SOAL KONSTITUSI KITA
Renungan Awal Tahun 2013
Oleh: RM. AB. Kusuma[1]
Pada awal tahun 2013 ini, penulis merenungkan mengenai kepemimpinan presiden Yudhoyono, seorang jenderal yang berusaha menjadi negarawan besar. Sayangnya, meskipun telah lebih dari delapan tahun menjadi presiden, beliau masih kurang fokus melaksanakan tugasnya sebagai presiden. Beliau masih sibuk menggubah lagu sehingga kehabisan waktu untuk menggariskan pendapatnya sendiri (bukan pendapat “Staf”) mengenai sistem pemerintahan yang cocok untuk Indonesia.
Sampai sekarang, meskipun agak galau, presiden Yudhoyono menggunakan sistem pemerintahan yang didasarkan pada “UUD 1945 versi 2002” yang disusun oleh sejumlah besar anggota MPR yang menamakan dirinya “the second founding fathers” (sic)[2]. Nampaknya beliau masih percaya pada para pakar yang berhasil mengamandemen UUD 1945 dengan “prinsip konstitusi” yang disarankan oleh National Democratic Institute yang antara lain berpendapat bahwa Sistem Presidensial Amerika Serikat yang menggunakan Trias Politika lebih bagus daripada Sistem Westminster Inggris yang tanpa Trias Politika. Padahal, menurut penelitian Fred W. Riggs dari Universitas Hawai, dari 33 Negara Berkembang yang menggunakan sistem presidensial, hampir semuanya tidak berjalan mulus, coup d’etat terjadi di 21 negara Amerika Latin, 7 di Afrika dan 2 di Asia. Tiga Negara Berkembang lainnya juga mengalami hambatan yang serius. Sebaliknya, di 43 Negara Berkembang yang menggunakan sistem parlementer model Inggris yang tanpa Trias Politika, 29 negara pemerintahannya berjalan relatif mulus, 13 mengalami coup d’etat dan 1 negara, yaitu Granada, mengalami revolusi.
Kesepakatan anggota MPR yang mengira bahwa sistem pemerintahan yang disusun oleh Pendiri Negara, yaitu “Sistem Sendiri”[3] sebagai “sistem presidensial” dapat dipastikan keliru, karena para Pendiri Negara dengan tegas menyatakan bahwa Sistem Sendiri berbeda dengan Sistem Parlementer (Cabinet Government) dan Sistem Presidensial Amerika Serikat.[4] Jadi, asumsi anggota MPR yang mengamendemen UUD 1945 bahwa Sistem Presidensial harus dipertahankan dapat dipastikan keliru.
Selain kesalahan itu, para anggota MPR tersebut melakukan kesalahan besar yaitu tidak menepati janji untuk melakukan Amendemen dengan cara Adendum, karena kenyataannya mereka merombak UUD 1945 dengan cara “sembrono” yaitu:
- Mengubah “basic structure” dengan cara menghapus Dewan Pertimbangan Agung (berlawanan dengan cara Adendum yang seharusnya hanya menambah, bukan mengurangi “lembaga negara” yang tersruktur),
- Menambah “ketentuan” secara besar-besaran, dari sekitar 75 ketentuan menjadi sekitar 190 ketentuan,
- Letak kedaulatan (locus of sovereignty) yang semula di satu tempat, yaitu di MPR (seperti Parlemen Inggris) diubah menjadi tidak jelas tempatnya, apakah terletak di tiga tempat seperti sistem presidensial Amerika Serikat, atau terletak di semua lembaga yang disebut dalam UUD 1945 versi 2002.
- Mengubah asas dan sistem pemilihan umum. Semula, di UUD 1945 Asli, hanya satu lembaga negara, yaitu lembaga perwakilan, yang dipilih langsung, tetapi di UUD 1945 versi 2002, lembaga kepresidenan juga dipilih langsung, sehingga terjadi “double legitimacy”, tetapi hubungan antara lembaga kepresidenan dan lembaga perwakilan kurang jelas pengaturannya.[5]
- Menghapus adanya “lembaga tertinggi”, yaitu yang memberi “kata putus” (“final say”) bila ada sengketa antar lembaga negara.
