POLITIK LUAR NEGERI RI PASCA “TIGA JAM DI SARAJEVO”[1]
Jakarta, Antara
Lawatan berani Presiden Soeharto ke ibukota Bosnia Herzegovina, Sarajevo, selama tiga jam awal pekan lalu mendapatkan dukungan meluas di dalam dan luar negeri.
Hal itu dianggap berharga bukan saja karena membuktikan komitmen RI atas penyelesaian masalah semenanjung Balkan, tetapi juga karena mampu menyumbangkan kredit tersendiri pada posisinya selaku Ketua Gerakan Non Blok (GNB). Tidak kurang dari Direktur Penerangan Pasukan Perlindungan PBB (UNPROFOR) Michael William mengutarakan rasa salutnya atas keberanian Presiden Soeharto selaku seorang pemimpin sebuah negara besar mengunjungi Sarajevo yang masih dihujani peluru karena terbelit peperangan.
UNPROFOR memang sudah menjalin kontak dengan Sarajevo dan pihak Serbia Bosnia yang mengepung kota itu demi keamanan kunjungan Presiden Soeharto, tetapi pihaknya tidak bisa memberikan jaminan seratus persen jika terjadi hal-hal yang luar biasa.
Sementara dari dalam negeri, Wakil Ketua Komisi I Abu Hasan Sazili mengatakan kunjungan itu menambah creditpoint pada posisi Presiden Soeharto selaku Ketua GNB karena merupakan simbol dorongan GNB kepada PBB plus pihak-pihak yang bertikai untuk segera menyelesaikan masalahnya melalui mekanisme perundingan. Apa arti dan dampak kunjungan tak terlupakan ke Bosnia Herzegovina itu bagi citra politik luar negeri RI secara keseluruhan? Dalam pernyataan -pernyataan Menlu Ali Alatas, sikap RI tampaknya sudah jelas. Sikap politik luar negeri RI dicerminkan dengan ketidaksediaannya mengambil posisi superior dalam menyelesaikan masalah Bosnia Herzegovina tersebut.
Dalam hal semacam itu, seperti juga ketika menjadi tuan rumah yang baik dalam perundingan antara Pemerintah Filipina dan Gerakan Pembebasan Moro (MNLF), RI sekadar menjadi fasilitator bahkan mediator pun tidak.
“Jika diminta, Indonesia bersedia menjadi fasilitator perundingan, bukan menj adi mediator,” katanya tentang isu Bosnia, dan menambahkan bahwa RI juga tidak akan mendesak-desakkan atau mengangkat-angkat diri tmtuk terpilih menjadi fasilitator perundingan tersebut.
“Kalau diteri maya syukur,j ika tidak, kita tetap mendukung pihak yang benardalam konflik ini,” katanya, serta menyampaikan pertimbangan bahwa RI secara konsisten menganggap penyelesaian konflik Bosnia secara adil, menyeluruh dan langgeng hanya dimungkinkan melalui perundingan langsung antara sesama pemimpin yang bertikai itu sendiri.
“Orang luar boleh saja membantu atau mendorong usaha penyelesaian, tetapi yang menentukan adalah mereka yang berkepentingan langsung,” katanya.
Inilah model partisipatif dari politik luar negeri RI yang menurut istilah beberapa ahli di sebut high profile karena dibandingkan dengan penampilan beberapa tahun silam. Pengamat politik Prof. Dr. Juwono Soedarsono sendiri lebih suka menyebutnya sebagai low profile, high performance.
“Indonesia tidak pernah menggembar-gemborkan usahanya, (kita) hanya mengandalkan pada kemampuan persuasi kita atas dasar pengalaman kita sendiri,”
katanya. “Seperti kata Presiden, dalam kasus Bosnia orang lain bisa menjadi mediator atau fasilitator, tetapi faktor terpenting adalah penyelesaian oleh pihak-pihak yang bertikai itu sendiri. Itulah sikap Indonesia,”katanya lagi.
