PRESIDEN SOEHARTO DI SIDANG UMUM PBB: SUDAH WAKTUNYA KESEPAKATAN BARU ANTARA UTARA SELATAN
New York, Suara Pembaruan
Presiden Soeharto mengatakan, negara-negara Non Blok menyadari sepenuhnya, bahwa masalah-masalah global kini saling terkait, terutama di bidang ekonomi. Karena hampir seluruh permasalahan dewasa ini bersifat global, maka penyelesaiannya pun tidak mungkin dicapai melalui langkah-langkah perbaikan sementara ataupun tambal sulam.
Penegasan itu dikemukakan Presiden Soeharto dalarn pidatonya di depan Sidang Umum ke-47 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York Amerika Serikat hari Karnis (24/9) malam.
“Karena sudah waktunya bagi negara-negara Utara maupun Selatan, untuk menumbuhkan suatu kesepakatan baru, mengenai pembangunan dan menggalang suatu kemitraan demokratis dalam memutuskan penyelesaian global terhadap masalahmasalah global itu,” demikian Kepala Negara. Wartawan Pembaruan Bachtiar Sitanggang, Albert Kuhon dan Annie Bertha Simamora melaporkan dari Markas PBB, New York, AS.
Dikatakan dengan cara demikianlah kita dapat membebaskan ekonomi dunia dari kemelut yang menghinggapinya dewasa iniserta menghapuskan berbagai lembaga dan modalitas yang tidak adil, yang menyebabkan semakin mendalamnya kesenjangan dan ketidakadilan dalam hubungan ekonomi internasional antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Hanya dengan cara demikianlah kita dapat mengadakan perombakan tatanan dan hubungan ekonomi internasional sehingga menjadikannya lebih adil dan oleh karenanya lebih tangguh.
Oleh karena itu Presiden Soeharto yang juga Ketua Gerakan Non Blok menyerukan, dihidupkannya kembali dialog yang konstruktif antara Utara dan Selatan. Namun kali ini dialog tersebut haruslah didasarkan atas kaidah-kaidah saling ketergantungan yang semakin nyata, kepentingan serta keuntungan bersama dan tanggungjawab bersama.
Dijabarkan
Lebih lanjut dikatakan, berdasarkan kaidah-kaidah tersebut pos isi masing-masing pihak hendaknya dijabarkan dan diajukan secara jelas serta dibahas dan dirundingkan bersama secara rasional. “Dewasa ini nasib dan kepentingan Utara dan Selatan belum pernah sedemikian erat terkait. Tanpa adanya stabilitas dan pembangunan di Selatan, pihak Utara tidak mungkin dapat memperhatikan terus kesejahteraan ekonominya.
“Dan tanpa adanya suatu lingkungan global yang mendukung suatu hal yang banyak tergantung dari kebijakan-kebijakan pihak Utara, negara-negara Selatan tidak akan dapat mencapai sasaran pembangunannya,” tegasnya.
Di hadapan delegasi dari 179 negara anggota PBB tersebut, selanjutnya Pak Harto menyatakan tekad negara-negara Gerakan Non Blok untuk meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan berdasarkan asas kemandirian bersama. Hal ini mutlak karena kerjasama tersebut sangat penting bagi peningkatan pembangunan seluruh negara anggota, maupun untuk mengurangi ketergantungan terhadap negara-negara maju.
Kerjasama Selatan-Selatan juga disebutkan merupakan unsur integral dalam setiap upaya menuju tercapainya suatu tatanan ekonomi internasional baru yang adil. “Untuk tujuan tersebut, kami telah memprakarsai berbagai proyek kerja sama yang nyata, antara lain di bidang pengadaan pangan, kependudukan, perdagangan dan investasi serta merumuskan cara-cara yang praktis bagi pelaksanannya,” tambahnya.
Dijelaskan, dengan menghimpun sumber daya, keahlian dan pengalamanpengalanlan yang dimiliki negara-negara Selatan, diharapkan akan dapat mewujudkan konsep kemandirian bersama secara nyata. “Kami mengajak negara-negara maju serta lembaga-lembaga keuangan multilateral untuk mendukung upaya kami ini. Karena jelas kiranya bahwa berhasilnya peningkatan kerja sama ekonmi di antara negaranegara berkembang pada gilirannya akan lebih menggairahkan pertumbuhan dan perluasan ekonomi dunia secara keseluruhan, yang akan membuahkan manfaat yang sepadan pula bagi negara-negara maju,” harapnya.
