta kemampuan dan keterampilan soal individu sebagai bagian dari penduduk dan masyarakat, seperti persamaan hak yang dimiliki pria dan wanita dalam menentukanjumlah keluarga baik untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat serta hak-hak lainnya yang dilindungi undang-undang,”ujar Presiden. Hak-hak semacam itu, bersamaan dengan hak untuk membangun dan hak untuk mencapai kualitas hidup yang sebaik mungkin, hak untuk menikmati lingkungan sosial dan fisik yang memadai, menurut Presiden, merupakan bagian dari cakrawala hak asasi manusia yang dijunjung tinggi di Indonesia.
Warisan Kolonial
Selanjutnya dikatakan, berbagai kepuhtsan dan langkah yang disepakati bersama dalam konferensi tidak saja mencakup langkah-langkah yang akan diselesaikan, tetapi juga mengandung hak dan kewajiban semua pihak yang mempunyai komitmen terhadap lingkungan dan pembangunan.
“Saya ingin menggaris bawahi bahwa kewajiban tersebut hendaknya dibagi adil dan dipikul bersama seadil-adilnya,” ujar Presiden Soeharto. Ini berarti, harus dipertimbangkan perbedaan tingkat keuangan, teknologi, dan kemampuan kelembagaan dari semua negara.
Dengan menyadari sepenuhnya hubungan antara pembangunan dan lingkungan, Presiden Soeharto yakin, bila sudah negara mampu meningkatkan pembangunannya, maka bersamaan dengan itu, negara itu akan mampu memelihara lingkungannya. Karena itu, sasaran utama kerjasama internasional, baik di dalam maupun di luar kerangka UNCED, hendaknya memungkinkan negara-negara berkembang mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan secara mandiri dalam waktu yang sesingkat singkatnya.
Salah satu cara untuk mencapai tujuan itu, memuut Presiden, adalah agar negara berkembang memperoleh harga yang lebih baik dan lebih adil bagi mata dagangan yang diperoleh dari sumber alam sendiri, harga yang mencerminkan biaya untuk memperbahatui lingkungan dan sumber alam. Cara lain adalah agar negara berkembang diberi kesempatan waktu memperoleh pendapatan yang lebih besar dari nilai tambah yang dihasilkan oleh pemrosesan sumber alam sebelum diekspor.
“lni bukanlah tugas yang ringan, mengingat masih terdapat warisan kolonial dalam bentuk hubungan internasional, dalam pola alur perdagangan dan sumber alam yang sangat menguntungkan negara-negara industri dan merugikan negara berkernbang,”ujar Kepala Negara seraya menambahkan, “dewasa ini kita melihat adanya suatu paradoks yang menyakitkan. Aliran sumber keuangan dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju melampaui jumlah yang mengalir dari negara kaya ke negara miskin.”
Kekayaan dan penguasaan teknologi maju telah memberi keunttmgan komparatif kepada negara industri yang membuat mereka bisa menentukan syarat-syarat dalarn hubungannya dengan negara-negara berkembang. Akibatnya, kekayaan materi negara industri bertambah menurnpuk yang memperkuat kedudukan mereka. “Ini mempakan lingkaran setan yang hams dipatahkan,”lanjut Kepala Negara.
Dipaparkan lebih jauh, kelangsungan hidup bumi memerlukan upaya global karena semua negara, tanpa kecuali, terancam malapetaka lingkungan. Negara industri tetap bersikeras memaksakan syarat-syaratnya meski kenyataan menunjukkan, negara industri memikul tanggung jawab yang lebih besar dari makin memburuknya lingkungan secara global. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa pola konsumsi mereka berlipat, lebih boros dan lebih banyak membuang limbah dari pada negara berkembang.
“Ketimpangan ini tidak bisa diluruskan hanya dengan kepastian bahwa mereka akan memberikan sumbangan keuangan dalam jurnlah besar guna program lingkungan global,” tegas Presiden. Dikatakan, kenyataan menunjukkan, negara maju juga memetik banyak keuntungan yang lebih besar daripada keuntungan yang diperoleh negara berkembang.“Dalam melakukan upaya yang berkaitan dengan lingkungan, tak ada maksud kami untuk makin memperlebar jurang antara negara kaya”
Bertemu Lubbers
Sementara itu, Presiden Soeharto hari Jum’at malam WIB di Rio de Janeiro mengadakan pertemuan dengan PM BeIanda Ruud Lubbers, yang kini juga tengah berada di sana, menghadiri KTT PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan.
