DIPLOMASI BUDAYA BAGI NEGERI TERCINTA[1]
Jakarta, Suara Pembaruan
Menyimak sejumlah realitas dalam kaitan kehidupan kenegaraan, agaknya dewasa ini boleh disebut sebagai periode paradoksal dalam peta sejarah diplomasi bangsa Indonesia. Simpul pendapat itu mengacu pada sejumlah fakta.
Sejak awal 1990-an sejarah mencatat merupakan fase dari puncak kejayaan sejarah diplomasi Indonesia di masa orde baru. Hal ini merupakan implementasi dari politik luar negeri Indonesia yang menganut prinsip bebas aktif. Misalnya diawali dengan meningkatnya peran dan pengaruh Indonesia di kawasan regional. Seperti dalam penyelesaian perdamaian di Kampuchea, aktif sebagai mediator dalam masalah Moro (Filipina) masalah Palestina atau masalah Bosnia, untuk menyebut beberapa contoh.
Belum terhitung sejumlah penghargaan internasional yang diraih Presiden Soeharto. Seperti penghargaan atas keberhasilan dalam KB dalam swasembada pangan dalam pelestarian lingkungan hidup dan banyak lagi.
Puncaknya adalah terpilihnya Presiden Soeharto sebagai Ketua Negara-negara Non Blok dan makin kokohnya posisi Indonesia dalam APEC yang terakhir ini adalah organisasi kerja sama ekonomi yang didukung 18 negara antara lain AS, Jepang, RRC dan Australia itu.
Citra Minor
Namun di lain pihak sejumlah isu yang katakanlah berada minor yang kurang menguntungkan bagi citra Indonesia di macanegara juga ada isu Timtim, HAM, demokratisasi dan masalah perburuhan, merupakan agenda diplomasi yang belum berhasil terselesaikan secara baik dan simpatik.
Sejumlah masalah itu jelas tak bisa dianggap sepi atau dibiarkan berlarut-larut. Seperti diungkapkan Dubes RI di AS, Dr. Arifin Siregar kepada Pembaruan di sela-sela penyambutan rombongan misi budaya Faces of Indonesia yang dipimpin Ny. Siti Hardiyanti Rukmana belum lama ini.
“Setelah isu Timtim dan Marsinah merebak lagi, kita jadi repot menghadapi sorotan internasional. Apa yang telah kami kerjakan kini nyaris kembali ke titik nol.”
Diingatkan oleh Arifin, semua pihak harus terpanggil ikut membangun citra bangsa, sebab untuk tugas-tugas diplomasi yang terkait dengan isu tersebut itu tidak mungkin hanya ditangani oleh KBRI. Maka itu pihaknya sangat berterima kasih dengan kedatangan misi budaya yang dipimpin Mbak Tutut yang mentas di Boston dan Washington DC dalam lawatannya di Amerika Serikat.
“Kegiatan seni seperti juga ekonomi dan teknologi, saya kira termasuk wahana yang efektif untuk mengembangkan saling pengertian dalam rangka kehidupan antarbangsa.” Tandasnya. Maka kami berharap apa yang telah dirintis dengan baik oleh Mbak Tutut akan dapat diikuti oleh rombongan yang lain. Semuanya itu demi makin mengenalnya potensi yang kita miliki.
Arifin Siregar menilai saat ini hampir 90 persen masyarakat Amerika Serikat buta akan peta Indonesia. Ini tentu sungguh menyedihkan. Semua itu menurutnya akibat masih minimnya kegiatan promosi yang dilakukan.
“Paling-paling mereka baru mengenal Bali. Malah banyak diantara warga AS yang mengira Indonesia itu bagian dari Bali. Ini artinya kita perlu menggencarkan promosi lebih agresif lagi.”
Menurut mantan Menteri Perdagangan itu, kemajuan yang diraih beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand atau Singapura adalah atas gencarnya promosi yang dilancarkan. Diakui, masalah keterbatasan dana merupakan salah satu kendala serius dalam rangka program promosi itu.
Ia menunjuk contoh, Malaysia siap mengalokasikan puluhan juta dolar untuk hanya menangkal sebuah isu yang merugikan, seperti tentang kampanye anti minyak sawit yang berkonotasi persaingan bisnis di AS. Sedihnya anggaran promosi kita secara keseluruhan malah jauh di bawah itu.
Hal yang sama juga terekam dalam percakapan antara Mbak Tutut dengan para Dubes RI di Belanda, Inggris, Perancis dan Hungaria.
“Saya terpaksa harus sabarsabar menjelaskan kepada setiap orang di Paris, bahwa Bali itu hanya sebagian kecil dari Indonesia yang luasnya sama dengan kawasan yang direntang dari London sampai Moskow.” ungkap S. Witjono Dubes RI di Paris.
Hal itu menurut Dubes dilakukan dimana dan kapan saja. Seperti di Supermarket di toko buah atau di restoran.
“Habis mana kita enggak gemes, sudah 50 tahun merdeka kok belum banyak yang tahu posisi Indonesia.”
Bukti Kongkret
Dubes BJ. Habibie di Inggris ketika menyambut rombongan Faces of Indonesia di Wisma Nusantara budaya London berpendapat, dengan adanya muhibah budaya yang dipimpin Mbak Tutut ke mancanegera, orang asing akan makin percaya dengan apa yang kita omongkan selama ini di luar negeri.
“Terus terang kalau hanya ngomong tanpa bukti nyata, saya sangsi akan basil dari strategi promosi apa pun bentuknya. Boleh saja kita bilang Indonesia itu hebat ini… itu… kalau nggak didukung bukti-bukti, jangan harap ada hasilnya.” tandas Habibie.
