KEMUTLAKAN EFISIENSI[1]
Jakarta, Media Indonesia
EFISIENSI untuk kesekian kali menjadi pusat perhatian kita sebagai bangsa. Topik ini menggema lagi ketika dalam Sidang Kabinet Paripurna kemarin, Presiden Soeharto mengingatkan para menteri agar tidak jemu-jemunya melakukan tindakan penghematan dalam segala bidang. Biaya perjalanan dan belanja barang, pinta Presiden, harus dipergunakan untuk hal-hal yang benar-benar diperlukan dan mendesak. Seminar, workshop, rapat kerja, rapat dinas, dan sejenisnya supaya dibatasi pada hal-hal yang benar-benar dibutuhkan.
Kita paham bahwa efisiensi adalah proses ikhtiar yang membutuhkan waktu. Artinya, supaya efisiensi menjadi tablet kita, diperlukan kemauan untuk tidak jemu-jemu mendengungkannya. Dengan demikian kita menghargai kemauan Kepala Negara untuk kesekian kalinya mengingatkan para pembantunya agar berperilaku efisien dalam mengendalikan departemennya masing-masing.
Kita berpendapat permintaan efisiensi dari Kepala Negara kemarin, tidak sekedar imbauan biasa, tapi teguran bahwa dalam banyak pemborosan pada pos-pos belanja tertentu pembelian barang misalnya yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Soal pengawasan dan pengendalian juga diminta Presiden agar mendapat perhatian serius para menteri serta pimpinan lembaga pemerintahan.
“Pengawasan fungsional dan melekat perlu lebih ditingkatkan khususnya dalam proyek pembangunan dan dalam bidang-bidang yang langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat seperti pemberian berbagai perizinan usaha, pertanahan, bangunan, pelelangan, persetujuan kontrak dan lainnya,” kata Presiden.
Jika dikaji dalam-dalam apa yang disampaikan Kepala Negara dalam sidang kabinet paripuma tersebut, setidak-tidaknya kita bisa menarik kesan, bahwa inefisiensi, pemborosan, pembocoran, dan manipulasi erat kaitannya dengan renggangnya pengawasan di banyak sektor.
Sampai-sampai Jaksa Agung Singgih pernah mengeluh:
“Penyelewengan sulit dideteksi.” Kepala BPKP Gandhi juga pernah memberi pengakuan bahwa penyeleweng uang negara semakin canggih cara kerjanya.
Lemahnya pengawasan baik fungsional maupun melekat memang sangat kentara walaupun untuk membuktikannya bukan pekerjaan mudah. Coba lacak berapa banyak permainan tender, pemalsuan sertifikat tanah, pengembangbiakan faktur barang dan lain sebagainya.
Pemborosan juga bisa ditemukan di semua departemen yang namanya raker, radis, rakor dan sejenisnya hampir menjadi event bulanan yang hasilnya bisa dipertanyakan. Belum lagi seminar, perjalanan dinas ke luar negeri, penyambutan para pejabat yang berkunjung ke daerah, peninjauan proyek dan lain-lain yang menelan biaya cukup besar.
Biasanya banyak pejabat berkilah bahwa semua itu dilakukan tanpa mengeluarkan biaya, karena adanya partisipasi atau swadaya masyarakat. Padahal yang disebut partisipasi atau swadaya masyarakat itu adalah meminta sumbangan dari berbagai perusahaan atau donatur tertentu.
Kebiasaan ini, entah disadari atau tidak pada gilirannya menyuburkan kolusi antara pejabat dengan pemberi “sumbangan”.
Hal inilah, yang menyebabkan beberapa pengusaha di daerah atau konglomerat bisa dengan mempengaruhi birokrat. Implikasinya adalah monopoli semakin tajam, penguasa bagai kehilangan wibawa dan kepentingan rakyat semakin sering terabaikan.
Peringatan Presiden yang sudah berulang kali diucapkan itu paling tidak merupakan signal, tidak sedikit pembantunya yang belum mampu melaksanakan efisiensi.
Memasuki PJPT II dan era globalisasi agaknya tidak ada pilihan lain kecuali bertabiat efisien sebagai bangsa.
Sumber : MEDIA INDONESIA (06/01/1993)
______________________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 12-13.