FACES OF INDONESIA’95 TINGKATKAN CITRA BANGSA [1]
Jakarta, SuaraPembaruan
Pengantar
Yayasan Tiara Indonesia dan Yayasan Tiara Indah pimpinan Ny Siti Hardiyanti Rukmana, selama empat minggu (18/4-915) menggelar misi kebudayaan Faces Of Indonesia “95 ke sejumlah kota di Amerika Serikat dan Eropa. Wartawan Pembaruan Putu Suarthama yang ikut diundang bersama 11 wartawan lainnya, melaporkan liputannya berikut ini.– Redaksi
TANPA gembar-gembor, nyaris sepi publikasi, sebuah kado Istimewa telah dipersembahkan untuk perayaan Indonesia Emas (HUT ke-50 RI) tahun 1995 ini, yang puncak peringatannya pada 17 Agustus mendatang.
Itulah kesan dan komentar sejumlah pengamat yang terekam sete1ah mengikuti lawatan misi budaya ke mancanegara yang dikoordinasi oleh Yayasan Tiara Indonesia dan Yayasan Tiara Indah pimpinan Ny. Siti Hardiyanti Rukmana yang akrab dipanggil Mbak Tutut.
Dikatakan sepi publikasi, karena sampai hari “H” keberangkatan, pihak penyelenggara tak pernah melansir release secuil pun. Padaha1, menurut catatan misi diplomasi budaya ini termasuk paling akbac sepanjang sejarah Republik tercinta ini. Total anggota rombongan berjumlah 177 orang yang didukung artis penyanyi, pemusik. desainer, peragawati, penari dan perajin professional yang sering melanglang buana. Seperti, Vonny Sumlang, Albert Sumlang, Dewi Yull, Victor Hutabarat, Andi Meriem Mattalatta, Sundari Soekotjo, Band Lolypop pimpinan Rinto Harahap, Kahitna Group, Prayudi Atmodirjo dan Aji Notonegoro (desainer), Avi Pravijanti Basuki (peragawati/model) dan grup tari Pelangi Nusantara TMII pirnpinan Ny. Sarasmani Sampurno.
Tim yang berkeliling dengan mencarter pesawat DC-I0 milik Garuda GA-8010 itu juga tercatat sebagai yang terbanyak mentas sepanjang lawatannya di luar negeri. Di Amerika Serikat mereka tampil di Washington dan Boston, di Belanda (Den Haag dan Rotterdam), kemudian di Paris, London dan Budapest (Hongaria).
Menurut catatan, dalam beberapa segi, Faces Of Indonesia hanya bisa disandingkan dengan “KIAS” sebuah pagelaran seni budaya Indonesia di AS yang mengadakan lawatan keliling Amerika Serikat selama sebulan. Walau dengan pendukung yang lebih kecil dan hanya mengadakan kegiatan di satu negara, namun publikasi atas misi yang disebut diplomasi kebudayaan itu sungguh luar biasa gencarnya.
Bertolak dari kenyataan itu, ada kesanFaces Of Indonesia, merupakan “operasi dadakan” dengan persiapan yang agak terburu-buru sehingga masalah publikasi yang saat ini termasuk dimensi penting dalam suatu paket program, sampai luput dari perhatian panitia penyelenggara. Tapi, benarkah misi yang dipimpin Mbak Tutut itu memang maunya “kagak usah digede-gedein” seperti yang sering diucapkannya.
Sejumlah sumber mengungkapkan, pada mulanya misi budaya itu hanya merencanakan mentas di Boston untuk memenuhi undangan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat (Permias) cabang Boston. Tapi, istri Dubes RI di AS, Ny Arifin Siregar memohon langsung ke Jakarta agar misi yang dipimpin Mbak Tutut itu juga mau tampil di Washington DC.
Akhirnya, seperti diketahui, setelah mengadakan penggodokan singkat, walau disebutkan serius dan intensif, safari budaya tersebut dilanjutkan ke sejumlah kota di Eropa. Dari sinilah terkesan persiapannya tergesa-gesa.
“Kalau dikatakan persiapannya kurang, saya rasa ngga juga.” tukasnya dengan nada ringan.