Pencemaran
Masalah global lain yang menjadi sorotan kepala negara adalah, pencemaran lingkungan yang semakin parah. Negara-negara nonblok menyambut baik hasil-hasil Konperensi Rio. Hasil-hasil tersebut membenarkan keyakinan yang telah lama dianut gerakan nonblok, yakni bahwa masalah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan memerlukan adanya suatu kemitraan global yang sepenuhnya memperhatikan kebutuhan negara-negara berkembang akan dana tambahan yang memadai serta akses untuk memperoleh teknologi yang berwawasan lingkungan.
Pada bagian lain pidatonya Presiden juga mengemukakan, pembangunan sosial tidak kurang pentingnya dari pembangunan politik dan ekonomi. Karena itu mendukung penyelenggaraan Konperensi Tingkat Tinggi Sedunia mengenai Pembangunan Sosial yang akan menempatkan kebutuhan sosial manusia pada pusat perhatian dan kegiatan Perserikatan Bangsa-bangsa. Integrasi wanita secara penuh dan setaraf dalam proses pembangunan telah senantiasa merupakan tujuan Gerakan Non Blok. “Oleh sebab itu, karni akan sepenuhnya bekerja sama untuk menyukseskan Konperensi Sedunia mengenai Wanita pada tahun 1995. Kami yakin bahwa setiap anak perlu dibesarkan dalam tingkat hidup yang layak bagi kesehatan dan
kesejahteraannya. Kami akan berupaya ke arah itu karena kami menganggapnya sebagai suatu kewajiban moral yang mutlak. Oleh karenanya kami menegaskan kembali keterikatan kami untuk melaksanakan Deklarasi dan Rencana Aksi dari Konperensi Tingkat Tinggi Sedunia untuk Anak-anak secara efektif dan sepenuhnya.”
Mengenai hak-hak asasi manusia, Presiden Soeharto menyatakan, negara-negara Non Blok telah menyuarakan suatu sikap yang jelas. Seperti tersurat dalam “Pesan Jakarta”. Kami berkeyakinan bahwa maksud dan tujuan ditegakkannya hak-hak asasi manusia itu adalah agar dapat mewujudkan potensi manusia seutuhnya dan potensi itu jelas tidak hanya terbatas pada aspek politik. Hak asasi untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dan sosial misalnya, tidak bisa dipisahkan dan tidak boleh ditangani secara terpisah dari jenis-jenis hak asasi lainnya. Dan hak-hak tersebut berlaku baik terhadap bangsa-bangsa maupun terhadap manusia perorangan. Demikian juga setiap bangsa memiliki hak asasi untuk menentukan sistem politik dan ekonominya sendiri serta memelihara identitas kebudayaannya seperti yang telah terbentuk oleh pengalaman sejarahnya sendiri.
Lebih lanjut dikatakan, negara-negara maju Barat akhir-akhir ini secara vokal agar demokrasi dan pemerintahan yang baik seyogyanya dijadikan bagian integral dari proses pembangunan, terutama di negara-negara berkembang. Bahkan ada yang cenderung untuk menjadikannya sebagai kondisionalitas baru dalam kerja sama pembangunan. Seruan agar dilaksanakannya demokratisasi serta pembaruan secara demokrasi di semua negara sesungguhnya tepat, karena langsung menyentuh aspirasi dasar setiap manusia dan setiap bangsa.
Tidak Statis
Namun, kata Kepala Negara, demokrasi bukanlah merupakan suatu konsep yang statis, yang terbatas pada bentuk-bentuk dan praktek-praktek baku tertentu. Memang, prinsip-prinsip dan aspek-aspek dasamya dapat dikatakan memiliki keberlakuan secara universal. Namun tidak ada satu bentuk demokrasi pun yang dapat dianggap berlaku secara universal mengingat keanekaragaman nilai-nilai budaya dan pengalaman sejarah bangsa-bangsa di dunia.