Pembicaraan berlangsung di tempat konferensi setelah mereka menghadiri pleno pertama KTT. Ketika berita diturunkan semalam, pembicaraan kedua pemimpin masih berlangsung sehingga belum diperoleh keterangan mengenai isi pembicaraan. Mensesneg Moerdiono dalam penjelasan kepada wartawan Indonesia di Rio kemarin mengatakan, pertemu an itu atas perm intaan PM Lubbers dan itu diterima Presiden Soeharto dalam penerbangan dari Jakarta ke Rio Rabu lalu.
Sebelum dengan Ruud Lubbers, Presiden Soeharto menerima PM India Narasimha Rao dan setelah bertemu dengan Lubbers. Kepala Negara menerima Ketua Komisi Selatan-Selatan Julius Nyerere.
Presiden sehari sebelumnya juga bertemu dengan Kanselir Jerman Helmut KohJ di penginapan Kepala Negara, Hotel Horsa Nacion al, Rio de Janeiro. Kecuali mengenai masalah yang berhubungan dengan KTT Lingkungan dan Pembangunan, kedua pemimpin dalam pembicaraan sekitar satujam itu, juga membahas soal regional dan bilateral.
Bisa Diselesaikan
Sementara itu pertemuan tingkat menteri yang berlangsung sejak Kamis pagi, mencoba mencari terobosan dari persoalan-persoalan seputar pelaksanaan Agenda- 21 yang masih belum bisa diselesaikan. Sampai Jum’at pagi waktu setempat atau Sabtu dinihari WIB, kecuali masalah finansial, sekitar 95 persen pembicaraan mengenai Agenda 21 sudah berhasil diselesaikan.
Pembicaraan mengenai hutan pada Agenda 21 yang masih menggantung karena belurn dicapai kesepakatan mengenai berapa bab dari Principles of Forestry (Prinsip Prinsip Kehutanan), pada pembicaraan informal yang berlangsung hingga Jumat dinihari waktu setempat, akhirnya bisa diselesaikan. Pembicaraan Principles on Forestry itu berhasil mencapai titik temu pada beberapa bab yang menjadi perdebatan utama Utara-Selatan.
Sementara, Kamis tengah malam waktu setempat, Presiden AS George Bush telah mendarat di Bandara Rio de Janeiro dan menurut rencana ia akan berada di Rio selama 30 jam. Jum’at siang waktu setempat, Presiden Bush mengundang delapan ketua delegasi untuk makan siang di sebuah restoran di sekitar Rio Centro dan Menteri Emil Salim, sebagai Ketua Delegasi Indonesia adalah satu di antaranya.
Negara-negara berkembang yang disatukan oleh beberapa hal prinsipil dalam Principles on Forestry akan menolak “iming-iming” AS berupa bantuan pemeliharaan hutan tropis sebesar 150 juta dollar AS setahun dan tetap mempertahankan Principles on Forestly pada status non-legal binding document. Bagi Indonesia sendiri, “iming-iming” AS itu hanya small peanut karena selama ini Indonesia dengan sumber dana sendiri mengalokasikan 300 juta dollar AS setahun untuk dana pemeliharaan hutan.
AS juga dikabarkan tetap tidak mau menandatangani Convention on Biodiversity yang sampai saat ini telah ditandatangani sekitar 40 negara dan sekitar 20 negara tengah menunggu giliran untuk menandatangani konvensi tersebut. Sikap kontroversial yang mengundang banyak celaan dan demonstrasi di luar Rio Centro ini membuat AS selama sidang UNCED berlangsung dikenal sebagai The bad Guy.
