PRESIDEN SOEHARTO : RENDAHNYA KUALTIAS SUMBER DAYA MANUSIA BUKAN CACAT PERMANEN[1]
Jakarta, Kompas
Salah satu kendala pengembangan ekonomi dan pembangunan nasional adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia. Upah yang rendah bisa dikatakan sebagai keuntungan komparatif, tapi sebaliknya, juga mencerminkan rendahnya keterampilan, yang pada akhirnya berarti rendahnya efisiensi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini bukanlah cacat permanen. Sumber daya manusia merupakan kekuatan pembangunan yang besar kalau kualitasnya ditingkatkan.
Presiden Soeharto mengemukakan hal ini dalam sambutan Pembukaan Pertemuan VI Kongres Usahawan Asia untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia (ABCHD) di Istana Negara, Kamis. Di antara 250 peserta Kongres yang diterima Kepala Negara, nampak beberapa pengusaha terkemuka Indonesia, Bob Hasan, Edwin Soeryadjaya, Frans Seda, Sukamdani, Ornar Abdalla, Fadel Muhammad dan lain-lain. Karena tema kongres
“Ekologi Tanggung Jawab Bisnis terhadap Pembangunan Berkelanjutan di Asia,” Menneg KLH Prof Dr. Emil Salim ikut mendampingi Kepala Negara pada acara pembukaan tersebut.
“Sumber daya manusia merupakan potensi yang dapat ditingkatkan, ujar Kepala Negara. Pengalaman menunjukan, bisa saja sejumlah orang dari negara berkembang mempunyai kecakapan dan kemampuan yang tidak kalah dari mereka yang berasal dari negara maju.
“Persoalannya adalah bagaimana sumber daya manusia itu secara kolektif dapat ditingkatkan kualitasnya, sehingga merupakan kekuatan pembangunan yang besar. Jumlah penduduk yang besar tanpa kualitas memadai malah dapat menjadi beban pembangunan,” lanjut Presiden.
Pembangunan Ekonomi
Jika pembangunan Indonesia memusatkan kemampuannya pada pembangunan pertanian, maka peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan sasarannya, karena lapisan terbesar masyarakat Indonesia adalah kaum tani.
“Sejalan dengan pembangunan pertanian, setahap demi setahap kami membangun industri, “sambung Presiden. Masyarakat adil-makmur yang dicita-citakan, menurut Kepala Negara, harus berupa masyarakat industri yang kuat dengan dukungan pertanian yang tangguh.
Dikatakan, pembangunan di bidang industri yang juga menjadi titik berat pembangunan dilakukan dengan hati-hati. “Kami menyadari bahwa industrialisasi merupakan jalan yang harus kami tempuh untuk mengejar ketinggalan kami dari bangsa-bangsa lain yang telah maju ,untuk menciptakan lapangan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan penduduk kami yang terus bertambah besarjumlahn ya, ” ujar Presiden Soeharto. Namun juga disadari, pembangunan industri yang dilakukan tanpa memperhatikan lingkungan seringkali membawa akibat pahit, bahkan tak jarang membawa bencana yang sulit diatasi.
Kemajuan pembangunan di bidang industri ini, seperti dikatakan Kepala Negara, akan mendorong penggunaan teknologi dan mesin-mesin yang makin canggih dan menuntut bertambah baiknya kualitas sumber daya manusia yang akan mengoperasikan mesin-mesin yang menggunakan teknologi maju tersebut.
Untuk memenuhi keperluan industri itu, disamping meningkatkan mutu pendidikan formal.
“Kami juga mengajak usahawan untuk mengadakan program-program latihan kerja serta mengembangkan perencanaan karier karyawannya, “ujar Kepala Negara. Perkembangan teknologi yang pesat dewasa ini sering kali menyebabkan dunia pendidikan tertinggal oleh kemajuan dunia usaha. Karena itu dunia usaha perlu mengembangkan program-program latihan kerja untuk menjembatani dunia pendidikan dan dunia usaha.