“Buktinya, secara keseluruhan hasilnya amat mengesankan. Saya bangga atas segala yang telah dipersembahkan oleh semua pendukung misi budaya ini. Untuk itu saya harus berterimakasih.”
Ungkapan tulus yang dilontarkan menjawab pertanyaan wartawan dalam penerbangan pulang ke Tanah Air dari persinggahan terakhir di London itu memang telah tersirat dari setiap akhir pementasan. Begitu tepuk tangan panjang para penonton yang selalu menjubeli gedung pertunjukan menyurut, Mbak Tutut langsung bangkit dari kursi VIP dan memburu ke belakang panggung. Di sana para artis, penari dan pendukung lainnya mendapat ucapan selamat secara bertubi-tubi.
“Rasanya kepuasan kita jadi lengkap kalau Bu Tutut sudah hadir ditengah- tengah kita setelah usai pementasan.” ujar Tribuana Tunggaldewi, salah seorang penari yang mengaku sudah melanglangbuana sejak duduk di bangku SMP.
“Perasaan saya jadi bercampur aduk bangga, haru dan tentram kalau sudah dapat ucapan selamat dari Bu Tutut. Kehadirannya begitu menyejukkan rasa. Setelah itu sayajadi kangen dan tiba-tiba teringat kasih sayang ibu saya di rumah.” timpal Tia Mariadi yang dikenal sebagai penyiar TVRJ.
Namun, dalam kesempatan itu Mbak Tutut mengakui, soal publikasi memang terasa belum digarap secara optimal.
“Pada kesempatan lain, jika saya dan yayasan dapat dukungan lagi, kita akan lebih memberikan perhatian pada sektor-sektor yang setelah kita evaluasi masih lemah, termasuk publikasi ini.”
Sementara itu, Wakil Ketua Pelaksana Rinto Harahap mengakui, jika waktu persiapan untuk beberapa kali latihan gabungan lebih longgar, hasilnya akan lebih maksimal.
“Kalau saya nilai, secara umum evaluasi seluruh pertunjukan penampilan kita termasuk lebih dari lumayan, tidak jelek. Tapi, kita jadi tambah puas kalau menilik dari sambutan penonton.”
Mantan dedengkot band The Mercys tahun 1970-an yang kini sibuk berbisnis itu mengingatkan secara individual maupun grup para artis pendukung sudah profesional semua
“Mereka sudah malang melintang di panggung nasional maupun internasional.”
“Tapi ibarat ingin membentuk suatu kesebelasan yang kompak di lapangan yang harus mengambil pemain dari sejumlah klub atau perserikatan akan butuh waktu yang cukup untuk mencapai soliditas.” Rinto menambahkan.
“Tapi, saya rasa dalam waktu yang termasuk mepet itu, kita harus bersyukur mereka cukup cepat dapat menyesuaikan diri.”
Tentang minimnya waktu persiapan, sesungguhnya itu telah terlihat sejak acara gladiresik, tiga hari menjelang keberangkatan. Menurut pengamatan Pembaruan, saat itu penataan suara dan sinkronisasi antara vokal dan musik pengiring, kekompakan beberapa adegan tarian dan totalitas pendukung lainnya belum optimal. Maka, saat itu Mbak Tutut yang langsung menyaksikan “pemanasan” naik ke panggung dan mengingatkan sejumlah kelemahan yang masih kentara,
“Saya minta semua pendukung misi ini sepakat untuk tampil total dan maksimal. Tunjukkan kemampuan kalian yang tertarik karena kita membawa citra bangsa. Untuk itu semua harus berlatih serius agar nanti tidak sampai mengecewakan.”
Tarian Aceh
Mengamati penampilan misi tersebut dari panggung ke panggung, memang tampak grafik kinerjanya cenderung meningkat. Ketika tampil perdana di National Theatre Washington DC, secara umum termasuk lumayan. Kalau soal penonton, gedung tempat Faces Of Indonesia tampil, kursinya tak pernah tersisa.
Malah, sejumlah penonton di Washington mengakui terpaksa mengurangi jumlah rombongannya karena kehabisan tiket.
“Tiket sudah habis tetjual seminggu menjelang pementasan.” ungkap seorang panitia.
Dalam menampilkan di AS yang selain dihadiri para pejabat dan pengusaha setempat, selain sejumlah mantan Dubes AS di Indonesia, memang satu-satunya memakai tiket seharga US$40.