Sementara Ketua Konsultasi Informal, Menteri Lingkungan Jerman Prod. Dr. Klauf Topler mengundang Brasil, Kanada, Finlandia, Perancis, Gabon, India, Indonesia, Jepang, Kenya, Meksiko, Malaysia, Pakistan, Inggris dan AS untuk melakukan pembicaraan guna mencari titik temu dalam masalah hutan, pada Kamis petang. Tapi ternyata sampai Kamis petang masih belurn ada titik temu, sehingga pembicaraan dirnulai lagi pada pukul 22.00 dan berlangsung hingga Jum’at dini hari waktu setempat.
Saling Terkait
Principles on Forestry tidak bisa dipisahkan dari bab mengenai Combating Deforestation dalam Agenda-21, sehingga kalau Principles on Forestry belum ada kesepakatan, maka bab mengenai Combating Deforestation dalam Agenda-21 pun menggantung.
Preambul mengenai Principles on Forestry ditentang oleh AS karena ada kalimat yang menurut AS dijadikan pembenaran bahwa membangun ekonomi dan sosial sering digunakan untuk menindas dan melanggar hak-hak asasi manusia. Sementara negara berkembang menentang penghapusan kalimat tersebut karena hal itu tidak ada kaitannya dengan hak asasi manusia. “Kita semua menandatangani kesepakatan mengenai Human Rights dan di sini kita tidak berbicara mengenai masalah itu,” jelas Menneg KLH Emil Salim kepada pers, Karnis malam waktu setempat.
Ketika dihubungi Kompas Jumat pagi, Emi l Salim mengatakan the right to social and economic development bisa diterima. “Saya mendapat kesan negara berkembang tampil dalam satu suara dalam masalah ini,” ujarnya.
Selatan usul agar Principles on Forestry dilaksanakan dahulu baru ditinjau lagi. Dan kalau ada kelemahan baru diperbaiki, jelas Emil Salim mengenai perdebatan dalam sidang tertutup itu. Menjawab pertanyaan kompas Jum’at pagi, Emil Salim mengatakan, Pembicaraan mengenai hal ini berhasil didrop dulu.
Juga mengenai trade inforest product from sustainably managed resources should be facilitated (15) yang artinya diperlukan conditionality dan dituntut Masyarakat Eropa (ME) tapi ditolak Selatan juga berhasil digugurkan.
Kalimat dalam pasal 17 mengenai Forest constitutesa significant reservoir of carbon and the role in the global carbon cycle should be recognized, taking it into account and consider it in the development of national for est policy and plan, yang membuat negara-negara Arab penghasil minyak “menyeberang” ke Utara, dalam pembicaraan sampai Jum’at dinihari itu, akhimya dihapus. “Sejak semula, Selatan, minus Arab sudah bereaksi mengenai hal ini.Masa’kita iniseperti penampung karbon dioksida dari negara-negara pencemar secara cuma-cuma,” ujar Emil Salim lebih jauh.
Dengan selesainya perdebatan dalam Principles on Forestry menurut Emil Salim, pembicaraan mengenai Combating Defor estation dalam Agenda 21 bisa segera diselesaikan.
Masalah Finansial
Masalah finansial dalam Agenda-21 sejauh ini masih belum menemukan jalan keluar karena Selatan mau adanya waktu yang tepat. Artinya pada tahun 2000 diharapkan target bantu an yang merupakan 0,7 persen GNP negara maju sudah bisa dipenuhi. Tapi negara maju menolak menentukan waktu yang tepat untuk itu.
Dalam hal multiple channel untuk pendanaan, seperti GEF Bank Dunia (WB), Central and Regional Bank memang diterima, kata Emil Salim. Tapi soal GEF sebenarnya masih menggantung karena soal transparancy , demokratisasi dan kondisionalitas belum terpecahkan. Dan dalam hal ini negara maju berada pada posisi di atas angin karena mereka yang memiliki uang, papar Emil Salim lagi.
Sementara pembicaraan mengenai Atmosfer dalam Agenda-21 negara-negara Arab mengusulkan kalimat environment sound technology menjadi environment sound and safe Technology karena sound mengacu pada minyak, sehingga negara Arab penghasil minyak merasa terpojok, sedang safe mengacu pada nuklir yang dimiliki negara maju.
Sumber : KOMPAS (13/06/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 124-129.