MATERIALISME DAN KONSUMERISME  

MATERIALISME DAN KONSUMERISME[1]

Oleh: Bachrawi Sanusi

Jakarta, Suara Pembaruan

SALAH satu kelemahan negara-negara berkembang adalah terbatasnya modal. Modal bisa berarti uang, bisa pula berarti segala kekayaan dan juga keahlian. Walaupun di kebanyakan negara berkembang banyak kekayaan berupa sumber daya alam, seperti hasil pertanian/perkebunan hingga hasil tambang, khususnya energi seperti minyak dan gas bumi maupun batu bara, namun apa arti sumber daya alam itu kalau bangsanya tidak mempunyai modal untuk menghasilkannya apalagi mengolahnya. Keterbatasan dalam modal teknologi dan keahlian, memungkinkan banyak negara berkembang yang mungkin sepanjang zaman akan sangat tergantung pada negara maju atau industri.

Masalahnya dalam dunia teknologi dan sumber daya manusia, negara berkembang maju bagaikan merayap. Sebaliknya, negara-negara maju bagaikan terbang. Negara berkembang belum mampu menghasilkan sendiri kendaraan seperti motor, tapi negara maju sudah maju dalam mesin untuk pesawat ruang angkasa. Tidak mengherankan pada waktu negara berkembang mampu misalnya menghasilkan mobil sendiri, apalagi mobil dengan bahan bakar minyak, maka negara maju mungkin sudah melangkah mobil yang serba hemat energi. Bahkan, mobil-mobil dari negara maju telah memanfaatkan energi non minyak. Negara berkembang belum mampu menghasilkan mesin tik tradisional, negara maju sudah melangkah ke mesin tik elektronik bahkan kini serba komputer.

Semakin hari rasa tertinggal dalam kemajuan pembangunan di segala bidang atau sektor, apalagi teknologi antara negara berkembang dan maju, akan semakin jauh. Pernah sekitar dua puluh tahun yang lalu, penulis mengungkapkan kepada seorang tokoh terkemuka yang sudah almarhum, kalau tahun 2000 Indonesia mampu berhasil seperti Jepang, pada waktu itu sekitar tahun 1970-an, lalu bagaimana dengan Jepang pada tahun 2000-an. Kecuali jika Jepang berhenti tidak rnelakukan pembangunan hingga tahun 2000, sama halnya, A yang rnengendarai sepeda akan mengejar B yang mengendarai motor. Makin hari jarak perpisahan/tertinggalnya akan semakin jauh.

ITULAH kira-kira resiko dari sernakin dekatnya hubungan antar negara yang dikenal dengan istilah “globalisasi”. Dengan adanya kernarnpuan teknologi yang dahulu bisa dijangkau memakan waktu berbulan, kemudian berhari-hari, kemudian menjadi berjam-jam, maka kini dalam sekejap saja penduduk Indonesia bisa seperti berada di Amerika Serikat, misalnya.

Contohnya, seperti Anda menerima atau mengirirn telepon bahkan lewat fax. Anda bisa saksikan keadaan di kota-kota pelosok dunia lewat TV dengan memanfaatkan teknologi parabola. Semakin dekat hubungan lewat teknologi canggih dan pengaruh globalisasi, mau tak mau, pengaruh negatif yang sejak lama dikhawatirkan para ahli ekonomi pembangunan, akan semakin sulit dihindarkan.

Salah satu penyakit yang biasanya dijadikan salah satu penghambat pembangunan di negara-negara berkembang adanya istilah: demonstration effect yakni sikap rneniru yang dilakukan rakyat negara berkembang terhadap konsurnsi rakyat negara-negara maju. Seharusnya penghasilan rakyat negara berkembang bisa ditabung, kemudian bisa membentuk modal/investasi, karena penghasilan yang pas-pasan dibelikan barang­ barang konsumsi yang setaraf konsumsi negara maju, mau tak mau, akan berpengaruh kepada pembentukan modal secara nasional.

WAJARLAH jika rakyat sudah mengarah kepada upaya mengejar materialisme akhirnya akan menjurus ke konsumerisme. Celakanya konsumerisme justru menunjukkan berbagai jenis barang yang harus diimpor dan umurnnya digunakan di negara-negara maju. Pada gilirannya, hal ini bukan saja akan memukul produksi dalam negeri yang bermata rantai panjang, tapi juga akan mengeluarkan banyak devisa untuk keperluan konsumsi.

Kiranya tepat, Presiden Soeharto pada sidang umumnya ke-20 Himpunan Persaudaraan Pandu/Pramuka Wreda se-Dunia di Yogyakarta, mengungkapkan di tengah kehidupan kita terjadi perubahan-perubahan yang cepat dan makin meluas melanda dunia. Dalam situasi yang demikian itu, kita menyaksikan gejala materialisme dan konsumerisme yang makin kentara dan membudaya. Etika dan moralitas sebagai pengejawantahan nilai nilai luhur kemanusiaan, makin hari makin tidak terlalu diperhatikan lagi. (Suara Pernbaruan, 17Mei 1993).

Apa yang diungkapkan itu, jelas sangat berguna bagi bangsa-bangsa yang sedang membangun, terutama kelompok Non Blok, khususnya bagi Indonesia. Kiranya perlu direnungkan semua pihak apa yang diungkapkan Kepala Negara itu, minimal kini bangsa Indonesia sedang prihatin dengan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Layak jika sifat materialisme dan konsumerisme perlu dikendalikan. Apalagi sekiranya bisa dikendalikan secara nasional khususnya yang berdampak negatif terhadap keberhasilan pembangunan jangka panjang selanjutnya.***

Sumber : SUARA PEMBARUAN (09/05/ 1993)

_____________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 115-117.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.