Sementara ini, penulis, yang menyiapkan tulisan mengenai “Historical rankings of Indonesian presidents”, menilai bahwa kepemimpinan presiden Yudhoyono lebih baik dari pada kepemimpinan presiden Habibie, Abdurrahman Wahid atau Megawati. “Ranking” itu dapat meningkat atau menurun, tergantung pada kebijakan presiden Yudhoyono pada masa akhir jabatannya. Ranking dapat meningkat bila presiden Yudhoyono menghapus kebijakan pendahulunya yang sangat merugikan Rakyat, yaitu “private debt” yang dijadikan “public debt”. Hal itu terlihat dari utang Konglomerat Hitam sebesar 650 trilliun dan bunganya sebesar 60 trilliun setiap tahun yang dibebankan kepada Rakyat melalui APBN. Demikian pula sebaiknya pemilihan para pejabat negara didasarkan pada pemahaman mengenai UUD 1945 yang benar, bukan hanya karena mempunyai gelar Ph.D. berdasar “textbook” yang dipelajarinya.
Seyogyanya, sebelum menggariskan pendapatnya mengenai sistem pemerintahan, presiden Yudhoyono harus mendalami “prinsip-prinsip konstitusi” dengan sungguh-sungguh agar dapat menganalisa kekhasan pemerintahan Dwitunggal selama Perang Kemerdekaan, kekhasan pemerintahan jaman Republik Indonesia Serikat yang kabinetnya tidak dapat dijatuhkan oleh Parlemen, kekhasan pemerintahan tahun 1950-1956 yang punya presiden, wakil presiden dan perdana menteri, kekhasan pemerintahan tahun 1956-1959 yang mempunyai presiden dan “menteri pertama”, kekhasan pemerintahan jaman demokrasi terpimpin dan kekhasan sistem presidensial versi “UUD 2002”.
Tentang memilih “penyelenggara negara”
Pada tahun 1964, pada waktu menyusun “proposal” yang akan diajukan pada Jenderal Nasution untuk membentuk “Perwira Cadangan” dengan pola “Reserve Officer Training Corps” (ROTC), penulis banyak membaca “buku militer”, antara lain memoir Field Marshal Bernard Montgomery. Dia menyatakan bahwa seorang pemimpin itu harus mengetahui batas kemampuan (Montgomery memakai kata “ceiling”) bawahannya, jadi, seorang komandan brigade yang baik belum tentu dapat menjadi komandan divisi yang baik karena “ceiling”-nya terbatas hanya setinggi komandan brigade. Selain itu dia juga mengatakan bahwa menurut pakar Jerman ada 4 tipe manusia, tetapi di memoirnya dia tidak menyebut siapa pakar itu. Setelah ditelusuri, pendapat itu ternyata dikemukakan oleh Field Marshal Von Moltke “the Elder” (1800-1900) dan dikutip oleh Jenderal Von Manstein (1887-1973) dalam memoir-nya yang berjudul, “Aus Meinem Leben”. Intinya, ada 4 tipe perwira, yaitu:
- The brilliant and lazy man makes the best commanding officer. He tend to see the big picture accurately and avoids preoccupation with detail work which might distract him.
- The brilliant and energetic man, makes the best staff officer. He handles routine work with accuracy and completeness.
- The stupid and lazy man makes the best subordinate. He will do what he is told properly, no more no less.
- The stupid and energetic man, however, is to avoided in all cost. He is capable of ruining the best laid plans.
Rumusan Moltke sebagai berikut,
- Smart and lazy, I make them my Commanders because they make the right thing happen but find the easiest way to accomplish the mission.
- Smart and enegetic, I make them my General Staff Officers because they make intelligent plans that make the right things happen.
- Dumb and lazy, There are menial tasks that require an officer to perform that they can accomplish and they follow orders without causing much harm.
- Dumb and energetic, These are dangerous and must be eliminated. They cause thing to happen but the wrong things to cause trouble (Montgomery memakai frasa “remove immidiately”).