Dalam penampilan di Eropa seluruhnya gratis. Tapi, berdasarkan komentar sejumlah penonton, bukan karena itu mereka datang. Seperti diketahui, bagi sebagian mereka yang hadir menyaksikan pementasan duta-duta budaya Nusantara itu, waktu adalah uang. Artinya, jika bukan berdasarkan pertimbangan matang, mereka tentu sayang buang-buang waktu hanya untuk menikmati hiburan gratis.
“Saya memang ingin menyaksikan atraksi seni budaya Indonesia. Saya sudah lama mendengar, membaca dan menyaksikan di layar tivi tapi kali ini baru melihat langsung.” ungkap Magda Shrerer, seorang mahasiswi di Prancis.
Sedang, Petelonge seorang pengamat seni di London berucap, yang dia tabu selama ini bahwa kesenian Bali, seperti yang telah disaksikan beberapa kali di ssejumlah kota di Eropa.
“Ternyata kesenian daerah di Indonesia lainnya tak kalah eksotiknya. Terutama tarian Aceh, luar biasa mengagumkan.” ujarnya sambil mengacungkan jempolnya.
Menurut pengamatan Pembaruan, dmi sekian paket tarian yang dibawa. Seperti tarian Jawa Krida Wanodya, Tebe-tebe (Timtim), Burung Belibis (Bali), Rentak Minang (Sumbar), Lenggang Blantek (Betawi), tarian Rampai Aceh paling seru mengundang aplaus penonton. Tepuk tangan bagai tak putus-putusnya dari penonton jika tarian aceh yang atraktif dan dinamis itu tampil di panggung.
Marzuki Hasan yang memimpin tarian Aceh itu menilai, dari sekian kali tampil kelompoknya mengalami grafik, yang naik turun.
“Ya, secara umum sudah lumayan, sebab kelompok ini sudah sering tampil bareng. Walau saya nilai penampilan kita masih bisa ditingkatkan lagi, jika ada waktu yang cukup untuk latihan kekompakan.”
Sedang, penari senior dan Dosen Seni Tari IKJ, Nungki Kusumastuti yang ikut memperkuat tarian Aceh dan Betawi juga menilai, penampilan rekan-rekannya belum mencapai target yang maksimal.
“Memang sambutan penonton luar biasa. Kalau mau hasil yang kita inginkan, masih terasa belum maksimal.”
Mengukur sukses atau tidaknya suatu misi budaya, memang tidak mungkin seakurat menilai misi olahraga. Apa lagi jika dikaitkan dengan hasil konkret dari salah satu sasaran Faces Of Indonesia, yakni meningkatkan citra bangsa di mancanegara dan mempromosikan potensi seni budaya dan kepariwisataan Indonesia. Untuk budaya gambaran itu malah amat abstrak, sulit dirinci.
Seperti selalu ditekankan Mbak Tutut dalam setiap kesempatan jamuan makan atau membalas sambutan panitia lokal di luar negeti.
“Misi budaya yang kami bawa initerutama tmtuk meningkatkan citra bangsa Indonesia di luar negeri. Meningkatkan kesan yang sudah baik dan memperbaiki kesan yang kurang baik.”
Disamping itu, juga ditandaskan, setelah masyarakat di mancanegara menyaksikan sejumlah produk dan nilai budaya Indonesia, baik tariannya, musiknya dan produk kerajinannya, kita harapkan mereka akan tertarik untuk datang langsung ke negeri asalnya.
“Dengan begitu turis akan terus meningkat dan ikut menunjang pembangunan nasional dari perolehan devisanya.”
Di Budapest
Memang semua itu baru suatu upaya dan hasilnya sulit diduga. Bagaimana pun, bendera telah dikibarkan oleh Yayasan Tiara Indonesia, sebagai pihak swasta pertama yang mau dan mampu melaksanakan misi semacam itu.
“Saya harap pihak swasta yang saya tahu jauh lebih mampu secara finansial bisa tergerak untuk melakukan upaya semacam ini. Dan, saya juga harapkan pihak KBRI ikut saling menunjang agar upaya meningkatkan citra bangsa tercapai sesuai yang dicita-citakan.”
