KWIK: TERLALU RISKAN PATOK HARGA MINYAK 16 DOLAR AS/BAREL[1]
Jakarta, Antara
Keputusan pemerintah mematok harga ekspor minyak bumi Indonesia 16 dolar AS/barel dalam RAPBN 1994/1995 dinilai oleh beberapa pengamat terlalu riskan pada saat harga minyak di pasar internasional sampai memasuki kuartal pertama tahun ini terus turun.
“Pada bulan-bulan dingin sekarang saja harga terus anjlok hingga 13 dolar AS/barel, sehingga dikhawatirkan harga akan lebih rendah lagi pada saat memasuki tahun anggaran 1994/1995 yang bersamaan dengan datangnya musim panas,”ujar pengamat ekonomi Kwik Kian Gie mengomentari harga patokan minyak tersebut usai rapat paripurna DPR masa sidang III di Jakarta, Kamis.
Dikatakan bahwa penentuan harga patokan minyak itu sangat mengejutkan mengingat pasar minyak sekarang dibanjiri jumlah pasokan yang berlebih terutama dari negara-negara Laut Utara dan bekas Uni Sovyet yang sekarang bebas mengekspor minyaknya.
Kelebihan pasokan ini belum termasuk kemungkinan jika Irak kembali mengekspor minyaknya, dan apabila hal itu terjadi maka dikhawatirkan harga minyak akan makin terguncang, kata Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) itu.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh anggota Komisi VI DPR, Tadjudin Noer Said, yang menilai bahwa pemerintah terlalu optimis mematok harga minyak dalam RAPBN 1994/1995 sebesar 16 dolar AS/barel.
Ia mengingatkan terhadap kemungkinan diberlakukannya pajak karbon oleh negara-negara Eropa, yang dapat makin mengurangi penggunaan minyak dunia. Jika harga patokan itu tidak tercapai, dikhawatirkan akan terulang devaluasi pada tahun 1986 ketika saat itu harga minyak jatuh hingga di bawah 10 dolar per bareI, kata Tadjudin.
Realistis
Sementara itu Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita berpendapat bahwa harga patokan minyak dalam RAPBN 1994/1995 sebesar 16 dolar AS/barel cukup realistis dengan mempertimbangkan harga minyak di pasar internasional.
“Penetapan harga tersebut merupakan angka yang tepat tanpa melupakan kemungkinan harga minyak yang cenderung turun akhir-akhir ini,” katanya menjawab wartawan usai mengikuti pidato Presiden Soeharto di depan sidang paripurna DPR RI untuk mengantarkan Nota Keuangan dan RAPBN 1994/1995.
Ia menilai, harga minyak yang rendah sekarang yakni 13dolar AS/bareI atau delapan dolar di bawah harga referensi OPEC selain disebabkan kelebihan produksi juga tidak terlepas dari peran para spekulan minyak. Oleh karena itu, jika OPEC nanti sudah melakukan konsolidasi, diharapkan harga minyak akan kembali membaik. Selain itu, menurut Ginandjar, pengalaman menunjukkan bahwa jika harga minyak jatuh biasanya diikuti dengan turunnya investasi di sektor perminyakan.
Kondisi demikian akan menimbulkan keadaan di mana persediaan minyak dunia menjadi kurang, sehingga akhirnya harga minyak dapat meningkat. Ia mengatakan, sulit bagi Indonesia untuk menghindari turunnya harga minyak karena hal itu merupakan masalah internasional, karenanya yang bisa dilakukan hanya meningkatkan efisiensi dan menekan biaya produksi minyak.
Di samping itu, pemerintah masih mempunyai Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP) sebesar Rp 3,5 triliun yang sewaktu-waktu dapat digunakan jika harga patokan tidak tercapai sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan terjadi devaluasi meski harga minyak anjlok. Senada dengan Ginandjar, Dirjen Migas Suyitno Patmosukismo berpendapat, sejalan dengan membaiknya perekonomian negara maju pada tahun ini diharapkan permintaan minyak akan rneningkat sehingga otomatis akan mernbuat harga kembali stabil. (T-PE01/PE02/PE04!EU01! 6/01/9415:50)
Sumber: ANTARA(06/0l/1994)
_______________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 171-172.