Kalau pendapat Moltke itu diterapkan pada kepemimpinan presiden Yudhoyono, maka pembantu presiden seperti Heru Lelono, tokoh “Blue energy” dan “Super Toy” dan Andi Arif, staf bidang “penanggulangan bencana alam” yang gemar mencari “peninggalan purbakala di gunung Padang”, perlu segera disingkirkan. Mengenai Sudi Silalahi dan Dipo Alam tidak akan diberi catatan masuk ke golongan mana, tetapi pembantu yang suka memuji-muji berlebihan (false applause)[6] sehingga menyebabkan presiden “pusing”, perlu juga segera disingkirkan.
“Military leadership” memang lebih sederhana dari “Statesmanship”. Moltke adalah seorang terpelajar, ahli strategi terbesar abad 19, penulis sejumlah buku yang mashur. Moltke menguasai 7 bahasa, yaitu Jerman, Denmark, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia dan Turki dan menerjemahkan buku Gibbon, The decline and fall of the Roman Empire yang pada waktu itu terdiri dari 12 jilid (yang ada di lemari buku orang tua penulis, 6 jilid). Tetapi dia tidak sempat menjadi kepala pemerintahan karena hidup sejaman dengan tokoh yang lebih besar, yaitu Otto von Bismarck.
Di Perancis, militer yang sempat menjadi negarawan besar adalah Napoleon Bonaparte yang membentuk “Code Napoleon” dan Charles de Gaulle (1890-1970) yang memperbaharui sistem pemerintahan di Republik ke-V Perancis pada tahun 1958 menjadi sistem “semi-presidensial” dengan bantuan Maurice Duverger.
De Gaulle punya pandangan sendiri untuk mengangkat keagungan (Grandeur) Perancis, sebab itu dia tidak suka pada ucapan Talleyrand bahwa “War is much too serious a thing to be left to military men” (dikutip oleh Aristides Briand dan dikatakan kepada Lloyd George[7]). Setelah berpengalaman memimpin pemerintahan di Perancis dan melihat gonjang ganjing pemerintahan Perancis selama 12 tahun (1946-1958), De Gaulle menolak anggapan bahwa tokoh militer kurang mampu memahami dunia politik, sebab itu dia membalik ungkapan itu menjadi “I have come to the conclusion that politics are too serious a matter to be left to the politicians”. Menurut de Gaulle orang yang berpengalaman di bidang militer harus ikut campur menentukan kebijakan pemerintah. De Gaulle, sama dengan Napoleon, tidak suka kebijakan pemerintah dicampuri oleh para Hakim. Dia menganggap bahwa “Gouvernement des juges” (Government of judges”) tidak cocok untuk Perancis. Seharusnya, bila para Hakim tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, yang memutuskan harus seluruh rakyat (dalam bentuk Referendum), bukan para hakim Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Di “semi-presidensial”, ada “double legitimacy”. Konsekuensinya, Presiden punya kekuasaan besar, tidak sepenuhnya tergantung pada Parlemen. Hal itu berarti bahwa kebijakan presiden tidak tergantung kepada Majelis Rendah (National Assembly), bahkan Presiden dapat membubarkannya. Tetapi Presiden tidak dapat membubarkan Majelis Tinggi (Senat).
Kembali kepada sistem pemerintahan. Para Pendiri Negara menyelenggarakan sistem “semi-presidensial” yang mempunyai Presiden yang kuat dan Perdana Menteri yang bertanggung jawab ke KNIP (DPR Sementara) lebih dahulu dari Perancis, yaitu dari bulan November 1945 sampai Desember 1949.[8] Fakta itu berarti bahwa pada masa itu sistem kita beralih dari sistem presidensial ke sistem semi-presidensial, bukan ke sistem parlementer.
Mengingat bahwa para Pendiri Negara telah memikirkan sistem pemerintahan dengan cermat, seyogyanya, presiden Yudhoyono mempelajari ajaran Pendiri Negara baik yang bernilai prinsip Konstitusi maupun yang “praktis”. Umpamanya, ajaran mengenai “Self Relience” dan “Self Confidence”. Ajaran Bung Karno bahwa “Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya” yang diucapkan sebelum pidato Proklamasi Kemerdekaan. Juga ajaran yang tercantum di pidato Proklamasi bahwa “Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (Accuracy and Speed).[9] Ajaran Bung Karno yang melepaskan diri dari partai yang didirikannya, yaitu PNI, karena berpendapat bahwa beliau akan menjadi presiden untuk seluruh rakyat Indonesia. Ajaran “ My loyalty to my party end where my loyalty to my country begin” tidak diikuti oleh presiden Yudhoyono sehingga terjebak oleh kelakuan anak buahnya yang menjadikan organisasi yang didirikannya, Partai Demokrat dijadikan organisasi untuk mengeruk kekayaan rakyat Indonesia atau “organisasi untuk melakukan kejahatan” (organized crime”).
