MENCARI PENYELESAIAN BEDA PENDAPAT SECARA DEWASA Oleh M. Gunadi Henoch 

MENCARI PENYELESAIAN BEDA PENDAPAT SECARA DEWASA

Oleh M. Gunadi Henoch  [1]

Jakarta, Antara

Mekanisme penyelesaian beda pendapat, apakah disampaikan melalui DPR atau unjuk rasa,kini menjadi pertanyaan bersama di kalangan masyarakat setelah kasus SDSB mencuat ke permukaan.

Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu menyatakan, bahwa pertentangan atau konflik tidak perlu diredam karena hal itu tidak dapat dihindari dan, sebaliknya, bersifat alamiah.

“Yang harus kita lakukan adalah menyusun tatacara atau tatakrama bagi penyelesaian persentuhan, konflik atau pertentangan itu secara damai, etis, adil, dewasa, dan berkead aban,”katanya.

Menurut Kepala Negara, perbedaan pendapat adalah absah dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, namun hendaknya hal itu tidak terjerumus menjadi permusuhan atau perpecahan.

Perbedaan pendapat justru menjadi kekuatan untuk mencapai kesepakatan bersama yang lebih bermutu bagi kepentingan bersama, tegas Presiden Soeharto.

“Tetapi satu hal yang harus kita pegang teguh, penyeiesaian perbedaan pendapat untuk mencapai kesepakatan itu haruslah demokratis dan konstitusional,”katanya.

Menurut Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Forum Demokrasi Abdurrahman Wahid dan mantan Mendagri Rudini, aktivitas unjuk rasa mungkin saja efektif dalam menyampaikan aspirasi rakyat yang kebetulan berbeda dengan kebijakan pemerintah.

Akan tetapi, demikian mereka mengingatkan, aktivitas unjuk rasa bila diteruskan menjadi kebiasaan akan menjadi preseden buruk yang menyumbat berjalannya sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia.

Untuk itu, mereka berdua yang dihubungi secara terpisah sesuai acara Sambung Juang Eksponen ’66 di Jakarta, Rabu (17/11), menyuarakan harapan mereka agar unjuk rasa SDSB tidak berlanjut menjadi un]uk rasa isu-isu kemasyarakatan lainnya.

Abdurrahman Wahid, yang biasa dipanggil Gus Dur mengatakan, aktivitas unjuk rasa itu bisa terjadi karena pada saat ini sedang terjadi perpencaran kekuasaan.

“Sebelum ini, kekuasaan memusat di lembaga eksekutif saja, namun akhir-akhir ini kekuasaan memencar ke lembaga DPR dan juga rakyat banyak,”katanya.

Sekalipun perpencaran kekuasaan itu positif dalam pandangannya dan memungkinkan rakyat menyampaikan aspirasi yang berbeda kepada pemerintah, Gus Dur menyatakan ketidaksetujuannya bila “budaya” unjuk rasa tersebut diteruskan.

Menurut Rudini, demi menghindari munculn ya “mekanisme”unjuk rasa di kemudian hari, dianjurkan agar dilakukan pengkajian atas usaha peningkatan peran lembaga DPR.

Berbeda dengan Rudini, akademisi Prof . Dr. Nazaruddin Sjamsuddin berpendapat, kritik terhadap lembaga perwakilan rakyat tidak dapat dibenarkan karena sistem ketatanegaraan Indonesia belum memungkinkan DPR melakukan desakan langsung terhadap pemerintah. “DPR tidak dapat disalahkan dalam kasus SDSB ini,”katanya menegaskan.

Sudah Diserap

Berkaitan dengan usaha-usaha penyelesaian beda pendapat secara dewasa, etis, damai, adil, dan berkeadaban-seperti diminta oleh Kepala Negara-tampaknya tinggal menunggu waktu karena ABRI selaku pihak yang bertanggungjawab atas keamanan dalam negeri telah meminta masyarakat untuk menghentikan aksi unjuk rasa.

Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung awal pekan ini mengajukan permintaan tersebut dengan alasan apresiasi masyarakat telah diserap pemerintah dan aksi tersebut dirasakan cukup.

“Selain itu, dikuatirkan aksi unjuk rasa tersebut ditunggangi pihak ketiga,” demikian Pangab sebagairnana dikutip Kapuspen ABRI Brigjen TNI Syarwan Hamid.

Menurut dia, masyarakat perlu menyadari bahwa unjuk rasa yang massal sangat sulit dikendalikan dan cenderung mudah diperalat menjadi suatu gerakan yang “counter productive”.

