TAJUK RENCANA : PERTEMUAN PRESIDEN-PENGUSAHA AS[1]
Jakarta, Suara Karya
HARI Minggu malam yang lalu, Presiden Soeharto dan rombongan meninggalkan tanah air menuju New York. Setelah singgah satu hari di Jenewa, Swiss, untuk penyesuaian iklim (aklimatisasi), Selasa ini Presiden dan rombongan melanjutkan perjalanan dan menurut jadwal akan tiba di New York hari ini juga pukul12.00 waktu setempat.
Pada hari Kamis 24 September Presiden Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non Blok akan menyampaikan pidato, pukul 10.00 waktu setempat, pada kesempatan pertama dimulainya pemandangan umum Sidang Umum PBB. Pada hari Rabu 23 September, Presiden akan menerima kunjungan beberapa kepala negara/pemerintahan di antaranya Presiden Korea Selatan, Presiden Armenia, Presiden Azerbaijan dan Presiden Letvia.
Pada hari Jumat 25 September Presiden akan shalat Jumat di Masjid Islamic Centre New York yang dibangun dari sumbangan berbagai negara termasuk Indonesia. Sedangkan, pada hari Sabtu 26 September Presiden akan menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh pengusaha-pengusaha Amerika Serikat, di Manhattan, New York. Dari sekitar 700 pengusahaAS yang meminta agar bisa menghadiri pertemuan itu hanya sekitar 400 pengusaha yang mendapat tempat.
KITA mengutip (kembali) kegiatan Presiden Soeharto selama diAmerika Serikat karena dari jadwal acara yang telah disusun itu dapat dilihat misi perjalanannya ke luar negeri jelas mengandung makna strategis. Disamping untuk kepentingan Gerakan Non-Blok-berbicara di depan Sidang Umum PBB yang sekaligus membawa bendera Indonesia – juga demi kepentingan Indonesia, dalam hal ini pertemuan dengan pengusaha-pengusaha Amerika Serikat.
Kita ingin menggaris bawahi pertemuan itu karena beberapa alasan. Salah satu di antaranya, dengan strategi pembangunan kita yang dalam pembangunan jangka panjang tahap (PJPT) II diusahakan mengkonversikan secara bertahap sumber dana dari pinjaman luar negeri ke sumber dana berupa investasi langsung dunia usaha luar negeri di Indonesia. Debt Service Ratio (DSR) – perbandingan antara kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri dengan nilai ekspor kita yang sekarang ini sudah mencapai 34 person diharapkan secara bertahap dapat diturunkan. Untuk itulah pertemuan Presiden dengan para pengusaha AS itu mempunyai makna strategis.
MAKNA strategis berikutnya, dunia usaha Amerika Serikat merupakan pressure group yang sangat kuat dalam kehidupan politik negara itu. Dengan kecenderungan proteksionisme yang makin meningkat terhadap impor dari luar – dalam hal Indonesia terhadap eksportekstil dan produk-produkt ekstil serta kayu lapis, misalnya pertemuan Presiden dengan pengusaha-pengusaha AS diharapkan dapat menjernihkan duduk persoalan. Dengan itu diharapkan pula tekanan-tekanan terhadap komoditi ekspor Indonesia ke negara itu akan dapat dilonggarkan.
Tentu saja dampak positif dari pertemuan itu belum akan terasa dalam jangka pendek. Tetapi, dengan keberhasilan promosi KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS termasuk TTl – Trade and Tourism Indonesia) tahun 1991, tampaknya masyarakat AS-dalam hal ini dunia usahanya-punya perhatian yang makin besar terhadap Indonesia. Hal ini, kemudian ditambah lagi oleh laporan Bank Dunia dan Dana Moneter lntemasional (IMF) tahun 1992 yang diterbitkan pekan lalu, mengatakan bahwa perkembangan ekonomi Indonesia merupakan salah satu yang termaju di Asia.
DAMPAK positif dari KIAS dan TTl serta penilaian Bank Dunia dan Dana Moneter Intemasional itu, barangkali tidak dilewatkan begitu saja oleh dunia usaha Amerika Serikat dengan sumber dana (capital resources) yang biasanya memang mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk di investasikan .
Dalam konteks semua itulah pertemuan Presiden Soeharto dengan sekitar 400 pengusaha AS hari Sabtu yang akan datang, mempunyai makna strategis.
Sumber : SUARAKARYA(22 /09/1992)
_____________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 542-543.