Dalam era globalisasi dan persaingan ketat saat ini, menurut Kepala Negara, diperlukan para usahawan yang menguasai dan menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern.
“Perilaku bisnis yang menekan upah atau menurunkan kualitas barang untuk memperbesar untung sudah tidak memadai lagi,” ujar Presiden Soeharto.
Perilaku tersebut malahan dapat menimbulkan kesulitan bagi perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya, usahawan yang sukses adalah usahawan yang mampu menghasilkan produk berkualitas tinggi dengan harga bersaing.
“Produk seperti itu hanya mungkin dihasilkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dalam lingkungan kerja yang sehat dan aman. Dengan kata lain, usahawan yang sukses adalah usahawan yang mengandalkan kualitas sumber daya manusia,” demikian Kepala Negara.
Cara Keliru
Dalam panel diskusi hari pertama, peserta mendengarkan ceramah dari beberapa tokoh lingkungan di Asia. Pembicara pertama adalah Yoshiyasu Hirayama, Deputi Perwakilan Regional Asia-Pasifik Program PBB untuk Lingkungan (UNEP), Bangkok, yang memaparkan persoalkan mengenai polusi air dan udara. Presiden Yayasan Pengkajian Lingkungan dan Pembangunan Manila, Fliemon Uriarte Jr. berbicara mengenai manajemen limbah. Sedang Ema Witoelar dari Dana Mitra Lingkungan menguraikan mengenai daur ulang, tanggung jawab dan kesempatannya.
Panel diskusi bertemakan “is Business Killing Our Cities” mengacu kepada pengarahan Menneg KLH Prof. Dr Emil Salim saat jamuan makan Rabu malam.
Pada kesempatan itu, Emil memaparkan kondisi lingkungan dan pembangunan saat ini. Dikatakan, kalau manusia tidak mengubah cara pembangunan ekonominya, maka kondisi lingkungan global berada di ambang kehancurannya. “Perubahan cara membangun ekonomi juga berarti perubahan cara kita melihat proses pembangunan,” ujar Emil Salim.
Bertumpu pada keadaan itu Emil Salim sangat menghargai pemikiran kaum usahawan mengenai tanggung jawab ekonomi dan bisnis bagi pembangunan berkelanjutan.
“Kalau kita membangun negara kita seperti Jepang atau AS dan negara negara Eropa Barat, itu merupakan cara yang keliru,” ujarnya.
Kesuksesan ekonomi yang diraih negara-negara itu, menurut Emil Salim, memang meningkatkan pendapatan masyarakat, tapi sekaligus menyebabkan kerusakan lingkungan yang pengaruhnya dirasakan tak hanya oleh masyarakat negara-negara tersebut, tetapi juga oleh seluruh manusia di dunia.
“Pemanasan global, naiknya emisi karbon dioksida, perubahan iklim, semuanya disebabkan oleh degradasi kondisi lingkungan akibat transportasi, energi dan industri,” lanjutnya.
Kenyataan itu memperlihatkan bahwa bisnis menciptakan kehancuran lingkungan.
“Kalau pertanyaannya kemudian apakah bisnis membunuh kota-kota kita, maka jawabannya adalah ya. Jadi bukan hewan yang menghancurkan kota, juga bukan orang-orang lemah, melainkan para pemimpin bisnis yang menciptakan produk dan mencemari udara, ” tandasnya.
Karena itu, menurut Emil Salim, orientasinya harus diubah. Para pengusaha harus menyadari bahwa cara mereka mengembangkan bisnisnya akan memberikan dampak kepada lingkungan. Dan sumber daya merupakan bagian dari ekosistem. Karena itu, dampak tersebut harus diperhitungkan secara ekonomi. Pembangunan dan pengembangan bisnis saat ini, seperti telah dibicarakan dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, berdasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan. Artinya, kapasitas sumber daya alam harus diperhitungkan. (osd/rnh)
Sumber : KOMPAS (07/08/1992)
________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 538-540