PEMERIKSAAN BARANG IMPOR HARUS DENGAN PERINTAH DIRJEN BC[1]
Jakarta, Antara
Direktur Jenderal Bea dan Cukai (BC) Soehardjo menegaskan bahwa pemeriksaan barang impor yang dimasukkan ke Kawasan Berikat (KB) hanya dapat dilakukan oleh petugas Bea dan Cukai yang mendapat perintah tertulis dari dirinya selaku Dirjen BC. Dengan demikian, pemeriksaan barang impor yang dimasukan ke Kawasan Berikat betul-betul sangat selektif, kata Soehardjo kepada ANTARA, di Jakarta, Sabtu. Menurut Dirjen BC, ia telah mengeluarkan instruksi ini melalui radiogramnya akhir minggu lalu kepada seluruh kepala Kantor Wilayah dan Inspeksi Diljen Bea dan Cukai di seluruh Indonesia.
Pemeriksaan ini bukan ditujukan untuk menentukan besamya bea masuk yang harus dibayar, tetapi hanya terbatas untuk mengetahui secara pasti saldo awal atas barang-barang yang ada di dalam Kawasan Berikat yang diragukan kebenarannya. Pemeriksaan yang dilakukan hanya meliputi jenis barang, mutu atau tipe barang dan jumlah barang. Dengan demikian pemeriksaan yang akan dilakukan sangat berbeda dengan pemeriksaan di pelabuhan, baik mengenai sifat maupun tujuannya, tegas Soehardjo.
la mengemukakan, penegasan ini perlu dikeluarkan untuk menghilangkan keragu-raguan kepada pengusaha yang berusaha di Kawasan Berikat sehubungan dengan keluamya Keputusan Presiden No. 52 tahun 1993 dan Keputusan Menteri Keuangan No.649 dan 711 tahun 1993 tentang Kawasan Berikat.
Dalam peraturan yang merupakan bagian dari Paket Deregulasi 10 Juni 1993 itu, antara lain ditegaskan bahwa atas barang impor yang dirnasukkan ke Kawasan Berikat tidak dilakukan lagi pemeriksaan pra pengapalan oleh Surveyor di pelabuhan pemuatan. Pemeriksaan barang impor ini dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai di Kawasan Berikat.
Namun dalam melakukan tugas pengawasan ini pihak Bea dan Cukai seminimal mungkin akan menghindari penyentuhan barang secara fisik dan akan menerapkan sistem “post audit” yang mengacu kepada norma akuntasi Indonesia.
Dengan demikian, tindakan pengawasan yang dilakukan aparat Bea dan Cukai tidak akan mengganggu kelancaran arus barang dan sekaligus bisa mengamankan fasilitas yang diberikan Pemerintah itu sesuai dengan tujuannya, yaitu meningkatkan kegairahan investasi dan penerirnaan devisa dari sektor non migas, kata Soehardjo.
“Go to Basic”
Dirjen Soehardjo menilai Paket Deregulasi 10 Juni 1993 dan berbagai kebijaksanaan Pemerintah lainnya yang meningkatkan peranan Bea dan Cukai di bidang pengawasan, sebagai “go to basic”.
Sejalan dengan peningkatan peranan pengawasan ini,Presiden Soeharto melalui Keputusannya No. 58 tahun 1993 telah menyetujui pula pemekaran struktur organisasi Ditjen Bea dan Cukai.
Berdasarkan Keputusan Presiden itu dalamjaj aran Diljen Bea dan Cukai dibentuk Direktorat Verifikasi dan Direktorat Tarif dan Harga yang tadinya hanya merupakan salah satu bagian dari Direktorat Pabean.
Dengan demikian, pada Kantor Pusat Diijen Bea dan Cukai yang tadinya memiliki hanya ada tujuh direktorat/pusat, sekarang menjadi sembilan direktorat/pusat. Kesembilan direktorat/pusat itu adalah sekretariat Ditjen BC, Direktorat Perencanaan, Penerimaan BC, Direktorat Pabean, Direktorat Tarif dan Harga, Direktorat Cukai, Direktorat Pencegahan dan Penyidikan Penyelundupan, Direktorat Verifikasi, Pusat Sarana Perhubungan BC, dan Pusat Pengolahan Data dan Informasi BC.
Dari struktur baru initercermin fungsi pengawasan yang akan diterapkan Bea dan Cukai, sejauh mungkin akan menjauhi penyentuhan barang secara fisik, kata Soehardjo.
Pemeriksaan fisik baru akan dilaksanakan bila pihak Bea dan Cukai melalui operasi intelejen yang akan terus dikembangkan dan pengolahan data atas satu partai barang yang dilaporkan oleh pemiliknya, diragukan kebenarannya. Tugas ini sesuai dengan Instruksi Presiden No.3 tahun 1991 yang menegaskan kewenangan pemeriksaan yang bersifat final berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, demikian Soehardjo. (T.RPK03/PE06/14:40/31/7/93/eu03/15.10)
Sumber:ANTARA(31/07/1993)
_________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 516-518.