“Maka setelah mereka menyaksikan pementasan misi budaya ini, mereka baru akan bisa percaya tentang apa yang selama ini kita kampanyekan.”
Mendiang Dubes RI di Hungaria, R.M. Soelaeman seperti diungkapkan kepada Pembaruan (Pembaruan 27/10-1993), malah harus bekerja lebih keras untuk mengenalkan Indonesia dikawasan Eropa Timur Kawasan dengan negeri-negeri yang dulu punya prinsip politik luar negeri ‘isolasi’.
Dikisahkan begitu butanya pengetahuan masyarakat Hungaria tentang Indonesia sampai menimbulkan kegelian sendiri. Misalnya, ada tokoh masyarakat setempat yang bertanya-tanya dimana, letak Indonesia? ada juga yang menyangka Indonesia itu sama dengan Malaysia atau Filipina.
“Tapi yang tak kalah lucu, malah ada yang tanya apa masih ada orang Indonesia yang hidup di atas dahan pohon di hutan.”
Contoh-contoh diatas, hanya sebagian kecil dari catatan yang mengingatkan, betapa setelah setengah abad Indonesia merdeka, dalam masalah diplomasi kita masih keteter. Tak heran jika banyak pengamat yang prihatin akan minimnya aktivitas atau kreativitas serta miskinnya terobosan yang dilakukan para diplomat Indonesia di mancanegara untuk membangun citra bangsa.
Masa kegemilangan diplomasi Indonesia yang dibangun mendiang Bung Syahrir, H. Agus Salim, Mr. A. A. Gde Agung, Prof. Soenario untuk menyebut beberapa nama, seperti belum di-blow up secara maksimal oleh para penerusnya.
Maka ketika pers internasional ramai menyiarkan kontroversi tentang kejahilan wartawan Australia mengusik kehidupan kepala negara beberapa tahun lalu, seorang Prof. Mr Soenario mantan Menlu dimasa Bung Karno mendukung sikap pers dan masyarakat Indonesia untuk memprotes perlakuan pers negeri tetangga itu. Apa yang ditulis pers Australia sudah menyangkut kehomatan Bangsa Indonesia.
“Mengusik ketenangan hidup seorang presiden Indonesia, sama saja dengan merongrong kedaulatan bangsa Indonesia. Untuk itu saya harapkan bangsa kita harus kompak bersatu memprotes sikap pers Australia yang kurang bersahabat itu.” ujar Soenario berapi-api ketika diwawancarai Pembaruan pertengahan tahun 1986 silam.
Diplomasi Budaya
Sedang menanggapi kasus demo yang merebak di Jerman, ketika Presiden Soeharto melawat ke sana belum lama ini, mantan menlu dan mantan dubes di sejumlah negara Eropa Dr. Mr. A.A . Gde Agung menilai, yang paling bertanggungjawab terjadinya peristiwa yang merongrong kedaulatan Indonesia itu adalah pihak KBRI setempat.
“Kalau saya Menlu, saya copot semua diplomat Indonesia yang bertugas di sana.” ujarnya (kompas 23/5). “Itu kegagalan yang tidak bisa dimaafkan. Memangnya menjelang kunjungan presiden staf KBRI di sana tidur semua…” tambahnya terheran-heran.
Mengacu pada ilustrasi tersebut, secara kebetulan dalam suatu percakapan dengan wartawan yang meliput misi budaya Faces of Indonesia, Mbak Tutut selaku ketua delegasi, mengharapkan staf KBRI dan masyarakat Indonesia di luar negeri ikut terpanggil. Terpanggil untuk bahu membahu membangun citra bangsa dengan mempromosikan potensi negeri kita di mancanegara.
“Dengan kehadiran misi budaya ini, saya harap kita akan bangkit untuk lebih gencar lagi memperkenalkan potensi bangsa kita dari yang telah dilakukan selama ini.” demikian antara lain imbauannya.
Mbak Tutut dalam berbagai kesempatan juga menegaskan pemikirannya, bahwa lawatan misi kesenian dan duta budaya bangsa ke mancanegara, merupakan strategi yang makin relevan untuk upaya lebih memperkenalkan potensi Indonesia. Untuk itu intensitasnya harus lebih ditingkatkan.
“Saya makin yakin diplomasi budaya akan makin efektif dalam upaya ikut menjaga perdamaian dunia, “tandasnya.” Saya kira kini dan di masa mendatang, jika hanya mengandalkan jalur politik untuk mempererat hubungan atau menimbulkan saling pengertian antar negara seperti yang dilakukan sekarang, tidak akan lengkap tanpa diplomasi budaya.”
Salah seorang Ketua DPP Golkar yang dikenal aktif dalam berbagai aksi sosial itu juga mengingatkan untuk suksesnya implementasinya dari program diplomasi budaya itu, tentu harus didukung aparat KBRI yang profesional dan siap kerja keras dalam mengemban tanggung jawabnya membawa membangun citra bangsa.
Memasuki suasana peringatan emas kemerdekaan Indonesia yang berpuncak pada 17 Agustus 1995, tentu kita tak ingin mendengar jika pihak KBRI di luar negeri disindir hanya sibuk bervakansi. Tapi banyak yang berharap para diplomat dapat makin memperkokoh posisinya memimpin upaya lebih memperkenalkan negeri tercinta ini.
Sumber : SUARA PEMBARUAN (24/05/1995)
_____________________________________________________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 684-688.