PRESIDEN USULKAN 11 NEGARA JADI ANGGOTA TETAP DK PBB[1]
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto secara konkret mengusulkan agar jumlah anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang sekarang lima negara (RRC, Perancis, Uni Soviet, Inggris dan AS) ditambah menjadi 11 negara untuk mencerminkan rasa keadilan dan sesuai dengan perubahan-perubahan baru yang sedang terjadi di dunia saat ini.
Berbicara dalam penerbangan ke Jakarta semalam mengakhiri kunjungan sepuluh harinya ke New York dan Jepang sejak tanggal 20 September, Kepala Negara mengatakan, pemikiran mengenai restrukturisasi keanggotaan Dewan Keamanan PBB tersebut merupakan salah satu dari beberapa prioritas yang harus segera dilaksanakan.
Secara khusus Presiden yang adalah Ketua GNB itu, menyebut Jepang dan Jerman sebagai negara yang perlu dipertimbangkan untuk diikutsertakan dalam keanggotaan tetap Dewan Keamanan tersebut. Kedua negara yang kalah dalam Perang Dunia II itu, kini telah mengalami kemajuan yang pesat sekali dalam pembangunan ekonominya.
Kecuali Jepang dan Jerman, empat lainnya diambil dari dua negara di dunia yang berpenduduk lebih dari 175 juta, dan dua lagi diambil dari wakil negara-negara di Afrika dan Amerika Latin. Pada bagian lain keterangannya kemarin, Kepala Negara mengatakan pula, untuk mensukseskan hasil-hasil KTT X GNB dalam periode kepemimpinan Indonesia tiga tahun mendatang, maka selain Nana Sutresna yang telah diangkat sebagai kepala stafnya GNB, haruspula dibentuk tim-tim ahli yang koordinasinya dipegang oleh Prof Widjojo Nitisastro.
Kecuali itu, mengingat jumlah anggota GNB begitu banyak (108 negara) dan ada orang yang harus aktif terus menghubungi, maka menurut Presiden, ia juga akan membentuk duta besar keliling yang akan menangani masing-masing wilayah, di samping para duta besar yang telah ditugaskan di masing-masing negara. Untuk itu menurut Presiden, saat sebelum berangkat ke New York ia telah memanggil Letjen (Pum) Sayidiman untuk menangani wilayah Afrika, Letien (Pum) Achmad Thahir untuk Eropa, Letjen (Pum) Alamsjah Ratu Perwiranegara untuk Asia, dan Letjen (Purn) Hasnan Habib untuk Amerika Latin.
“Kepercayaan GNB terhadap Indonesia memimpin GNB dalam periode tiga tahun mendatang, harus benar-benar dimanfaatkan. Untuk itu tidak bisa hanya dengan langkah-langkah rutin, tetapi harus secara khusus,” tegas Presiden.
Restrukturisasi PBB
Mengenai keinginan restrukturisasi, Kepala Negara mengemukakan, Dewan Keamanan sekarang beranggotakan 15 negara, di antaranya 10 anggota tidak tetap, dan lima anggota tetap mempunyai hak veto. Struktur ini dibentuk setelah Perang Dunia II berakhir. Negara-negara yang kalah tidak diikutsertakan.
Namun, tambah Kepala Negara, keadaan 47 tahun lalu tersebut sudah sangat berubah. Tujuan pembentukan Dewan Keamanan untuk mencegah terjadinya perang lagi memang berhasil, tetapi yang juga justru terjadi adalah adanya Perang Dingin dengan perlombaan senjata. Sementara negara-negara seperti Jepang dan Jerman yang tadinya kalah perang, sekarang justru menang dalam pembangunan, lebih unggul dari yang menang perang, sehingga mempunyai potensi dan tanggung jawab untuk ikut serta.
“Karena itu sekarang sudah waktunya anggota tetap Dewan Keamanan PBB harus ditinjau, tidak hanya lima saja. Minimal ditambah dua,” tegas Presiden.
Namun diingatkan pula, apabila terjadi demikian maka anggota tetap Dewan Keamanan itu hanya dikuasai oleh negara-negara maju saja. Itu pun tidak akan adil. Karena itu harus diambil kriteria lain agar negara berkembang juga bisa ikut duduk sebagai anggota tetap Dewan Keamanan.
Kriteria itu antara lain menyangkut jumlah penduduk. Misalnya, yang berpenduduk Afrika dan Arnerika Latin tidak terwakili. Untuk itu negara AmerikaLatin dan Afrika yang jumlah penduduknya tertinggi, bisa menjadi anggota tetap. Dengan demikian seluruhnya 11 anggota. Tapi pertanyaan berikutnya, kata Presiden, apakah anggota tetap lainnya itu juga diberi hak veto. Menurut Presiden, hak veto yang sekarang telah dimiliki lima negara anggota tetap, untuk dicabut memang sulit. Tetapi agar supaya demokratis dan adil maka penggunaan hak veto harus diatur lagi dengan adanya counter veto.
Menurut Kepala Negara, GNB sekarang beranggotakan 108 negara. Sedang negara berkembang lainnya yang bergabung dalam Kelompok 77 ada sekitar 22 negara. Berarti seluruhnya negara berkembang di PBB sekitar 130 negara, berarti lebih dari sepertiga anggota PBB yang berjumlah 178 negara.
“Jadi, kalau ada sidang dan harus ada pemungutan suara, maka sudah memenuhi persyaratan.” Hanya masalahnya setiap keputusan bisa diveto oleh anggota Dewan Keamanan yang mempunyai hak veto.