Lagi pula, tegas Kepala Negara lagi, akan sungguh merupakan suatu pengingkaran dari prinsip dasar demokrasi sendiri jika keberlakuannya hanya dituntut dalam setiap negara, sementara nilai-nilainya diabaikan dalam hubungan antar negara. Maka sesungguhnya demokrasi dan demokratisasi merupakan proses yang dinamis yang harus senantiasa serasi dengan nilai-nilai fundamental setiap bangsa dan perlu secara terus menerus disesuaikan dengan realita yang berkembang, agar dapat tetap relevan dan lebih penting lagi agar tetap demokratis.
Pengamatan demikian juga berlaku terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa. Karena itulah Gerakan Non Blok telah mendesak agar organisasi multilateral harus juga mencerminkan asas demokrasi tersebut yaitu dalam bentuk keadilan, persamaan dan keterbukaan baik dalam perwakilan negara-negara anggotanya maupun dalam proses pengambilan keputusan. Karena itu, Perserikatan Bangsa-bangsa serta badan-badan utamanya, perlu melakukan proses peninjauan dan penggairahan kembali secara berkala, agar tetap dapat mengadakan penyesuaian dinamis terhadap realita yang berkembang dalam hubungan internasional. Dengan demikian Organisasi kita itu dapat terus memainkan peranannya yang efektif sebagai pusat penanganan masalah-masalah global yang kritis dewasa ini.
Sehubungan dengan ini, menurut Kepala Negara, kami, Gerakan Non Blok berketetapan hati untuk memainkan peran aktif dan konstruktif dalam usaha revitalisasi, restrukturisasi dan demokratisasi sistem Perserikatan Bangsa-bangsa untuk maksud tersebut, telah diputuskan membentuk suatu kelompok kerja pada tingkat tinggi dengan tugas merumuskan usul-usul kongkret, bagi restrukturisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Suasana
Tepat pukul 10.10 waktu setempat atau pukul 21.10 Kamis malam WIB, Presiden Sidang Majelis Umum ke-47 PBB Stoyan Ganev dan Sekjen PBB Boutros Boutros-Ghali memasuki General Ass embly Hall dan duduk di kursi pimpinan, dan menyatakan sidang dibuka. Setelah mengumumkan kepada peserta sidang bahwa Presiden Soeharto akan menyampaikan pidato, ia mempersilakan Kepala Negara RI memasuki ruangan.
Presiden Soeharto memasuki ruang sidang dengan diantar Kepala Protokol PBB Aly Teymour serta mempersilakan duduk di kursi putih dengan sandaran tinggi. Setelah duduk sejenak, kemudian diperkenalkan kepada hadirin, lalu dipersilakan untuk menyampaikan pidatonya di mimbar.
Ibu Tien Soeharto duduk di deretan VIP, diapit Ny. Nugroho Wisnumurti, Ny. Boutros Boutros-Ghali dan Ny. Ali Alatas sementara di barisan sebelahnya terlihat Mensesneg Moerdiono bersama pejabat Indonesia lainnya. Kursi delegasi Indonesia ditempati Menlu Ali Alatas, Dirjen Politik Deplu Wiryono dan Watap RI di PBB Nugroho Wisnumurti.
Seusai mengucapkan pidatonya yang disambut tepuk tangan gemuruh para hadirin, Kepala Negara duduk kembali di kursi yang disediakan. Sekjen PBB dan Presiden Sidang Majelis Umum turun dari tempat pimpinan. Kemudian bersama-sama Presiden Soeharto meninggalkan GA Hall menuju Indonesia Lounge, tempat di mana mereka semula menunggu sebentar.
Menlu Ali Alatas dan delegasi Indonesia lainnya mendapat salam hangat dari delegasi lainnya. Dari press gelery (balkon) terlihat jelas bagaimana Ali Alatas menyambut salam hangat dari rekan-rekannya.
Kehadiran Kepala Negara di Markas PBB kali ini merupakan yang ketiga kalinya. Pertama, bulan Mei 1970 menghadiri pertemuan Asia Afrika yang diselenggarakan PBB.
Kedua, tanggal 8 Juni 1989 persis pada hari ulang tahunnya, sewaktu menerima panghargaan Kependudukan “United Nations Population Award” dari United Nations Fund for Populations Activities.
Sumber : SUARA PEMBARUAN (25/09/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 278-282.