PRESIDEN: PENTING, BELAJAR SOAL UTANG DARI MASA LALU[1]
Jakarta, Kompas
Saling belajar dari pengalaman masa lalu dan mengambil hikmah dari pengalaman negara-negara yang telah berhasil mengatasi krisis utang dan mampu mengelola utangnya dengan baik, merupakan langkah penting untuk melepaskan diri dari beban utang.
Presiden Soeharto selaku Ketua Gerakan Nonblok (GNB) periode 1992-1995 menegaskan masalah itu saat membuka Pertemuan Tingkat Menteri Negara-negara Anggota GNB tentang masalah utang dan pembangunan di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (13/8). Dari Istana Negara, pertemuan itu lalu dilanjutkan di Hotel Borobudur, Jakarta, hingga tanggal 15 Agustus 1994.
Dalam kaitan ini, kata Kepala Negara, Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami persoalan mengelola utang,menyediakan diri untuk membagi pengalaman. “Kami berharap, mudah-mudahan pengalaman kami dalam memecahkan masalah utang dapat merupakan sumbangan bagi proses penyelesaian masalah utang negara negara berkembang secara menyeluruh dan tuntas, kata Kepala Negara.
Dalam rangka itu pula, di tingkat nasional,Indonesia telah membentuk tim ahli yang terdiri dari para ahli masalah utang dan pembangunan Sedang dalam rangka Nonblok, Presiden Soeharto selaku Ketua GNB, telah membentuk Kelompok Penasehat Tenaga Ahli tentang Masalah Utang dengan ketua Dr Gamani Corea asal Sri Lanka.
Menurut Presiden, kelompok ahli itu telah menyampaikan laporan penelaahannya mengenai masalah utang dan pembangunan. Kepala Negara mengharapkan, pertemuan sekarang ini bisa menjadi ajang pertemuan yang bisa meningkatkan kemitraan untuk pembangunan sekaligus menyelamatkan dunia dari kekacauan ekonomi. Hal ini penting, karena menurut Presiden, keberhasilan pertemuan ini akan menentukan martabat, kehormatan, peningkatan taraf hidup dari kehidupan berjuta juta umat manusia di dunia.
Fakta Utang
Di Hotel Borobudur, Gamani Corea, Ketua Kelompok Penasehat Tenaga Ahli tentang Masalah Utang (AHACED- Ad Hoc Advisory Croup of Experts on Debt) mengatakan, krisis utang internasional yang muncul pada awal tahun 1980-an, telah berubah karakternya pada peralihan dasawarsa ini.
Perubahan itu terlihat dengan rneredanya krisis utang di negara berkembang besar, terutama di Amerika Latin. Sebaliknya pacta saat bersamaan Uni Soviet yang kemudian pecah menjadi 12 negara baru justru menggantikan posisi mereka sebagai kelompok negara pengutang terbesar.
Namun yang paling penting untuk disoroti adalah bahwa krisis utang di keban yakan negara berpendapatan rendah dan rnenengah rendah justru memburuk dengan cepat akibat beban pembayaran utang luar negeri yang juga meningkat cepat. Sebagian besar mereka mencatat tunggakan yang cukup besar, sampai-sampai langkah penjadwalan kembali (rescheduling) utang juga gagal untuk menyelesaikan masalahnya. Pada awal tahun 1990-an, tercatat sekitar 55-60 negara masuki dalam kelompok yang sangat kesulitan untuk mengembalikan utang, dengan tunggakan 20 persen dari kewajibannya. Dari 58 negara yang dianggap memiliki beban utang sangat berat pada tahun 1992, 32 negara di antaranya tergolong tertinggal (LDCs- Least Developed Countries). Karena menurut PBB jumlah LDCs ada 47 negara, maka dua pertiga dari seluruh LDCs di dunia sekarang ini menghadapi problem utang yang sangat serius. Dari Ke- 58 n egara yang berproblem utang serius itu, 35 negara di antaranya memiliki pendapatan per kapita per tahun berkisar antara 60-650 dollar AS.
