PRESIDEN SOEHARTO : ATASI KONFLIK SECARA ETIS[1]
Jakarta, Media Indonesia
Presiden Soeharto menyatakan dalam menyelesaikan konflik dan pertentangan yang harus dilakukan bukanlah meredamnya, terapi menyusun tata cara untuk menyelesaikannya secara damai, etis, dan berkeadaban. Menurut Kepala Negara, dalam masyarakat yang semakin dinamis pasti akan ada persentuhan bahkan konflik serta pertentangan, namun itu merupakan hal yang alamiah dan tidak dapat dihindari.
Dalam kaitan itu Presiden mengatakan agar dalam menyelesaikan persentuhan konflik dan pertentangan, cara yang harus dilakukan bukanlah dengan meredamnya, tetapi menyusun tata cara dan tatakrama untuk menyelesaikannya secara damai, etis, dewasa, dan berkeadaban.
Kepala Negara mengemukakan hal itu ketika membuka Rapat Koordinasi/Forum Komunikasi dan Konsultasi antara Depdagri dan BP-7 Pusat dengan BP-7 Daerah serta Direktorat Sospol Daerah Tk I seluruh Indonesia di Istana Negara, kemarin.
“Demokrasi di Indonesia harus makin dewasa. Bangsa Indonesia secara menyeluruh maupun masing-masing daerah memiliki adat istiadat yang dirasa adil tentang cara menyelesaikan persentuhan, konflik, dan pertentangan yang timbul dalam masyarakat,” Jelas Presiden .
Untuk itu, ujar Kepala Negara merupakan tugas semuanya mengangkat esensi adat istiadat yang adil itu melembagakannya dan memberinya tempat dalam perkembangan kehidupan kebangsaan selanjutnya.
“Kebudayaan nasional memang berpangkal tolak pada dan dikembangkan dari puncak-puncak kebudayaan daerah ini,” ungkap Presiden.
Ideologi Terbuka
Lebih lanjut Presiden mengingatkan sejak tahun 1985 sebagai ideologi sesungguhnya, pancasila merupakan ideologi terbuka.
“Nilai-nilai dasarnya yang ditetapkan oleh para pendiri negara adalah tetap, tetapi penjabarannya dikembangkan bersama secara berkala sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.”
Karena itu, tegas Kepala Negara, jelas bahwa ideologi yang terbuka ini sekaligus dapat memberikan dasar yang kukuh bagi kehidupan kebangsaan, sambil bersamaan dengan itu memberikan peluang untuk tumbuh dan berkembangnya kekuatan baru yang dinamis.
Pancasila, menurut Presiden, bukanlah filsafat kenegaraan yang kaku, reaksioner dan dogmatis ;
“Pancasila adalah filsafat kenegaraan yang berorientasi ke masadepan, bersifat akomodatif terhadap dinamika serta mampu mendayagunakan kekuatan yang terkandung dalam kemajemukan masyarakat Indonesia,” jelas Kepala Negara .
Di dalam Pancasila, ungkap Presiden, setiap golongan mendapat tempat dari peluang untuk mengembangkan diri, prakarsa, dan kreativitasnya, yang diyakini bahwa gerak dinamik bangsa Indonesia bersumber dari gerak dinamik warga serta gerak dinamika berbagai lapisan dan golongan yang ada di dalamnya.
Memang itulah, kata Kepala Negara, sesungguhnya yang dimaksudkan dengan kedaulatan rakyat.
“Peranan pemerintah seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 45 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” tambah Presiden.
Untuk itu, tutur Kepala Negara jajaran BP-7 Pusat dan Daerah memiliki peranan besar dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan membangun bangsa Indonesia dengan mantap dan dimanis.
Presiden menandaskan bahwa tantangan masa depan mengharuskan bangsa Indonesia menciptakan kondisi dan peluang sebesar-besarnya bagi pengembangan kreativitas serta prakarsa masyarakat.
“Sehingga bangsa Indonesia mampu meningkatkan daya saingnya secara damai dengan bangsa lain, baik di kawasan Asia Tenggara maupun di dunia yang amat dinamis ini.”
Dalam dunia yang saling terkait dan saling bersaing, ujar Kepala Negara, bangsa Indonesia harus meningkatkan kemampuan sekaligus bekerja sama dan bersaing.
“Sesuai dengan arah yang terkandung dalam GBHN 1993, maka kita perlu mengadakan rangkaian penataan dan pembenahan di segala bidang, agar kita lebih mampu memasuki babak baru pembangunan nasional,” kata Presiden. (Rld).
Sumber : MEDIA INDONESIA (06/08/1993)
___________________________________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 198-200.