Masih Akan Berlanjut
Apapun istilah yang digunakan, entah high profil atau low profile high perfomance, tampakya disepakati bersama bahwa pendekatan seperti ini masih akan digunakan RI dalam pola politik luarnegerinya pada tahun-tahun mendatang.
Kelanjutan sikap itu bisa dimengerti bukan saja karena merupakan konsekuensi logis keberhasilan pembangunan ekonomi dalam negeri Indonesia, tetapi juga merupakan bagian dari komitmen kita atas pembaharuan dunia, kata Abu Hasan Sazili.
“Pola Pak Harto selmna ini selalu begitu dan akan tetap konsisten dengan hal itu,” kata Prof. Juwono.
Sementara itu menurut pakar politik LIPI Dr. CPF Luhulima, trend politik luar negeri yang lebih aktif sudah mulai kelihatan ketika RI memegang posisi Ketua GNB tahun 1992, dan semakin terlihat saat menjadi tuan rumah KTT Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) serta akhirnya memuncak dengan lawatan ke semenanjung Balkan itu. Tentang hal itu, mantan Menlu Mochtar Kusumaatmadja pemah beristilah, kegiatan diplomatik RI semakin meningkat dan menunjukkan dimensi baru yang tidak “rendah hati”. Sekalipun begitu, bukan berarti semua pihak sudah setuju dengan opini bahwa politik luar negeri RI sudah cukup dinamis dan aktif.
Menlu Alatas dalam suatu rapat kerja dengan Komisi I DPR bulan Maret 1994 “diserbu”berbagai komentar kritis wakil rakyat yang intinya mempertanyakan sikap politik RI yang masih sangat defensif, kurang terfokus dan sekedar reaktif atas berbagai perubahan. Selain itu, dalam kasus Timor Timur, Pemerintah RI dirasakan masih kurang bersikap ofensif menangkis serangan-serangan Portugal dan pihak- pihak lain yang berseberangan posisi, dengan RI. Tentang hal ini, Alatas mengatakan
“memukul genderang sendiri” memang bukan budaya yang biasa dikembangkan di Indonesia, demikian juga Deplu selaku instansi yang paling berwenang tidak lazim melakukannya. Dengan demikian kesangsian semacam itu bisa dimengerti dalam kurangnya publikasi mengenai kegiatan Deplu, kata Alatas.
Keterkaitan Dalam Negeri
Sementara itu mantan Dekan FISIP UI Dr. Juwono juga mengingatkan bahwa diplomasi, sepandai apapun tidak akan menyelesaikan masalahjika tidak diikuti dengan perbaikan sesungguhnya di lapangan. Ia mengatakan itu ketika menyinggung pelaksanaan politik luar negeri dalam kaitannya dengan kepentingan- kepentingan RI tertentu seperti isu Timtim, hak asasi manusia, dan hak cipta intelektual.
“Masalah-masalah tadi cukup berat, mungkin perlu tiga sampai 10 tahun untuk menyelesaikannya. Yang perlu kita ketahui dalam politik luar negeri adalah, tidak ada yang namanya penyelesaian tuntas. Selalu ada masalah- masalah,” katanya.
Menurut dia, pelaksanaan semua kebijakan tersebut sudah cukup baik, tetapi akan lebih baik lagi bila masalah Timtim dan hak asasi serta hak cipta intelektual diselesaikan secara substantif. Demikian juga Luhulima mengatakan, sekalipun semakin aktif, pelaksanaan politik luar negeri RI tetap harus memperhatikan kelangsungan kehidupan politik dalam negeri.
Ia menyinggung hal itu karena kadar keaktifan tersebut berbanding lurus, atau berakibat pula pada persediaan dana dan sarana dalam negeri RI.
Sumber: SUARAKARYA(20 /03/ 1995)
_____________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 198-201.