MEMFORMALKAN SEKTOR INFORMAL

MEMFORMALKAN SEKTOR INFORMAL[1]

 

Jakarta, Suara Pembaruan

BELUM lama ini Presiden Soeharto secara khusus memanggil 14 menteri untuk membicarakan berbagai program untuk mengangkat derajat sekitar 27,6 juta rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Setelah itu, Kepala Negara membahas secara khusus masalah tenaga kerja sektor informal dengan Menteri Tenaga Kerja.

Dalam kerangka ini, Presiden Soeharto telah meminta Departemen Tenaga Kerja agar memecahkan masalah tenaga kerja infomal seperti pemulung, kaki lima dan penjaja dijalanan.

Mereka perlu diorganisasi secara baik sehingga pendapatan rakyat kecil ini meningkat, kata Menaker Abdul Latief, mengutip pesan Kepala Negara seusai ia diterima Presiden, di kediaman Jalan Cendana, Jakarta, Kamis (15/4).

Dianjurkan Presiden agar hasil kerajinan mereka seminggu sekali perlu ditampung di suatu lokasi yang strategis. Cara ini diharapkan akan memancing daya tarik tersendiri sehingga baik turis maupun masyarakat berniat membelinya.

APAKAH dengan demikian pemerintah cenderung memformalkan sektor tersebut yang memang tidak terlepas dari masalah urbanisasi? Dalam hubungan ini Menaker Drs. Abdul Latief, pernah mengatakan sesaat sesudah ia diangkat menjadi menteri kepada sebuah mingguan lbu Kota, salah satu alternatif mengatasi masalah sektor informal, adalah dengan memformalkan mereka.

Salah satu kata baru dalam perbendaharaan ekonomi pembangunan ialah “sektor informal” dan munculnya kata itu tidak terlepas dari upaya Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk melawan kemiskinan sejak 1970-an. Menanggulangi masalah tenaga kerja informal ini, perlu didahului oleh penelitian mendalam tentang akar masalahnya. Perbedaan tingkat upah dan kesempatan kerja di desa dan di kota merupakan faktor yang mendorong angkatan kerja untuk pindah ke kota.

Hasil penelitian suatu lembaga sosial, memperlihatkan fenomena yangjelas betapa besarnya gelombang urbanisasi dari tahun ke tahun. Data hasil penelitian itu menunjukkan, DKI Jakarta setiap tahun didatangi sekitar 100 ribu sampai 200 ribu pendatang yang mengadu nasib untuk memperoleh pekerjaan di lbu Kota. Gelombang pendatang tersebut tidak mungkin atau sulit ditampung di sektor formal, karena selain Jakarta dinyatakan sebagai kota tertutup sehingga sulit memperoleh KTP tetap maupun musiman, juga karena kebanyakan diantara mereka merupakan angkatan kerja yang tidak berketerampilan.

Dengan demikian, gelombang pendatang itu terserap dalam sektor ekonomi informal, yang mencakup antara lain kegiatan pedagang kaki lima, tukang becak, penyemir sepatu, pemulung dan pembantu rumah tangga. Apabila kelompok tenaga kerja informal ini diorganisasi dalam formalitas tertentu, walaupun hanya mencakup jalur perdagangannya, maka nasib mereka diharapkan akan lebih membaik. Setidak­ tidaknya mereka memperoleh kepastian hukum di lokasi tertentu yang diperuntukkan bagi mereka agar tidak diuber-uber dalam razia yang dilakukan oleh petugas Tibum.

NAMUN dalam hal ini perlu dipikirkan juga dampak atau ekses negatifnya, khususnya para pedagang kaki lima agar tidak menganggu lalu lintas umum dengan menggelar dagangannya di pinggir jalan raya, emper toko, pasar swalayan, teminal bus dan sebagainya.

Juga penjaja keliling dengan bakul atau kereta dorong perlu dilokalisasi di tempat­-tempat khusus atau rute penjualan tertentu dan jangan sampai menyerbu taman atau ruang terbuka bahkan di halaman perkantoran. Selama ini boleh dikata, hanya jalan-jalan protokol dan kompleks gedung-gedung tertentu yang dibersihkan secara terus­ menerus dari pedagang-pedagang informal ini.

Ekses lainnya dalam bentuk pengenaan pajak atau pungutan tidak resmi oleh para oknum petugas Tibum Pemda, dapat diatasi atau dikurangi apabila kepada para pengusaha informal itu disediakan wadah penampungan atau lokasi tempat berusaha secara resmi. Dan pungutan itu dapat dilegalisasi menjadi pungutan retribusi pasar misalnya.

LAJUNYA derap pembangunan pacta satu sisi telah membuahkan kesejahteraan dan meningkatkan sebagian besar taraf hidup rakyat. Pada sisi lain, kenyataannya juga menujukkan bahwa proses itu membelah masyarakat menjadi kaya-miskin dan formal-informal.

Oleh sebab itu, tidak berlebihan kalau unsur pemerataan dari Trilogi Pembangunan perlu ditekankan berulang kali agar jurang kesenjangan sosial perlu diperkecil. Hal itu bukan hanya merupakan tugas pemerintah, tapi juga memerlukan uluran tangan masyarakat luas. Mobilisasi kemauan saja, tidak akan banyak berarti, tapi penanggulangann yajelas lebih memerlukan tindakan yang konkret.

Sumber: SUARA PEMBARUAN (20/04/1993)

__________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 874-876.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.