Ketika mentas di London, suasana juga agak lain, karena selain dihadiri sejumlah mahasiswa dan masyarakat Indonesia di lnggris, tampak juga Ny. Harmoko di antara penonton didampingi putranya. Tapi, sepanjang safari seni tersebut sambutan publik Budapest, Hongaria yang paling mengesankan.
Begitu rombongan yang dipimpin Ny Siti Hardiyanti Rukmana Rabu siang (3/5) tiba di Bandara Ferihegy I Budapest, Hongaria sambutan tuan rumah tampak khusus. Berbeda dengan penyambutan di Bandara di negara-negara yang disinggahi misi diplomasi budaya tersebut seperti di AS, Belanda, Prancis dan Inggris acara penyambutan di Hongaria terkesan agak istimewa.
Ketika mendarat setelah terbang sekitar dua jam dari London, dua mobil pengamanan bandara tampak mengapit di depan dan di belakang pesawat yang dicarter misi kesenian tersebut. Di menara pengawas tampak dua petugas mengamati pesawat dengan keker masing-masing, sementara sejumlah petugas bersenjata lengkap dengan senapan mesin AK-47 tampak berjaga-jaga di sejumlah posisi strategis di areal bandara.
Ketika Mbak Tutut menginjakkan kaki di landasan seorang gadis cilik, Erawati Felizia (7 tahun) anak dari keluarga Endang Rachmat, staf KBRI menyerahkan karangan bunga. Mbak Tutut sekilas tampak tersenyum setelah mencium anak kelas II itu. Tapi tiba-tiba wajahnya berubah harus sambil memeluk erat Ny. Vina Dinia Pringodigdo istri mantan Dubes RI di Hongaria, RM Soelaeman Pringodigdo almarhum.
Seperti diketahui, Dubes RI itu meninggal secara mendadak pada 30 Maret lalu tak lama setelah mendampingi Mbak Tutut dalam kunjungannya ke Hongaria awal Maret 1995. Sampai saat ini posisi Dubes di Budapes masih kosong, tapi istri dan keluarga almarhum masih tinggal untuk sementara disini.
Para penyambut, selain warga Indonesia tampak protokol dari Kemlu Hongmia dan staf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebab kali ini yang bertindak sebagai tuan rumah adalah Menteri P dan K Hongaria, Fodor Gabor. Sedang pada kunjungan pertamanya Mbak Tutut ke negeri bekas satelit Rusia yang termaju itu, merupakan undangan Presiden Hongaria Arpad Gonez.
Di Budapest yang dijuluki kota sejuta gereja itu, Faces Of Indonesia unjuk kebolehan di Gedung Budapest Kongres Center dengan kapasitas 2000 penonton
“Karena, warga RI di Hongaria hanya sekitar 60 orang maka undangan lebih banyak disebar ke warga setempat dan pihak Kedubes negara tetangga dan warga asing lainnya.” ungkap seorang staf KBRI.
Seperti di setiap akhir pertunjukan di negara lainnya penonton yang bejubel di Budapest juga seperti tak mau beranjak dari kursi sebelum semua artis pendukung menyanyikan lagu Gelang Sipaku Gelang dengan melambaikan tangan akhirnya menunduk memberi salam perpisahan.
Bendera telah dikibarkan oleh Yayasan Tiara Indah & Tiara Indonesia sebagai satu-satunya pihak swasta yang mau dan mampu membawa misi seni untuk promosi potensi Indonesia di luar negeri. Seperti diimbau Mbak Tutut selaku ketua yayasan tersebut,
“saya harapkan pihak swasta lain yang mampu secara finansial mau meniru apa yang telah kita rintis ini.”
Dengan suara yang agak sengau, mungkin karena kelelahan dan pengarah cuaca yang cukup dingin sepanjang perjalanan, putri presiden itu mengingatkan, setelah memperoleh cukup rezeki hendaknya para konglomerat juga memberikan sebagian alokasi dana untuk misi sosialnya bagi kegiatan promosi di luar negeri.
“Panggilan untuk membangun citra bangsa di mancanegara merupakan tanggung jawab kita semua.” tandasnya.
Sumber : SUARA PEMBARUAN (20/05/1995)
_____________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 676-681.