Ucapan presiden Yudhoyono bahwa beliau wajib membela Andi Mallarangeng yang dituduh korupsi dalam proyek Hambalang menunjukkan bahwa beliau kurang memahami prinsip-prinsip Hukum dan Konstitusi. Presiden Yudhoyono tidak memahami asas “ignorantia juris non excusat” (“ignorance of the law does not excuse”), atau “ignorantia legis neminem excusat” (“ignorance of the law excuses no one”). Artinya, semua penduduk, apalagi pejabat, harus mengetahui perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ada dalil “Sang pejabat tidak mengetahui perundang-undangan tersebut”.[10] Demikian pula pembelaannya terhadap Sri Mulyani dan Boediono dalam peristiwa “Skandal Bank Century” dapat dianggap keliru. Catatan penulis sebagai berikut:
- Presiden membela mereka dengan menerbitkan Perpu No.4 Tahun 2008 yang substansinya, yaitu yang tercantum di pasal 29 berbunyi: “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang itu tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimna dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang itu”. Ketentuan seperti itu melanggar asas “checks and balances”, “supremacy of the law” dan asas “equality before the law”. Disamping itu, sebagai orang yang menganggap Amerika Serikat sebagai negerinya yang kedua, tentunya beliau mengetahui bahwa ketentuan yang dirancang oleh Secretary of Treasury Henry Paulson dalam rangka “bailout” yang berbunyi: “Decissions by the Secretary pursuant to discretion, and may not reviewed by any court of law or any administrative agency” ditolak oleh Congress dan tidak dijadikan ketentuan di “Emergency Economic Stabilisation Act of 2008” karena bertentangan dengan asas tersebut diatas.
- Presiden Yudhoyono juga harus bertanggung jawab atas tindakan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengubah pasal 11 undang-undang No. 24/2008 yang semula terdiri dari 3 ayat ditambah dengan ayat yang berbunyi: “bila terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan stabilitas sistem keuangan”. Sri Mulyani keliru karena baik di sistem Parlementer maupun sistem Presidensial, kekuasaan mengubah undang-undang ada di DPR, bukan di Pemerintah. Menteri Keuangan tidak diperbolehkan mengubah undang-undang meskipun mendapat kuasa dari Presiden.
- Selain itu kesalahan Sri Mulyani yang harus ditanggung presiden adalah ketika dia menaikkan “nilai simpanan yang dijamin” dari seratus juta rupiah menjadi dua milyar tanpa berkonsultasi dengan DPR.
Para Pendiri Negara adalah tokoh yang cemerlang, baik menurut ukuran Belanda maupun ukuran jaman sekarang, jadi ucapan presiden Abdurrachman bahwa para Pendiri Negara munafik karena tidak menjalankan Trias Politika menunjukkan bahwa beliau tidak memahami teori Konstitusi dan tulisan Denny Indrayana yang mengemukakan bahwa UUD 1945 adalah “Konstitusi tanpa Konstitusionalisme” adalah ucapan yang sangat “sembrono”, tidak pantas, karena menganggap dirinya lebih pintar dari Pendiri Negara.[11]
Singkatnya, presiden harus mencari penasehat yang benar-benar ahli.
[1] A.B.Kusuma, Peneliti Pusat Studi HTN, FH UI
[2] Penulis berpendapat bahwa “UUD 1945 versi 2002” yang disusun oleh “the second founding fathers” (seharusnya disebut “the second framers of the Constitution”), adalah UUD yang sah meskipun disusun dengan cara “sembrono” karena disusun oleh anggota MPR yang dipilih langsung oleh Rakyat.