Sebanyak 29 dari 58 negara tersebut memiliki pertumbuhan pendapatan perkapita riil antara minus 7,8 hingga minus 0,1 persen pada tahun 1985-1992, sementara sisanya tumbuh antara 0-2 persen. Selama tahun 1983-1992, sebanyak 25 persen berkembang terus memiliki tunggakan utang di atas 20 persen, dengan rata-rata tunggakan 56,5 persen pada tahun 1983.Angka ini naik lagi menjadi 71,3 persen pada tahun 1986 dan mencapai 91,7 persen pada tahun 1992. Tunggakan merupakan indikator kunci bahwa beban kewajiban pembayaran kembali utang dan cicilannya sudah benar-benar melampaui kemampuan negara tersebut untuk bisa membayar. Memang ada kasus di mana tunggakan terjadi karena negara pengutang malas membayar, namun kasus seperti ini jarang. Adanya tunggakan utang itu menurut AHAGED membuat ekonomi negara negara itu lumpuh. Terutama karena penunggakan bisa berkonsekuensi negara tersebut kesulitan memperoleh pinjaman baru yang selanjutnya juga akan mempengaruhi kemampuan pembiayaan impor, di samping terbuka kemungkinan pihak kreditur melakukan tindakan balasan baik di bidang keuangan maupun perdagangan.
Namun AHAGED juga menyebutkan tidak lantas negara berkembang yang tak memiliki tunggakan utang lolos dari krisis utang, sebab sebagian mereka juga masih menanggung beban kewajiban pembayaran kembali yang sangat memberati ekonomi.
Fakta-fakta di atas telah menyudutkan negara-negara berkembang yang dibebani utang besar. Sebab selain sulit memperoleh kembali kepercayaan pihak kreditur, kini mereka juga harus bersaing dengan negara-negara Eropa Timur yang sedang dalam proses transisi menuju ekonomi pasar, dalam memperebutkan dana pinjaman dari pasar uang internasional.
Tabel Utang 31 Negara Peserta KTM Jakarta 13-15Agustus 1994 Guta dollar AS)
Karena itu GNB mengusulkan agar 70 persen utang setiap negara “termiskin ” yang berjumlah 55-60 negara dihapuskan. Penghapusan sebesar itu dianggap cukup untuk menolong negara-negara tersebut bangkit kembali, sebab pengalaman selama ini dengan penjadwalan kembali utang semata tidak banyak berhasil.
Penghapusan utang ini menurut AHAGED harus dilakukan baik terhadap utang yang berasal dari kreditur resmi secara bilateral, kreditur swasta maupun kreditur multilateral. Penghapusan terhadap utang yang berasal hanya dari satu kreditur, misalnya utang yang disepakati secara bilateral seperti yang banyak teijadi selama ini, tidak akan cukup efektif,” ujar Ketua AHAGED Dr Gamani Corea. Penghapusan ini katanya juga harus dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi internasional seperti Bank Dunia dan IMF, karena meskipun selama ini lembaga lembaga tersebut dianggap sebagai privileged creditors, tunggakan atas pinjaman yang mereka salurkan meningkat sangat cepat, dari di bawah satu milyar dollar AS pada tahun 1982 menjadi tujuh milyar dollar pada bulan Maret 1993.
AHAGED selanjutnya menilai perlu ditempuhnya tiga langkah lewat kohesi Selatan-Selatan dan kerja sama Selatan-Selatan. Pertama, perlunya pendekatan secara internasional terhadap problem utang, termasuk kesepakatan mengenai pentingnya dilakukan penghapusan utang ketimbang sekedar hanya penjadwalan kembali utang. Kedua, mobilisasi ahli keuangan Selatan untuk membantu negara-negara di kawasannya sendiri, baik dalam kerangka bilateral maupun dikoordinasikan secara bersama.
Ketiga adalah kerja sama antara kreditur dan debitur di kawasan Selatan sendiri. Keberhasilan kerangka penyelesaian utang antara Kreditur dan debitur yang sama sama dari Selatan kemungkinan bisa diterapkan untuk menyelesaikan utang negara Selatan dengan kreditur dari negara industri maju. Selain langkah-langkah penghapusan utang, AHAGED juga memandang perlunya strategi utang internasional dan kebijakan untuk mencegah terulangnya kembali krisis utang yang merajalela di masa mendatang. Kedua langkah ini masih harus didukung oleh upaya menciptakan kondisi ekonomi internasional yang lebih baik, meliputi suku bunga, nilai tukar mata uang, terbukanya pasar untuk barang dari jasa serta stabilisasi harga barang dan penerimaan negara-negara berkembang.
Mulai Berkembang
Menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan negara maju menghapus utang negara LDCs, Saleh Affif mengatakan, memang belum ada konsensus secara resmi dari negara maju untuk menghapus utang negara LDCs. Namun, perhatian pada masalah itu diakui telah mulai berkembang. Tanpa memberi rincian pasti, Saleh Affif menjelaskan, perkembangan itu misalnya terlihat dengan adanya negara maju yang mengubah status pinjaman lunak menjadi hibah atau menurunkan persentase, meskipun masih dilakukan secara bilateral.(rie/tat)
Sumber: KOMPAS ( 14/08/1994)
_______________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 511-515.