“Karena itu kita harus berani pula memikirkan bagaimana caranya menentukan kriteria-kriteria yang bisa masuk akal, bisa diterima oleh akal sehat oleh siapa pun juga sesuai dengan situasi dan kondisi global sekarang ini.”
Menurut Kepala Negara, inilah gambaran-gambaran yang telah dipikirkan Kelompok Tingkat Tinggi Non Blok untuk bersama-sama Sekjen dan Caucus GNB untuk ikut serta secara aktif dalam penataan kembali PBB. Meskipun diakui, ini merupakan suatu perjuangan yang tidak mudah untuk dapat dilaksanakan.
Soal Utang
Masalah utang juga menurut Presiden, oleh GNB ditegaskan perlu mendapat prioritas untuk segera diselesaikan. Dikemukakan, dari 108 negara anggota GNB, 47 negara di antara mengalami keadaan ekonomi yang sangat berat. Bahkan 18 diantaranya malah yang berat sekali beban utangnya, serta ada pula 20 negara lainnya yang bukan GNB, juga demikian halnya. Kecuali harus diringankan bebannya, juga harus dicarikan langkah-langkah agar pembangunannya juga terus dilakukan. Untuk itu Indonesia juga akan ikut membantu mereka dengan sebuah tim tenaga ahli dalam perundingan mereka, karena masalah utang adalah masalah bilateral.
Menurut Presiden, langkah untuk membebaskan atau meringankan utang-utang negara tersebut sangat dimungkinkan. Karena ada komitmen negara-negara industri untuk membantu negara berkembang dengan menyisihkan 0,7 persen dari GNP mereka. Sekarang ini komitmen tersebut baru direalisasikan sebesar 0,37 persen dari seluruh negara maju, termasuk dari tujuh negara industri. Bahkan komitmen negara yang telah diberikan negara industri, malah lebih rendah, baru 0,33 persen saja.
GNP 18 negara maju itu saat ini menurut Kepala Negara, seluruhnya sekitar 15,5 trilyun dollar AS. Jadi kalau komitmen mereka sebesar 0,7 persen, berarti baru 95 rniliar dollar, sementara yang diberikan sekarang baru 45 milyar. Seandainya seluruh komitmen sebesar 0,7 persen tersebut diberikan, maka sudah cukup sekali untuk membantu negara-negara berkembang yang kesulitan tersebut, tidak perlu lagi ditambah dengan jumlah dana yang diperoleh dari program pembuatan senjata.
Beberapa keputusan KTT X yang harus segera dilaksanakan adalah kerja sama Selatan-Selatan di bidang pangan dan kependudukan. Pengalaman yang sukses dari sebuah negara di bidang ini, harus dipelajari negara lain. Untuk itu, menurut Presiden, Indonesia telah mempunyai program-program yang berhasil di bidang pangan dan kependudukan, yang bisa dipelajari negara lainnya dalam bentuk program magang. Tapi untuk itu pun sering dialami kesulitan dalam mendatangkan para petani atau petugasnya karena tiadanya biaya perjalanan, akomodasi dan sebagainya. Untuk itu perlu ada pihak ketiga, apakah itu badan internasional atau negara mampu yang membantu.
Sangat Fundamental
Presiden ke New York dalam rangka berpidato di depan Sidang Majelis Umum ke-47 PBB, dan ke Jepang untuk kepentingan nasional dalam rangka mengamankan pembangunan, dan sebagai Ketua Gerakan Non Blok dalam rangka pelaksanaan hasil-hasil KTT GNB di Jakarta awal September lalu.
Presiden menyatakan merasa perlu untuk segera menjelaskan, tidak hanya kepada anggota-anggota GNB sendiri, tetapi juga masyarakat dunia agar benar-benar mengetahui GNB setelah berakhimya Perang Dingin. Kecuali berpidato di depan SMU PBB, Kepala Negara di New York juga melakukan pembicaraan dengan beberapa kepala negara/kepala pemerintahan serta pimpinan organisasi internasional, dan bertemu dengan 400 pengusaha besar AS dalam rangka mendorong mereka menjadi mitra dagang dan usaha Indonesia.
Khusus mengenai hasil-hasil KTT X GNB dalam pembicaraannya dengan PM Jepang Miyazawa, Presiden mengatakan ada beberapa hal yang dinilainya sangat fundamental yang selanjutnya akan dijadikannya sebagai dasar dari GNB. Pertama, hilangnya keragu-raguan sementara anggota GNB maupun dunia pada umumnya tentang masih relevan tidaknya GNB setelah berakhimya Perang Dingin.
Kedua, adanya keyakinan bahwa GNB sekarang perlu lebih diarahkan kepada usaha untuk memerangi kemiskinan, kemelaratan dan keterbelakangan negara-negara anggota. Dengan demikian titik beratnya lebih diarahkan kepada bidang ekonomi. Ketiga, untuk membangun ekonomi tersebut perlu dimulai dengan diri sendiri melalui kerja sama Selatan-Selatan.
Keempat, perlu adanya kerja sama Selatan-Utara. Untuk ini menurut Presiden, kerja sama Selatan-Selatan akan memberi bobot dialog yang lebih besar bagi kerja sama Utara-Selatan. Dialog Utara-Selatan itu menurut Presiden, harus melalui kemitraan bersama, saling ketergantungan yang saling menguntungkan dan saling menghormati.
“Dengan demikian tidak ada kecurigaan bahwa negara berkembang itu hanya menuntut semata-mata di luar kemampuannya sendiri.” Kelima, adanya rasa percaya pada diri sendiri.
Sumber: KOMPAS (30/09/1992)
_______________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 438-442.