“Bila suatu gerakan massal ditunggangi pihak yang bermaksud merugikan kepentingan bangsa, ABRI akan bertindak tegas,”demikian pendapat resrni ABRI setelah aksi unjuk rasa SDSB memasuki pekan kedua.

Pendapat tersebut diperkuat dengan pernyataan Pangdam Jaya Mayjen TNI AM Hendropriyono yang mengatakan para pengunjuk rasa yang mengganggu ketertiban umurn akan diseret ke depan pengadilan.

“Pokoknya tidak ada urusanlah. Yang jelas mereka tidak bisa semaunya berdemonstrasi karena negara ini adalah negara hukum, ” tandasnya seusai acara “coffee morning” di Jakarta, Rabu (17/11).

Menurut jenderal berbintang dua yang populer itu, penyampaian suatu kehendak sebaiknya melalui jalur yang benar, yakni DPR, dan bukannya mendatangi pemerintah lalu melakukan usaha-usaha perusakan bila perrnintaannya tidak dipenuhi.

Aksi unjuk rasa yang sesuai dengan demokrasi Pancasila, menurut Hendro, adalah mendatangi DPR dan kemudian wakil-wakilnya menyampaikan aspirasi mereka.

Ia kemudian mencontohkan aksi unjuk rasa yang berjalan tertib seperti terjadi di negara-negara Barat. Pendapat serupa juga dikemukakan Menko Polkam Soesilo Soedarman yang menyatakan unjuk rasa dalam sistem politik demokrasi Pancasila diperbolehkan bila sebelumnya meminta izin dulu kepada aparat kepolisian.

“Saya baru saja mendapatkan ‘facsimile’ mengenai prosedur unjuk rasa di negara­ negara Barat. Prosedur itu mengharuskan adanya izin dan mengutarakan maksud serta tujuan, jumlah massa, jalan-jalan mana yang hendak dilalui, dan waktu yang dihabiskan,”katanya.

Selain itu aktivitas unjuk rasa haruslah dilakukan secara murni, yakni dengan tidak melibatkan orang-orang yang tidak berkepentingan, misalnya siswa SMA yang sedang menunggu bis.

Tiga Faktor

Menurut para akademisi, setidak-tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat secara umum, dan kasus SDSB secara khusus, tidak bisa diselesaikan secara dewasa.

Yang pertama, menurut Dr Sri Bintang Pamungkas, yang kebetulan juga anggota Komisi APBN DPR dari fraksi Persatuan Pembangunan, pemerintah cenderung enggan berkonsultasi dengan wakil rakyat.

Dalam kasus SDSB, kata Bintang, ijin pelaksanaannya dikeluarkan tanpa melalui konsultasi dengan DPR, padahal  segala jenis pengumpulan  dana masyarakat untuk keperluan pembangunan seharusnya dikonsultasikan dulu dengan para wakil rakyat. “Karena itu saya menyesalkan pernyataan-pernyataan yang menyebutkan bahwa SDSB akan dihapuskan bila DPR memintanya, padahal sebelumnya saat pelaksanaan SDSB, pemerintah tidak pernah berkonsultasi dengan DPR,” katanya.

Yang kedua, menurut Kepala Jurusan Ilmu Politik FISIP UI Dr Maswadi Rauf, kontroversi atas suatu masalah muncul kerapkali karena pemerintah bertahan dalam sikapnya dan tidak mau memasuki tahap tawar menawar (bargaining process).

Menurut dia, pemerintah alam hal ini Departemen Sosial-sebaiknya sedari mula menampung dan mengolah serta memanfaatkan berbagai usulan yang masuk tentang alternatif SDSB.

Sedang yang ketiga, seperti dikatakan Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin, jalur komunikasi antara DPR sebagai lembaga kontrol dan pemerintah  sebagai yang dikontrol belum berjalan sebagaimana mestinya.

“Kita tahu sistem ketatanegaraan di Indonesia belum memungkinkan DPR melakukan desakan langsung kepada pemerintah. Karena itu setelah ada tekanan massa barulah DPR bisa bicara,” katanya.

Ia mengatakan, masyarakat tidak bisa menyalahkan DPR karena sedari mula ia tabu DPR sudah menampung aspirasi tentang SDSB, hanya saja saluran komunikasi yang macet dan berjalan searah menyebabkan aspirasi itu tidak bisa didesakkan kepada pemerintah.

Akibatnya, kata dosen FISIP UI itu, pemerintah didorong secara kuat untuk menghapuskan SDSB, namun diingatkannya “mekanisme “pengambilan keputusan tidak bisa terus menerus mengambil jalan unjuk rasa lalu DPR lalu pemerintah. (T/PU17/SP01/19/    ll/9312:55)

Sumber:ANTARA (19/ 11/1993)

________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 688-691.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.