[3] Pada tahun 1945 hanya dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem parlementer dan sistem presidensial. Para penyusun UUD 1945 belum menemukan nama yang tepat, sebab itu, untauk sementara, digunakan nama Sistem Sendiri (Prof. Ismail Suny menyebut sebagai sistem “quasi-presidensial”). Istilah sistem semi-presidensial diperkenalkan oleh Maurice Duverger pada waktu menyusun Konstitusi Republik ke V Perancis yang dipimpin Brigadir Jenderal De Gaulle. Versinya banyak, versi besarnya ada dua, yaitu semi-presidensial yang condong ke sistem presidensial seperti Perancis dan semi-presidensial yang condong ke sistem parlementar seperti Portugal. Sistem semi-presidensial sekarang dilaksanakan oleh 58 negara, jadi sudah merupakan sistem yang khas sendiri.
[4] Dikemukakan oleh Prof. Supomo dan Dr.Sukiman (lihat Yamin, 1959:339-340 dan 1959:323-324; Risalah Sekretariat Negara, 1995:303-306 dan 285-286; Kusuma, 2004:388-389; Kusuma, 2009: 388-389 dan 374-375.
[5] Perlu kejelasan mengenai pengertian “memperkuat sistem presidensial”. Apakah hal itu berarti akan menjadikan Wakil Presiden sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah (“Senat”)? Di Amerika Serikat seorang Secretary dilarang hadir di Congress, kecuali bila ada “Investigasi”. Jadi, ucapan Azis Syamsudin bahwa dia dapat mengeluarkan Denny Indrayana karena “contempt of parliament” (sic) dan ucapan Effendi Simbolon bahwa DPR dapat “memanggil paksa” Dahlan Iskan menunjukkan bahwa hubungan antara kedua lembaga negara itu belum dirumuskan dengan baik.
[6] Pada waktu dipilih menjadi Khalifah, Abu Bakarberkata: “I have been given authority over you but I am not the best of you. If I do well, help me, and if I do ill then put me right. True criticism is considered a loyalty and false appause is treachery”.
[7] Lihat Dean Acheson, “Power and Diplomacy, 1958:29. Letjen Hasnan Habib pernah menulis di Kompas, sekitar tahun tujuhpuluhan bahwa kalimat itu berasal dari Lloyd George, tulisan itu perlu diluruskan. Demikian pula tulisan Hadisusastro, dalam “Pikiran dan Gagasan” (hasil seminar kelompok Dr. Daud Yusuf) yang mengira bahwa kalimat itu berasal dari Clemenceu juga perlu diluruskan.
[8] Kabinet pertama adalah kabinet presidensial. Sedangkan kabinet Syahrir I, II, III, kabinet Amir Syarifudin dan kabinet Hatta yang bertanggung jawab kepada KNIP harus digolongkan kedalam Semi-Presidensial karena punya Perdana Menteri yang bertanggung jawab pada KNIP dan Presiden yang mempunyai kekuasaan besar dan hanya bertanggung jawab kepada MPR
[9] Rapidity is the essence of war.
[10] Di Indonesia dikenal sebagai “fiksi hukum” yang berasal dari yang berasal dari Aristoteles dan menjadi hukum Roma yang berbunyi “nemo cencetur ignorare legem” (no body is thought to be ignorant of the law) atau “ignorantia iuris nocet” (not knowing the law is harmful).
[11] Contohnya, Arsitek utama Penjelasan UUD 1945, Prof.Supomo, yang mengemukakan bahwa kunci pokok “Sistem Pemerintahan” berdasar atas Hukum (Rechtsstaat) dan ‘Sistim Konstitusionil” sudah pasti faham teori Konstitusi dan Konstitusionalisme. Beliau mendapat gelar Mr. dan Doktor ilmu hukum dari Universitas Leiden hanya dalam waktu tiga tahun setelah lulus sekolah menengah kejuruan dengan mendapat penghargaan “Gajah Mada” yang tidak pernah diraih oleh sarjana yang lain. Beliau menguasai bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman dan memahami bahasa Latin dan Griek (Yunani). Disertasi dan pidato pengukuhan Denny Indrayana selaku Guru Besar mengandung blunder.